MENOLONG DIRI KITA SENDIRI
Setiap pagi, mulailah hari kita dengan melakukan meditasi atau menjapakan mantra. Karena berguna untuk membangun ketenangan dan kejernihan di dalam diri, sebagai bekal yang baik untuk menjalani hari. Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami.
Ketekunan melaksanakan keseluruhan tiga hal ini, yaitu mengembangkan hati belas kasih, terus melakukan kebajikan-kebajikan dan melatih sikap penuh kerelaan [kepasrahan, keikhlasan], seringkali dapat membuat manusia mengalami "lompatan spiritual" yang jauh.
Siapa saja yang dengan tekun melaksanakannya secara seimbang, suatu saat kelak hatinya akan termurnikan, pikirannya menjadi tenang-damai dan kesadarannya akan terangkat ke dimensi yang tinggi.
Seperti apapun kehidupan kita, dalam perjalanan mengarungi hidup ini pasti ada saja masalah-masalah yang datang. Hal ini tidak terhindarkan, salah satu sebabnya karena kehidupan kita dipengaruhi karma. Di jalan dharma kita dibimbing untuk mempersiapkan diri kita dengan cara tekun melaksanakan sadhana, sehingga kesadaran kita tidak mudah teracuni oleh masalah kehidupan. Sebagai contoh, atasi kemarahan dan kebencian dengan mengembangkan hati belas kasih dan tekun melakukan kebajikan, atasi keserakahan dengan rasa syukur dan rasa kerelaan, dsb-nya. Landasan kesadaran ini kemudian kita perkuat dengan praktek meditasi, japa mantra, melukat, sembahyang, dsb-nya.
Memperbaiki perilaku dan kesadaran diri sendiri sesungguhnya adalah untuk menolong diri kita sendiri. Kita hendaknya dapat menyadari hal ini dan menciptakan keberkahan untuk diri kita sendiri dan orang lain.
TATA CARA JAPA
MANTRA :
(1). MENGUNDANG.
Undanglah kehadiran Ista
Dewata pengayom dan pelindung pribadi kita, atau kalau tidak tahu, undang
kehadiran Ista Dewata yang paling kita suka atau paling menginspirasi kita.
Caranya ambil japa-mala yang kita kalungkan di leher. Tampilkan mudra namaskara
[mencakupkan tangan di dada] sambil memegang japa mala. Duduk tenang dalam
posisi meditasi, pejamkan mata dan kita konsentrasi melakukan dhyanawidhi
[melakukan visualisasi atau membayangkan]. Visualkan di hadapan kita terbentang
langit biru dan awan-awan putih yang indah. Visualkan atau bayangkan Ista
Dewata hadir disana, dengan wujud Ista Dewata hidup dan berpendar cahaya.
Sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitab suci Hindu bahwa siapapun yang
memikirkan Ista Dewata dengan kuat, akan mengundang kehadiran Beliau. Rasakan
dengan hati dan dengan sraddha [keyakinan] bahwa Beliau hadir di hadapan kita.
(2). MEMOHON.
Tampilkan mudra puja
mencakupkan tangan di kening dan sampaikan doa atau permohonan kita. Ini kita
sampaikan dengan kata-kata sendiri, sambil tetap melakukan visualisasi
[membayangkan] kehadiran Ista Dewata di langit biru dan awan putih di hadapan
kita. Jika kita sedang bersedih, bukalah hati kita dengan semua perasaan duka
dan sakit yang kita rasakan. Silahkan curhat kepada Beliau tentang masalah yang
kita alami dan benar-benarlah minta pertolongan. Jika kita sedang bahagia,
sampaikan bahwa kita mempersembahkan karma baik dari penjapaan mantra kita
untuk orang lain [mungkin untuk keluarga, orang dekat, atau siapapun]. Ini bertujuan
untuk menumbuhkan dan membangun hati belas kasih dan tidak mementingkan diri
sendiri.
(3). MEMANGGIL.
Pegang dan gunakanlah
japa-mala di dada dengan cara penjapaan mantra, sambil tetap melakukan
visualisasi [membayangkan] kehadiran Ista Dewata di langit biru dan awan putih
di hadapan kita, serta ucapkan mantra Ista Dewata dengan sepenuh hati. Misalnya
[contoh] Dewi Saraswati, japakan mantra OM AIM SARASWATYAI NAMAHA. Atau
misalnya Dewa Shiwa, japakan mantra OM NAMAH SHIWAYA. Mantra-mantra suci Ista Dewata
yang telah digunakan selama ribuan tahun oleh jutaan mahluk sebagai sumber
kesembuhan jiwa, pemurnian dan perlindungan. Ketahuilah bahwa di alam-alam suci
para Ista Dewata selalu ada untuk kita. Mendengarkan kita, memahami kita dengan
belas kasih tanpa syarat, tanpa pernah menghakimi kita.
(4). MALINGGIHKAN ISTA DEWATA DI DALAM DIRI
Setelah selesai menjapakan
mantra, tangan tetap di dada memegang japa mala. Visualkan seluruh tubuh Ista
Dewata memancarkan cahaya suci berwarna putih sangat terang dan kemudian wujud
Beliau lebur sepenuhnya menjadi cahaya suci. Lalu cahaya suci putih terang ini
bergerak diatas kita dan masuk ke dalam diri kita melalui chakra sahasrara atau
chakra mahkota. Cahaya suci ini terserap menyatu dengan diri kita. Membuat
badan kita sepenuhnya lebur ke dalam wujud cahaya suci putih terang benderang.
Yang menyembuhkan jiwa kita, memurnikan kita, mengalirkan kekuatan belas kasih
dan kebijaksanaan-Nya dan mengubah semua kesedihan kita menjadi ketenangan dan
kedamaian. Terus pertahankan visual badan kita menjadi wujud cahaya suci putih
terang benderang-Nya, sampai kita dapat merasakan bahwa antara diri kita dengan
Ista Dewata menjadi satu.
Lakukan semua latihan sadhana
Mantra Yoga ini setiap hari berulang kali dengan tekun. Mengundang Beliau,
menjapakan mantra suci-Nya dan meleburkan diri kita dengan kekuatan suci-Nya.
Seiring waktu nanti perlahan-lahan kesengsaraan dan kegelapan bathin kita akan
dileburkan ke dalam ketenangan dan kedamaian. Kita akan menyadari dengan
kesadaran bahwa Ista Dewata tidak berada diluar diri kita, Beliau selalu hadir
bersama kita.
MELAKSANAKAN
SADHANA
Alasan utama melaksanakan
sadhana adalah untuk menguatkan kesadaran sehingga kita tidak mudah marah,
tidak mudah mengeluh, sabar dan memaafkan, dsb-nya, serta menguatkan kekuatan
belas kasih dan kebajikan kita dalam diri kita.
Salah satu penunjang yang baik
untuk sadhana-sadhana yang kita lakukan adalah dengan tirtayatra ke tempat suci
yang memiliki hubungan karma kuat dengan kita. Karena hal itu tidak saja
mengisi energi suci pada jiwa kita, serta memberi kekuatan kepada kesadaran
kita, tapi juga sekaligus menguatkan naungan perlindungan para Ista Dewata bagi
perjalanan jiwa kita dalam samsara.
HIDUP INI
HARUS ADA KESEIMBANGAN
Bagaimanapun perjalanan
kehidupan kita, hendaknya kita juga mengisinya dengan menapaki jalan spiritual
dharma. Karena dalam hidup ini harus ada keseimbangan.
Leluhur kita di Bali
mengajarkan dharma sederhana tapi sangat mendalam, "idupe nak anggo ngalih
bekel idup lan bekel mati" [hidup ini adalah perjalanan untuk mencari
bekal kehidupan dan mencari bekal kematian]. Hanya sayangnya, kebanyakan
manusia hanya penuh persiapan dalam menjalani kehidupan yang tidak pasti,
sangat sedikit yang melakukan persiapan terkait kematian yang kelak suatu saat
pasti datang.
Alasan utama menapaki jalan
spiritual dharma adalah menguatkan kesadaran kita agar tidak mudah marah, tidak
mudah mengeluh, sabar dan mudah memaafkan, dsb-nya, serta menguatkan kekuatan
belas kasih dan kebajikan kita dalam diri kita. Melalui ketekunan melaksanakan
"sadhana dalam" seperti meditasi, penjapaan mantra, melukat,
tirtayatra, sembahyang, disertai ketekunan melaksanakan "sadhana
luar" seperti melakukan kebajikan-kebajikan, mengendalikan perkataan dan
perbuatan, kesabaran, memaafkan, tidak menghakimi, dsb-nya.
Karena dengan demikian, tidak
saja hati kita akan menjadi damai, kehidupan kita selamat dari banyak bahaya,
sekaligus juga jiwa kita menjadi semakin terang dan bercahaya.
TINGKATAN
KEBAHAGIAAN
Ada beberapa tingkatan
kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan
yang terendah adalah kama shanti,
yaitu merasakan kebahagiaan karena sebagian dari keinginan, harapan, kepuasan,
ambisi, cita-cita, hasrat, gairah, kepentingan, atau ego kita terpenuhi. Sifat
kebahagiaan seperti ini sangat rapuh atau goyah, serta umurnya tidak lama. Tapi
tentu saja tidak salah mencari kebahagiaan seperti ini. Hal ini juga bagus dan
berguna, terutama ketika melaksanakan swadharma [tugas-tugas kehidupan] sebagai
energi pendorong kemajuan.
Penting sekali agar kita
menggunakan semua hal itu hanya sebatas sebagai energi pendorong kemajuan
hidup. Hindarilah semua hal itu agar tidak menjadi perangkap kehidupan.
Kemudian ada tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, yaitu manah shanti. Manah shanti didapat
bukan dengan mengejar kesenangan atau kebahagiaan, tetapi dengan cara melakukan
kebajikan-kebajikan kepada sesama. Merasakan kebahagiaan dari kegiatan
melepaskan, merelakan dan memberi.
Umumnya bagi orang biasa yang
belum siap, hal ini dapat menimbulkan keragu-raguan atau bahkan cemoohan. Tapi
sesungguhnya kita bisa melatihnya secara bertahap.
Tahap pertama [sadhana menanam benih-benih belas kasih dan
kebajikan], kita mulai dengan cara paling mudah dan murah, biasakanlah
secara diam-diam mendoakan orang lain atau mahluk lain. Melihat pengemis di
jalan doakan kemakmuran mereka, melihat orang sakit doakan kesembuhan mereka,
melihat orang pacaran mesra doakan kebahagiaan mereka, dsb-nya. Niatkan dalam
hati mereka berbahagia, doakan mereka selamat. Tidak apa-apa dengan kata-kata
singkat dan sederhana, yang penting tulus dan sepenuh hati.
Tahap kedua [sadhana menyemaikan benih-benih belas kasih
dan kebajikan], selain mendoakan, tambahkan dengan membiasakan diri kita
menolong orang lain dalam hal kecil-kecil saja, seperti membantu orang
menyeberang di jalan, memberikan tempat duduk untuk orang tua di bis,
membukakan pintu dan mempersilahkan lebih dahulu orang masuk ke minimarket, ada
sampah berserakan kita buang ke tong sampah, ada keran lupa dimatikan kita
matikan, ada piring kotor kita cucikan, melihat banyak burung kita sebarkan
beras untuk makanan mereka, dsb-nya. Dengan sedikit kejernihan, kehidupan ini
sesungguhnya menghadirkan samudera luas tempat mengekspresikan belas kasih dan
kebajikan setiap saat.
Tahap ketiga [sadhana menumbuhkan benih-benih belas kasih
dan kebajikan], selain mendoakan serta membiasakan menolong orang lain
dalam hal kecil-kecil, kemudian kita perluas lagi dengan melakukan pertolongan
bagi orang lain dalam hal-hal yang lebih besar. Tahap ini bukanlah sekedar
melakukan kebajikan saja, melainkan melakukan kebajikan dengan pengorbanan,
atau bahkan dengan penderitaan. Selain itu berlatihlah untuk memberi maaf,
kemudian mendoakan kebahagiaan dan keselamatan [memancarkan belas kasih], bagi
orang-orang yang bersalah atau membenci kita. Tentu jangan mengharapkan proses
ini enak. Kadang bahkan terasa sangat tidak enak, semata karena kita belum
terbiasa dan ego kita melakukan perlawanan. Tapi nantinya jika buahnya sudah
matang, kita akan mendapatkan perasaan bahagia itu datang secara ajaib entah
dari mana asalnya. Jika hanya dipikirkan saja, hal ini sulit dimengerti karena
tidak logis. Kita hanya bisa kelak membuktikan dan mengalaminya sendiri, jika
kita mau dan tekun melaksanakannya.
Jika kita sudah menguasai
ketiga hal tersebut dengan baik, kita bisa meningkatkannya ke tahap keempat [sadhana memekarkan bunga belas kasih dan
kebajikan]. Yaitu, selain melaksanakan ketiga hal tersebut, kita tambahkan
dengan sadhana belas kasih dan kebajikan secara abstrak. Caranya melakukan
kebajikan bukan dengan materi, melainkan melalui kesabaran kepada semua orang,
selalu memaafkan, tidak menghakimi orang lain, menyediakan diri menjadi
pendengar yang baik, memberikan perhatian, dsb-nya.
Dengan melatih dan
melaksanakan ke-empat sadhana tersebut secara bertahap, kita sudah memegang
kunci untuk mencapai manah shanti, kebahagiaan sejati. Tetapi sekali lagi,
proses ini awal-awalnya bisa terasa tidak enak. Serta jangan pernah
mengharapkan balasan atau imbalan, karena seringkali justru kita harus merasa
menderita dulu dan mengorbankan ego. Mungkin sering-sering kita akan merasa
terkurangi atau merasa mengalami kerugian bagi orang lain. Semata karena
jangkauan pandangan kita masih sempit [sesempit diri kita sendiri]. Tetapi
dalam jangkauan pandangan yang luas, sesungguhnya hal itu adalah sebuah
keuntungan luar biasa yang akan abadi.
Dumogi stata shanti lan rahayu
sareng sami.
PEMURNIAN
KESADARAN
Dalam perjalanan kehidupan ini
munculnya kebahagiaan dan kesengsaraan selalu datang silih berganti. Munculnya
kesengsaraan dalam perjalanan kehidupan ini sesungguhnya tidaklah seburuk yang
kita sangka. Jika kita dapat menghadapinya dengan sadhana dharma, maka kesengsaraan
tidak akan meracuni kehidupan kita.
Jika kita dapat menyambut
setiap bentuk kesengsaraan dengan sabar, penuh kerelaan dan kebaikan hati,
disana kita sedang membayar hutang-hutang karma buruk masa dahulu untuk
kemudian terbebaskan.
Jika kita dapat menyambut
setiap bentuk kesengsaraan dengan sabar, penuh kerelaan dan kebaikan hati,
disana dengan sendirinya kita akan mengalami proses pemurnian kesadaran. Rasa
terganggu, rasa sakit, kesedihan dan penderitaan, dsb-nya, yang dapat dihadapi
dengan sabar, penuh kerelaan dan kebaikan hati, akan menjadi proses pembersihan
yang membuat kesadaran kita semakin jernih dan semakin murni dari hari ke hari.
Saat kita tekun melakukan
kebajikan, kebajikan dan kebajikan, kebahagiaan hidup mungkin tidak langsung
datang, tapi pemurnian kesadaran kita sudah dimulai dan sebagian musibah dan
malapetaka sudah menjauh. Saat kita melakukan kejahatan-kejahatan atau
pelanggaran dharma, tidak saja kesadaran kita akan dibuat menjadi gelap dan
keruh, tapi juga musibah dan malapetaka akan terus semakin mendekat. Semua
pilihannya ada di tangan kita sendiri.
KETEKUNAN
MELAKSANAKAN SADHANA
Jika kita tidak membangun
kekuatan kesadaran melalui ketekunan melaksanakan sadhana, maka
pikiran-perasaan negatif [seperti iri hati, marah, benci, dendam, serakah,
galau, resah, sedih, rasa sakit, dsb-nya] biasanya lebih kuat dibandingkan
kesadaran. Itu sebabnya ketika marah kita bertengkar, ketika benci kita
mengeluarkan kata-kata menyakitkan, ketika kecewa kita stress, ketika sedih
kita menangis, ketika ada godaan kita serakah, dst-nya. Karena kesadaran kita
dibenamkan oleh perasaan-pikiran negatif.
Melalui ketekunan melaksanakan
"sadhana dalam" seperti meditasi, penjapaan mantra, melukat,
sembahyang, disertai ketekunan melaksanakan "sadhana luar" seperti
melakukan kebajikan-kebajikan, mengendalikan perkataan dan perbuatan,
kesabaran, memaafkan, tidak menghakimi, dsb-nya, disana kemudian cengkeraman
perasaan-pikiran negatif terhadap kesadaran perlahan-lahan mulai melemah.
Semakin tekun dan mendalam kita melaksanakan sadhana, tentunya kesadaran kita
akan semakin kuat.
Sebagai hasilnya
perasaan-pikiran negatif tidak lagi menjadi diktator bagi kesadaran kita. Dalam
arti, perasaan-pikiran negatif tetaplah sama datang dan pergi tidak berubah,
karena demikianlah hukum semesta, tapi kita mulai bisa melepaskan diri dari
cengkeraman perasaan-pikiran negatif yang muncul, karena kesadaran sudah mulai
kuat. Sehingga kita tidak mudah marah, tidak mudah kecewa, tidak mudah menangis
dan tidak mudah berkelahi.
Tapi tentu saja karena
ketidak-sempurnaan kita sebagai manusia, ditambah dengan derasnya gangguan dan
masalah kehidupan, walaupun kita sudah tekun melaksanakan sadhana,
kadang-kadang masih kembali terjadi kesadaran kita dibenamkan oleh
perasaan-pikiran negatif. Sehingga pengalaman buruk seperti ketika marah kita
bertengkar, ketika benci kita mengeluarkan kata-kata menyakitkan, ketika kecewa
kita stress, ketika sedih kita menangis, ketika ada godaan kita serakah,
dst-nya. Namun jangan mudah putus asa. Teruskan, teruskan dan teruskanlah
ketekunan melaksanakan sadhana. Seperti air yang terus-menerus menetes di batu,
lama-kelamaan batu yang sangat keras juga pasti akan dapat ditembus.
Sadhana merupakan upaya-upaya
spiritual, serta praktek-praktek melatih diri, dengan tujuan agar kesadaran
kita lebih kuat dibandingkan pikiran dan perasaan, dalam pengalaman hidup
apapun yang kita alami, serta dalam pikiran-perasaan apapun yang muncul dalam
diri kita.
Selama kita tidak tekun
melakukan sadhana, selama itu juga kehidupan kita akan penuh dengan
kesengsaraan. Sedikit saja ada masalah atau gangguan dalam kehidupan, bisa
dengan cepat melenyapkan kesadaran karena ditenggelamkan rasa marah, sakit
hati, kecewa, dendam, takut, dsb-nya. Sedikit saja ada keberuntungan,
keunggulan atau kebahagiaan dalam kehidupan, bisa dengan cepat melenyapkan
kesadaran karena ditenggelamkan pikiran sombong, serakah, tidak puas,
mementingkan diri sendiri, dsb-nya. Dimana semua itu merupakan bentuk-bentuk
pikiran-perasaan yang cepat atau lambat akan menyengsarakan.
Ketekunan melaksanakan sadhana
secara pelan tapi pasti membuat kesadaran kita lebih kuat dibandingkan
pikiran-perasaan. Memperbesar kemampuan kita untuk menerima dan mengalir
sempurna dengan setiap aliran pikiran, perasaan dan karma-karma yang datang
sesuai hukum alam semesta.
Rasa marah, sakit hati atau
kecewa mungkin tetap muncul, tapi kita bisa diam dan sabar. Rasa dendam mungkin
masih ada, tapi kita bisa segera memaafkan. Rasa takut mungkin masih ada, tapi
kita bisa tabah. Pikiran sombong mungkin tetap muncul, tapi kita dapat bersikap
rendah hati. Pikiran serakah dan tidak puas mungkin masih ada, tapi kita bisa
tetap bersyukur. Pikiran mementingkan diri sendiri mungkin tetap muncul, tapi
kita tetap dapat bersikap penuh kebajikan. Karena kesadaran kita lebih kuat
dibandingkan pikiran-perasaan. Kita dapat tetap terserap dalam kesadaran, walau
pengalaman hidup apapun yang kita alami, walau pikiran-perasaan apapun yang
muncul dalam diri kita.
Sebagai hasilnya pikiran kita
lebih jernih dan tenang, kehidupan kita cenderung lebih aman dari konflik dan
bahaya, karma-karma buruk kita lebih sedikit, serta hidup kita tidak sia-sia
karena telah menjadi sebuah perjalanan yang terang.
PERJALANAN
KEHIDUPAN
Dalam perjalanan kehidupan ini
manusia itu “swatantra katah”, yang berarti mahluk yang sepenuhnya memiliki
kehendak bebas dan sekaligus bertanggung jawab atas semua perbuatannya sendiri.
Diri kita sendiri-lah yang sepenuhnya merancang dan menentukan alur perjalanan
kehidupan kita sendiri. Oleh karena itu alangkah baiknya jika kita selalu tekun
dan bersemangat mengumpulkan akumulasi karma baik, agar kehidupan di masa depan
menjadi baik dan beruntung. Karena melakukan kebajikan disaat ini, secara pasti
akan mengirimkan kebahagiaan dan kedamaian di masa depan.
Jika perjalanan hidup kita
disaat ini mengalami banyak masalah dan kesengsaraan, kita harus sadar bahwa
ini semua tidak lepas dari karma kita sendiri. Disaat yang sama kita harus
punya tekad kuat dan kesadaran, bahwa kita harus merubahnya menjadi lebih baik,
agar kelak hidup kita tidak sengsara seperti saat ini. Caranya dengan berusaha
tidak melakukan perbuatan yang melanggar dharma, serta mengisi hidup kita
dengan banyak-banyak berbuat kebajikan.
Sebaliknya, jika perjalanan
hidup kita mengalami banyak kemudahan dan kebahagiaan, kita juga harus sadar
bahwa ini semua tidak lepas dari karma kita sendiri. Tapi kita juga tetap harus
punya tekad kuat dan kesadaran, bahwa kita harus berusaha tidak melakukan
perbuatan yang melanggar dharma, serta mengisi hidup kita dengan banyak-banyak
berbuat kebajikan. Dengan tidak melaksanakan kebajikan saja hidup kita sudah
bahagia, apalagi kalau kita melaksanakan dharma dan banyak melakukan kebajikan.
Dan bukan sebaliknya, hanya tinggal menunggu waktu saja akumulasi karma baik
kita ini habis, untuk kemudian hidup kita juga akan kembali mengalami terjun
bebas ke dalam jurang kesengsaraan.
Hendaknya jangan pernah merasa
enggan berkarma baik, karena tidak pernah ada kebajikan yang sia-sia. Apalagi
kalau sampai kita melakukan berbagai karma buruk tanpa mempertimbangkan
akibatnya. Banyak orang dalam avidya [kebodohan, ketidaktahuan] menyangka
perbuatan adharma yang dia lakukan itu nikmat dan manis laksana madu, selama
ketika buah karma buruk dari perbuatannya itu belum matang. Tapi disaat buah
karma buruk dari perbuatannya itu matang, maka disanalah dia akan mengalami
kesengsaraan.
Pandangan yang mengatakan
bahwa kehidupan ini sudah ditentukan oleh garis karma yang tidak bisa dirubah,
adalah salah satu dari pandangan salah. Salah satu arti dari menempuh jalan
dharma adalah selalu berusaha merubah garis karma kita ke arah yang lebih baik.
Dalam kehidupan manusia tidak
pernah ada kehidupan yang selalu nyaman dan bebas dari masalah. Jika kesulitan,
kemalangan dan masalah sudah saatnya datang dalam kehidupan akibat akumulasi
karma, dia akan datang dengan tidak bisa dibendung. Mereka yang larut dalam
perasaan kecewa, sedih, marah, sakit hati atau putus asa, itu merupakan sebuah
masukan kalau pikirannya masih sempit. Karena kebahagiaan hanya persoalan
memandang dari sudut pandang yang tepat. Jika sudut pandang pikiran positif dan
lembut maka kebahagiaan akan hadir di dalam kehidupan.
Jika kesulitan, kemalangan dan
masalah dalam kehidupan sudah terasa demikian menyakitkan, itu merupakan sebuah
masukan bahwa kita sudah menjauh dari jalan dharma. Cobalah untuk tidak lari ke
minuman keras, tempat dugem, selingkuh, judi, narkoba, dsb-nya. Karena itu
semua dengan cepat atau lambat akan membuat perjalanan kehidupan semakin gelap
dan memburuk. Cobalah untuk tidak larut di dalam perasaan kecewa, sedih, marah,
sakit hati atau putus asa. Tapi ambil langkah sebaliknya, carilah perlindungan
pada jalan dharma. Mulailah belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri,
belajar melayani orang lain dan belajar bersikap lembut [tidak kasar]. Mulailah
melaksanakan sadhana seperti belajar meditasi, menjapakan mantra Ista Dewata,
tirtayatra dan melukat ke parahyangan suci kuno, dsb-nya. Karena dengan cara
ini perlahan-lahan pikiran akan semakin sejuk dan damai, sekaligus akan
menguatkan kesadaran.
Di dalam perjalanan kehidupan
ini kita pasti pernah mengalami masalah dan gangguan yang datang dari luar.
Tetapi yang membuat masalah akan menjadi lebih besar dan berbahaya justru
berasal dari dalam diri. Ketika bertemu masalah dan gangguan, kemudian respon
kita adalah melawan balik dengan melakukan tindakan adharma. Ini disebabkan
oleh ahamkara [ego, ke-aku-an]. Dan ahamkara pula yang menyebabkan kita terus
menerus dilahirkan dalam roda samsara, bertemu dengan dualitas kebahagiaan dan
kesengsaraan. Terbelenggu dalam riak-riak guncangan dan segala sesuatu yang
tidak kekal.
Jika serius di jalan dharma,
berusahalah memberikan yang terbaik dalam melaksanakan hidup ini. Tapi apapun
yang terjadi diperlukan keikhlasan untuk dapat menerima hal-hal tersebut.
Disaat yang berat dan buruk, duduklah bermeditasi. Renungkanlah secara meditatif
bahwa tubuh fisik ini bukan milik-ku, perasaan ini bukan milik-ku, pikiran ini
bukan milik-ku dan harta benda ini bukan milik-ku. Kemudian semuanya kita
persembahkan kembali kepada alam semesta. Ini akan lebih mendalam lagi jika
dalam kehidupan sehari-hari kita sering-sering menolong, memberi dan berbagi
kebahagiaan kepada mahluk lain.
Di Bali ini disebut ngewaliang
[mengembalikan]. Ini adalah ajaran kuno warisan leluhur orang Bali. Nama Pulau
Bali sendiri berasal dari kata wali [kembali], mengembalikan, sebagai sadhana
menuju puncak dari ajaran spiritual yang tertinggi. Karena dengan selalu dan
selalu ngewaliang [mengembalikan], sangat mungkin ahamkara akan terus terkikis.
Sampai pada suatu titik kita akan mengalami keheningan, kejernihan dan kedamaian
di dalam diri.
Semua kehidupan akan berakhir
pada kematian. Menyangkut kematian, ada 3 [tiga] kemungkinan perjalanan Atma
meninggalkan alam marcapada dengan cara yang baik atau cara yang diharapkan,
yaitu :
(1). Atma mengupayakan sendiri jalan menuju alam-alam suci.
Kemungkinan ini bersandar
kepada akumulasi karma baik kita semasa hidup dan latihan sadhana yang kita
lakukan semasa hidup. Jika dalam masa kehidupan kita memiliki karma baik yang
berlimpah, serta telah mengembangkan suatu kebiasaan untuk rutin meditasi, japa
mantra, dsb-nya, maka di alam kematian ini merupakan kebiasaan yang amat
berguna. Karena memudahkan kita untuk masuk ke dalam keheningan meditasi yang
membawa kita ke alam-alam suci, atau memudahkan kita mengundang kehadiran
Satguru atau Ista Dewata pengayom dan pelindung yang kekuatan suci-Nya akan
menarik Atma masuk ke alam-alam suci.
(2). Atma dibantu diseberangkan menuju alam-alam suci oleh orang yang
siddhi.
Kemungkinan ini bersandar
kepada akumulasi karma baik kita semasa hidup dan peran keluarga, kerabat atau
orang lainnya yang masih hidup, dengan menyelenggarakan suatu upacara ngaben
atau bentuk upacara lainnya yang berhasil secara niskala. Dimana keberhasilan
penyeberangan Atma di dalam upacara ngaben paling ditentukan oleh keterampilan
dan kesiddhian sang yajamana [pemuput upakara]. Tapi tetaplah dalam kehidupan
kita harus mengumpulkan banyak-banyak akumulasi karma baik. Karena yang
menentukan berhasil tidaknya sebuah proses penyeberangan Atma juga sangat erat
kaitannya dengan akumulasi karma baik seseorang. Kalau tidak ada karma baik,
tidak akan memperoleh kesempatan untuk mendapatkan upacara penyeberangan Atma.
Kalaupun mendapatkan kesempatan tersebut, maka kegagalan penyeberangan Atma
dalam upacara ngaben atau bentuk upacara lainnya sangat mungkin terjadi karena
faktor karma buruk yang terlalu berat. Faktor karma selalu bekerja. Jika
akumulasi karma baik berlimpah semasa hidup akan sangat membantu membuat
penyeberangan Atma menjadi mudah dilakukan.
(3). Atma dijemput oleh kekuatan para suci.
Kemungkinan ini bersandar
kepada akumulasi karma baik kita yang sangat berlimpah semasa hidup, serta
perlu didukung oleh faktor tambahan. Yaitu jika semasa kita hidup kita sangat
taat dan bhakti kepada Satguru atau Ista Dewata, sehingga Satguru atau Ista
Dewata akan hadir untuk menjemput kita menuju alam-alam suci. Atau jika ada orang
lain [keluarga, teman, dsb-nya] yang semasa kita hidup kita sayangi dengan
sepenuh hati tanpa syarat, atau orang yang pernah kita buat jasa kebajikan yang
sangat besar [yang berhasil terlebih dahulu memasuki alam-alam suci]. Mereka
akan datang sebagai “dewa penolong” untuk menolong dan menjemput kita dan
mengantar menuju alam-alam suci.
Dumogi stata shanti lan rahayu
sareng sami .
YOGA SUTRA
1.33
Dalam praktek kehidupan
sehari-hari, pikiran dapat dimurnikan dengan keramahan dan kehangatan kepada
mereka yang sedang bahagia, belas kasih dan kebajikan kepada mereka yang sedang
sengsara, mendukung dan membantu orang-orang yang baik hati, serta tidak menghakimi
dan menilai buruk [bersikap netral] terhadap orang-orang yang kita rasa jahat
atau salah.
BELAS KASIH
DAN KEBAJIKAN
Titik pusat dari seluruh
sadhana dharma adalah menumbuhkan hati yang penuh belas kasih dan tekun
melakukan kebajikan-kebajikan kepada semua mahluk. Artinya jika seluruh ajaran
Hindu Dharma dipusatkan menjadi satu saja maka itu adalah belas kasih dan
kebajikan kepada semua mahluk.
Jika dalam kehidupan kita
penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, akan memurnikan samskara
[kesan-kesan pikiran], yang memberikan kita kedamaian pikiran dan perasaan yang
terang. Pikiran kita dihantarkan menjadi tidak mudah marah, tidak mendendam,
bebas dari rasa iri hati, dsb-nya. Singkatnya, akan dapat meredakan berbagai
kegelapan dan kekalutan pikiran.
Jika dalam kehidupan kita
penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, akan memudahkan kita mengerti
ajaran dharma yang sebenarnya. Selain itu akan memberikan daya angkat yang
besar bagi setiap sadhana yang kita lakukan. Ketika kita meditasi cepat
mencapai samadhi, ketika sembahyang atau japa mantra kita mudah terhubung
dengan alam-alam suci.
Jika dalam kehidupan kita
penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, musuh kita pasti berkurang
dan kita terhindar dari konflik-konflik berbahaya. Pengalaman-pengalaman hidup
kita cenderung lebih aman dan terhindar dari bahaya.
Jika dalam kehidupan hati kita
penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, karma-karma buruk kita akan
bisa mendapat keringanan. Selain itu dewa penolong kita akan “turun”. Mungkin
tanpa kita ketahui, kita akan selalu dijaga dan dibantu oleh kekuatan-kekuatan
suci dari alam-alam luhur yang tidak terlihat tersebut. Dan kelak ketika kita
meninggal dunia sangat mungkin kita dapat memasuki alam-alam suci atau jika kemudian
terlahir kembali sebagai manusia akan berjodoh dengan ajaran dharma dan hidup
didominasi oleh kebahagiaan dan kemudahan.
Apa yang akan terjadi dengan
orang yang dalam kehidupannya gagal melaksanakan belas kasih dan kebajikan ?
Laksana burung yang sayapnya patah, dia akan terjatuh. Tidak ada pilihan lain
selain terjatuh pada kelahiran rendah [lahir sebagai binatang, menjadi mahluk
alam bawah] yang penuh kesengsaraan. Darisana dia harus merangkak teramat susah
payah dalam jangka waktu lama agar bisa terlahir kembali menjadi manusia.
Sehingga, sebelum terlambat, sebaiknya dalam kehidupan ini kita belajar
menumbuhkan hati yang penuh belas kasih dan tekun melakukan
kebajikan-kebajikan.
Dalam ajaran dharma, apapun
mantra dan doa yang kita ucapkan, pasti akan ditutup dengan mantra
paramashanti, Om Shanti Shanti Shanti Om, semoga kedamaian meliputi seluruh
alam semesta [tri loka]. Artinya tujuan puncak dari apapun ajaran dharma adalah
kedamaian, kedamaian dan kedamaian.
Kedamaian adalah hasil dari
praktek belas kasih dan kebajikan yang mendalam.
Ketika kita melakukan suatu
perbuatan kebajikan, mungkin kebahagiaan dan rejeki tidak akan langsung datang
tapi musibah sudah mulai menjauh. Ketika kita melakukan suatu perbuatan
kejahatan, mungkin musibah dan kesengsaraan tidak akan langsung datang tapi
kedamaian sudah mulai menjauh.
Di alam ini ada hukum semesta
yang berlaku mutlak. Sehingga jika kita berharap memperoleh jalan kehidupan
yang terang dan damai, melakukan kebajikan adalah suatu hal yang wajib
dilakukan dalam perjalanan kehidupan. Lakukan kebajikan setiap kali ada
kesempatan.
PERTANDA
KEMAJUAN SPIRITUAL
Pertanda adanya kemajuan
spiritual bukanlah seberapa banyak kita mengetahui isi sastra suci, atau hafal
banyak mantra dan mudra, atau banyak pura yang sudah kita jelajahi, atau banyak
punya pengikut, atau tingkat kehebatan kesiddhian [kekuatan supranatural], atau
posisi jabatan kita sebagai pemuka agama.
Satu-satunya pertanda kemajuan
spiritual adalah hati yang penuh belas kasih, tindakan yang penuh kebajikan dan
pikiran tenang-seimbang yang bebas dari penilaian [penghakiman]. Karena inilah
satu-satunya pertanda yang terkait dengan tingkat kesadaran yang tinggi pada
setiap mahluk.
Bagi orang kebanyakan,
munculnya masalah, kesulitan, kesengsaraan dalam kehidupan seringkali dipandang
sebagai cobaan atau hukuman Tuhan. Dan munculnya godaan-godaan duniawi dalam
kehidupan seringkali dipandang sebagai godaan setan yang harus diperangi. Sehingga
banyak orang yang melarikan diri dari hal seperti ini, untuk kemudian larut
dalam kemarahan, kesedihan ataupun kecemasan.
Sedangkan bagi para sadhaka di
jalan dharma yang mendalam, jika dalam kehidupan banyak muncul masalah,
kesulitan, kesengsaraan, ataupun muncul godaan-godaan duniawi, hal itu
merupakan pertanda adanya kehadiran Sadguru yang dengan penuh belas kasih
sedang membimbing sang sadhaka menuju jalan suci. Karena di tingkat-tingkat
awal ego atau keakuan [ahamkara] sedang dihancurkan habis-habisan. Kadang
bahkan dengan cara yang sangat menyakitkan, hanya agar ego dan keakuan terus
menerus mengecil.
Ego yang besar sering
diibaratkan seseorang yang hanyut dibawa arus sungai pikiran dan perasaan.
Pilihannya ada di tangan kita sendiri, apakah kehidupan membawa kita menjadi
marah, sedih atau cemas, ataukah membawa kita berkonsentrasi menuju jalan suci
yang terang. Caranya dengan tekun melaksanakan sadhana dharma agar kesadaran
kita semakin menguat dari hari ke hari.
MENGHADAPI
MASALAH-MASALAH KEHIDUPAN
Di dalam menghadapi
masalah-masalah di dalam kehidupan kita, hindarilah terjebak kedalam empat
jenis ke-ekstrim-an.
1]. Ke-ekstrim-an jenis pertama dalam menghadapi masalah adalah
sepenuhnya menyalahkan orang lain, dalam arti memandang diri kita semata baik atau
benar.
Ini adalah keekstreman yang
berbahaya karena dapat mengarah pada sikap kejam dan melakukan kekerasan kepada
orang lain. Serta menumbuhkan sikap sombong, merasa kita tidak perlu berubah
dan kita tidak perlu menghentikan cara-cara negatif kita atau cara-cara kita
yang tidak tepat, karena kita baik dan benar. Sesungguhnya apapun masalah dalam
kehidupan, semua pihak memiliki saling keterkaitan dan perannya masing-masing.
2.] Ke-ekstrim-an jenis kedua dalam menghadapi masalah adalah
sepenuhnya menyalahkan diri kita sendiri, dalam arti semata memandang diri kita
buruk atau salah. Karena bahayanya ini bisa memburuk menjadi perusakan diri.
Jika kita terlalu memusatkan
diri pada kesalahan dan kekurangan diri kita, ini bisa dengan mudah
mengembangkan penghargaan diri yang rendah. Itu berlawanan arah dengan tujuan
pengembangan kesadaran. Memang kita sangat perlu mengakui sisi-sisi yang perlu
kita perbaiki. Tapi haruslah seimbang. Artinya kita juga perlu mengakui
sisi-sisi positif kita, supaya kita bisa mengembangkan sisi-sisi positif kita
menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Setiap manusia pasti memiliki sisi
negatif dan sisi positif. Mengakui sisi-sisi negatif yang perlu kita perbaiki,
perlu juga dimbangi dengan mengingat sisi-sisi positif kita. Sadhana dharma
tidak hanya berfokus kepada memperbaiki sisi-sisi negatif kita saja. Tapi kita
juga perlu berusaha menguatkan sisi-sisi positif kita.
3.] Ke-ekstrim-an jenis ketiga dalam menghadapi masalah adalah hanya
perhatian kepada perasaan diri kita sendiri saja. Karena bahayanya ini bisa
memburuk menjadi sifat egois dan mementingkan diri sendiri.
Kita hanya memandang perasaan
kita sendiri dan tidak menaruh perhatian pada perasaan orang lain. Orang lain
harus menerimanya, karena tidak ada perasaan orang-orang lain yang penting. Ini
bisa menguatkan kecenderungan dalam diri bahwa perasaan kita adalah yang paling
penting di dunia. Ini merupakan sifat egois yang merusak kesadaran dan akan
membuat kita sengsara.
4.] Ke-ekstrim-an jenis ke-empat adalah masih tetap menyimpan rasa
bersalah dari masalah waktu dulu yang sudah lewat. Karena bahayanya ini bisa
memburuk menjadi penyiksaan diri.
Hindari berpikir, “Aku buruk.
Aku jahat. Aku tidak berguna. Aku melanggar dharma”. Ini merupakan penyiksaan
diri yang merusak sekaligus tidak berguna. Tidak ada kesalahan dari masa lalu,
yang ada hanya pelajaran-pelajaran kehidupan. Ambil pelajarannya, perbaiki diri
dan tinggalkan kejadiannya. Jika kita ingin membebaskan diri kita dari
kesalahan yang kita miliki dan menghindari kesalahan lebih lanjut di masa
depan, sikap paling sehat adalah berpikir, “Jika aku ingin bebas dari
kesalahanku, aku akan tekun melakukan sadhana dharma.”
Dumogi stata shanti lan rahayu
sareng sami.
PENTINGNYA
KETERHUBUNGAN ANTARA MANUSIA DENGAN ALAM SEMESTA
Tradisi spiritual kuno dari
berbagai belahan dunia memiliki satu kesamaan, yaitu semuanya mengerti
pentingnya keterhubungan antara manusia dengan alam semesta. Orang India
mengenal gunung, danau dan sungai suci sebagai stana dari para Ista Dewata.
Orang Bali mengenal gunung, hutan, danau dan mata air suci sebagai tempat-tempat
sakral untuk penyembuhan dan meditasi. Karena pada titik-titik tertentu di alam
ini memiliki kekuatan yang sangat menyembuhkan dan menyegarkan badan serta
jiwa.
Para orang suci di jaman
dahulu mendirikan parahyangan suci di tempat-tempat sakral seperti itu
bertujuan sebagai tempat upacara yang memancarkan getaran energi kedamaian ke
alam dan semua mahluk, sebagai tempat bernaung bagi masyarakat luas agar
jiwa-jiwa mereka terjaga dari kemungkinan jatuh ke alam-alam bawah dan sebagai
tempat sadhana bagi para sadhaka agar jiwa-jiwa mereka terbantu dalam
perjuangan spiritualnya.
Tanah Bali adalah tanah yang
sangat sakral. Dalam kehidupan penganut Hindu Bali hampir setiap tempat adalah
tempat suci. Orang Bali mensucikan rumahnya, mensucikan desa-nya, mensucikan
airnya, mensucikan tanahnya, mensucikan lautnya, mensucikan hutannya, pada
intinya mensucikan setiap sudut ruang Tanah Bali. Memberikan persembahan suci,
itu dan hanya itu. Seringkali tidak bersuara, tidak ada tangan manusia yang
mencatat, namun tetap dilakukan secara serentak dan terus menerus. Sebagai
hasilnya adalah indahnya alam spiritual Bali selama beratus-ratus tahun. Akan
tetapi hanya mereka yang melakoninya dengan penuh kedalaman sekaligus
keheningan yang bathinnya bisa tergetar di wilayah-wilayah sakral dan suci
Tanah Bali.
MENOLONG ORANG
LAIN
Ketika roda berputar dibawah
[hidup membawa kita ke titik sedih dan sengsara] jangan lupa sabar dan
menerima. Jika kondisi benar-benar terjepit mintalah pertolongan orang lain.
Ketika roda berputar diatas
[hidup membawa kita ke titik bahagia dan nyaman] jangan lupa menolong orang
lain. Karena bisa jadi di hari esok kitalah yang memerlukan pertolongan. Hari
esok tidak ada yang tahu dan kehidupan seketika dapat berputar terbalik secara
ekstrim.
Seandainya direnungkan,
sesungguhnya seluruh perjalanan kehidupan ini dipenuhi oleh pertolongan orang
lain. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menolong orang lain. Selain itu menolong
orang lain tidak saja membahagiakan orang yang ditolong, tapi juga menyembuhkan
jiwa kita sendiri, sekaligus membawa kita kepada kebangkitan spiritual.
BELAJARLAH
MEMANDANG ORANG LAIN DARI SUDUT PANDANG POSITIF DAN LEMBUT
Kebaikan dan kejahatan di
dunia ini tidak sesederhana yang mungkin kita pikirkan. Ada beragam sekali niat,
alasan dan tujuan di balik suatu tindakan yang sering tidak dapat kita lihat,
semata karena tertutup kabut kecenderungan pikiran kita sendiri. Sehingga
janganlah terlalu mudah menghakimi orang lain hanya berdasarkan gerak-gerik
luarnya saja.
Orang yang mengulurkan tangan
untuk menolong, bisa jadi bukan karena dia berhutang atau punya motif tertentu,
tapi karena dia memiliki empati pengertian pada kesulitan dan kesedihan orang
lain, sehingga muncul belas kasih di dalam dirinya.
Orang yang terlebih dahulu
minta maaf setelah bertengkar, bisa jadi bukan karena dia bersalah, tapi karena
dia sangat menghargai orang lain.
Orang yang sering membayarkan
atau mentraktir, bisa jadi bukan karena dia banyak uang atau pamer kekayaan,
tapi karena dia lebih menghargai sebuah hubungan baik dibanding uang.
Orang yang sering mengontakmu,
bisa jadi bukan karena dia tidak punya kesibukan ataupun ada maunya, tapi
karena dia memiliki rasa kepedulian terhadap kamu.
Orang yang mengambil pekerjaan
tanpa ada yang menyuruh, bisa jadi bukan karena dia bodoh atau berniat mencari
muka, tapi karena dia memiliki rasa tanggung jawab.
Orang yang sering menyanjungmu
setinggi langit, bisa jadi bukan karena dia menganggapmu pahlawan, atau orang
suci, ataupun gombal mencari muka, tapi karena dia menerima serta memaafkan
semua kelemahan dan keburukanmu.
Orang yang sering
mengkritikmu, bisa jadi bukan karena dia membencimu, tapi karena dia ingin
menyelamatkanmu ataupun ingin kamu mengeluarkan potensi terbaik dirimu.
Seringkali ketika kita menghakimi
orang lain, hal itu justru mencerminkan bagaimana diri kita dan isi pikiran
kita dibandingkan bagaimana orang lain tersebut. Kita menilai orang lain
semata-mata berdasarkan bagaimana kecenderungan pikiran kita sendiri.
Di jalan dharma, belajarlah
memandang orang lain dari sudut pandang positif dan lembut. Karena jika kita
menghakimi orang lain, secara pasti akan membuat kejernihan dan kedamaian di
dalam diri menghilang. Kita tidak saja sedang menanam bibit-bibit kekerasan di
dalam diri kita sendiri, tapi juga sedang menanam bibit-bibit kekerasan pada
orang lain.
Belajarlah memandang orang
lain dari sudut pandang positif dan lembut. Karena disaat itu juga kebencian,
kemarahan dan kesombongan lenyap dari pikiran kita. Kemudian memberikan ruang
pada belas kasih dan kebajikan di dalam pikiran kita. Hal ini tidak saja
memurnikan jiwa, tapi sekaligus juga akan mengirimkan pancaran energi kesejukan
dan kedamaian kepada orang lain.
Sudah sering terbukti jika
kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa saja, dengan sudut
pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat orang atau mahluk
tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif dan lembut. Disebabkan
karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang terus kita kirimkan. Kita
tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga menyelamatkan orang
lain. Hal ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari kemungkinan garis
nasib yang panas dan sengsara.
TIRTHA ( AIR
SUCI)
Trayas trimsad devatas
Jugupur apsu-antah
[Atharva Veda XIX.27.10]
Tiga-puluh-tiga [jumlahnya] dewata ada dalam air suci di alam dan
melindungi umat manusia.
Tam u sucim sucayo didivansam
Apam napatam parithasthur apah
[Rig Veda II.35.3].
Air suci yang bersih [jernih] dan mengalir, baik dari sumber mata air
ataupun dari lautan, mempunyai kekuatan yang menyucikan.
SELAMAT HARI SUCI BANYU
PINARUH YANG BERSAMAAN DENGAN HARI SUCI PURNAMA JYESTHA. SELAMAT MEMBERSIHKAN
KE-TUJUH LAPISAN BADAN SEKALA-NISKALA DENGAN TIRTHA [AIR SUCI].
Apo adyanv acarisam rasena sam
agasmahi
Payasvan agna a gahi sam
prayaya sam ayusa
[Rig Veda I.23.23]
Sekarang kami meleburkan diri manunggal dengan kekuatan yang mewujudkan
air ini. Semoga kekuatan suci yang tersembunyi dalam air ini, menyucikan dan
memberikan kekuatan suci kepada kami.
Apo asman matarah sundhayantu
Ghrtena no ghrtapvah punantu
Visvam hi ripram pravahanti
devir
Ud id abhyah sucir a puta emi
[Rig Veda X.17.10]
Semoga air suci berkah alam semesta ini menyucikan diri kami sehingga
kami bercahaya gemerlapan. Semoga diri kami dibersihkan oleh air suci ini.
Semoga air suci ini melenyapkan segala kekotoran kami. Kami akan bangkit [dari
kegelapan] dan memperoleh kesucian darinya.
Rajin sembahyang, tirtayatra,
maturan, mebanten, dsb-nya, sudah pasti merupakan hal yang terang dan bagus.
Tapi pada saat yang sama selayaknya kita juga tekun membina diri di jalan
dharma dalam kehidupan sehari-hari. Alangkah indahnya jika tirtha suci kemudian
dapat kita olah menjadi manasa tirta [air suci yang ada di kedalaman bathin].
Dengan cara membina diri mengikis kegelapan-kegelapan bathin, seperti iri hati,
dengki, marah, benci, sombong, serakah, hawa nafsu tidak terkendali, bingung,
tenggelam dalam kesedihan, dsb-nya.
Sehingga dengan rajin
sembahyang, tirtayatra, maturan, mebanten, dsb-nya, kita juga akan menjadi
semakin sabar, semakin penyayang, semakin baik hati, semakin jujur, semakin
tenang-seimbang, semakin tidak menyakiti, dsb-nya. Dengan cara demikian, kita
setiap hari sedang membangun kedamaian di dalam diri dan sekaligus memancarkan
getaran kedamaian kepada orang lain.
Suatu saat kelak, ketika
keheningan di dalam diri bertemu dengan keheningan parahyangan suci, disana
terjadi pengalaman yang tidak bisa diceritakan. Itulah puncak dari jalan
bhakti.
Dumogi stata shanti lan rahayu
sareng sami.
PENGETAHUAN
SUCI TERTINGGI
Ada sebuah kepercayaan
tradisional, bahwa pada saat Hari Raya Saraswati kita tidak boleh membaca dan
menulis.
Pada konteks yang umum,
kepercayaan tradisional itu tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya
salah. Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan tentang Brata Saraswati pada
Hari Raya Saraswati. Bagi orang kebanyakan, hendaknya tidak membaca dan menulis
terutama yang menyangkut ajaran dharma dari pagi sampai tengah hari. Karena
puja kepada Dewi Saraswati dilakukan pada pagi hari atau tengah hari dan disana
semua sastra kita muliakan dan dibantenin. Bagi orang kebanyakan, ini
dimaksudkan agar kita mensakralkan ajaran suci dharma. Karena dengan
mensakralkan ajaran suci dharma, sama dengan mensakralkan perjalanan spiritual
kita sendiri. Setelah lewat waktu puja di tengah hari, sastra dapat kita ambil
kembali dan kita dapat membaca dan menulis. Sedangkan pada malam harinya justru
sangat dianjurkan melakukan malam pembacaan sastra, diskusi ajaran dharma atau
melaksanakan meditasi.
Pada konteks yang mendalam,
kepercayaan tradisional itu merupakan ajaran dharma tingkat tinggi. Di dalam
Lontar Sundarigama, disebutkan bagi sadhaka yang melaksanakan Brata Saraswati
secara penuh, hendaknya tidak membaca dan menulis selama 24 jam.
Dalam ajaran Hindu Dharma,
pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi adalah pemahaman utuh akan kenyataan
diri yang sejati [Atma Jnana / Atma Tattwa]. Ketika seseorang memahami secara
utuh kenyataan dirinya yang sejati, dengan sendirinya dia akan memahami segala
pengetahuan yang sejati. Atma tattwa tidak akan pernah dapat dicapai dengan
membaca sastra saja, tapi seorang sadhaka harus menyadarinya secara langsung.
Makna dari tidak membaca dan
menulis [sastra] selama 24 jam adalah belajar meninggalkan tahap awal dan
melangkah ke tahap berikutnya. Karena di jalan Atma Tattwa, ada 3 tingkatan pengetahuan. Tingkat awal adalah membaca dan
mendengarkan ajaran suci dharma [sastra], tingkat menengah adalah perenungan
meditatif dan intuitif [menggunakan intuisi] terhadap ajaran suci dharma yang
tersembunyi dalam kehidupan dan di alam semesta, ini disebut anthra guru
[guru yang ada di dalam diri sendiri]. Di tahap ini yang lebih dikedepankan
adalah pembelajaran meditatif dan intuitif, bukan sastra, karena disini
pengetahuan akan dihasilkan dengan sendirinya. Dan di tingkat puncak adalah samadhi, mengalami secara langsung
kesadaran Atma yang terang dalam meditasi. Hanya di tingkatan samadhi maka
pikiran, perasaan dan kesadaran bisa menjadi tidak tergoyahkan. Sehingga
tidak saja perkataan dan perbuatan selaras dengan dharma, tapi juga menemukan
kenyataan luhur tentang esensi diri ini dan apa kehidupan ini sesungguhnya.
Tidak membaca dan menulis
[sastra] selama 24 jam merupakan simbolik ajaran dharma tingkat tinggi, untuk
menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci dharma.
Bukan untuk merayakan turunnya Veda bagi manusia, membaca habis semuanya, kemudian
terjebak ke dalam dogma. Dimana pengetahuan yang bertumpuk itu dapat menjadi
dogma yang begitu kaku dan dangkal. Yang akan lebih berbahaya, jika kita rajin
dan semangat membaca sastra, tapi kemudian menggunakannya untuk menghakimi,
mengkritisi, merendahkan, memusuhi atau memanipulasi orang lain, sehingga
sastra menjadi ular beracun yang mematuk. Belajar sastra membuat nasib kita
menjadi dipatuk ular beracun.
Di tahap puncak kita
melepaskan semua konsep sastra untuk memasuki keheningan. Hanya pikiran hening
yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam.
Kesadaran seperti ini memberikan diri sendiri kesempatan untuk memahami secara
utuh tentang keberadaan ini. Hanya pikiran yang hening yang dapat menyimak diri
sendiri dan alam semesta secara utuh.
Inilah sesungguhnya yang
ditawarkan Mahadewi Saraswati di Hari Raya Saraswati. Tidak lagi pengetahuan
berdasar sastra secara biasa, tapi menggali pengetahuan rahasia yang tertinggi,
pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal.
Om Aim Saraswatyai Namaha !
Dumogi stata shanti lan rahayu
sareng sami.
KARMA BURUK
Menapaki jalan kehidupan ini,
alangkah baiknya jika kita berhati-hati menghindarkan diri dari melakukan karma
buruk, terutama sekali karma buruk yang sangat sulit dihapuskan. Karena
bagaimanapun juga ini semuanya untuk kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan diri
kita sendiri juga.
Ada berbagai jenis karma buruk
yang sangat sulit dihapuskan, yang terlalu panjang jika disebutkan
satu-persatu. Akan tetapi secara garis besar bisa diambil pedoman, bahwa karma
buruk yang sangat sulit dihapuskan adalah karma buruk yang memenuhi empat ketentuan
ini :
(1). Kita melakukan perbuatan
atau perkataan, yang menyakiti atau merugikan orang lain atau mahluk lain.
(2). Perbuatan atau perkataan
tersebut, kita lakukan dengan sengaja, serta ditujukan langsung kepada yang
bersangkutan.
(3). Setelah perbuatan atau
perkataan tersebut terjadi sehingga orang lain atau mahluk lain tersebut
tersakiti atau dirugikan, kita tidak merasa bersalah dengan perbuatan atau
perkataan kita tersebut.
(4). Setelah perbuatan atau
perkataan tersebut terjadi sehingga orang lain atau mahluk lain tersebut
tersakiti atau dirugikan, kita tidak merasa menyesal dan tidak meminta maaf.
Jika sebuah perkataan dan
perbuatan memenuhi empat ketentuan diatas, maka karma buruknya akan sangat
sulit untuk dihapuskan. Walaupun dengan sadhana nirjara dan perbuatan
kebajikan.
Sehingga dalam perjalanan
kehidupan ini, hati-hatilah dalam perbuatan dan perkataan. Hindari menyakiti
dan banyak-banyaklah melakukan kebajikan. Tapi karena ketidak-sempurnaan kita
sebagai manusia, kadang-kadang kita juga tidak bisa lepas dari melakukan
kesalahan. Jika itu terjadi, segera menyadari kesalahan kita, kemudian jangan
lupakan untuk meminta maaf dengan hati yang tulus. Dengan cara demikian,
walaupun kita melakukan kesalahan, kelak karma buruknya masih bisa dihapuskan
atau diringankan dengan sadhana nirjara dan perbuatan kebajikan.
Dengan cara paling mendasar
saja, semua orang, siapapun, bisa menjadi praktisi dharma yang mendalam. Secara
mendasar intisari dharma dua saja, yaitu melakukan upaya tidak menyakiti dan
banyak-banyak melakukan kebajikan.
Melakukan upaya menjaga diri
agar tidak menyakiti, terkait erat dengan bagaimana terbentuknya kecenderungan
pikiran kita sendiri. Jika apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat
membahagiakan orang lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti
akan mendatangkan kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri. Sebaliknya kalau
apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat menyengsarakan orang lain, maka hal
itu tanpa kita sadari akan mengotori pikiran kita, yang pasti akan berdampak
mengganggu kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.
Apapun yang kita ucapkan dan
apapun yang kita lakukan itu tidak saja akan menghasilkan karma, tapi sekaligus
juga pasti akan memantul balik ke dalam kecenderungan pikiran kita sendiri.
Dengan tidak menyakiti kelak kita tidak akan tersakiti, serta sekaligus tidak
akan membawa kegelapan di dalam pikiran-perasaan kita.
Selanjutnya, jadikanlah
perjalanan kehidupan ini sebagai lahan untuk melakukan kebajikan-kebajikan
kepada semua mahluk. Kembangkan hati yang penuh belas kasih dan kebajikan.
Karena dengan ketekunan melakukan kebajikan-kebajikan, secara pasti tidak saja
karma-karma buruk kita akan banyak diringankan, tapi sekaligus juga pikiran
kita akan banyak mengalami pembersihan. Pikiran kita dimurnikan menuju
kejernihan-kedamaian, serta dibebaskan dari kegelapan pikiran. Sekaligus di
jalan spiritual dan metode spiritual apapun kita menapak jalan, disana kita
akan mudah terhubung dengan kemahasucian.
Dumogi stata shanti lan rahayu
sareng sami
DASA YAMA
BRATA & DASA NIYAMA BRATA
Lontar Sarasamuscaya merupakan
salah satu kitab suci Hindu Dharma. Ditulis oleh Bhagawan Wararuci, seorang
pertapa-kawi Pulau Jawa, pada sekitar abad ke-9 Masehi. Di dalamnya terdapat
ajaran Hindu Dharma Jawa Kuno mengenai 20 praktek spiritual bagi para sadhaka
sebagai jalan mencapai kedamaian pikiran, mencapai kesadaran luhur dan mencapai
pembebasan Atma dari siklus samsara.
20 praktek spiritual ini
terbagi menjadi dua bagian, yaitu Dasa Yama Brata sebagai praktek spiritual landasan
dasar dan Dasa Niyama Brata sebagai praktek
spiritual mencapai kesadaran luhur. Keduanya harus saling melengkapi,
saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan.
Praktek Dasa Niyama Brata
adalah mengenai upaya memurnikan dan meluhurkan kesadaran. Akan tetapi pikiran
[manas] dan ego [ahamkara] sangatlah sulit dikuasai, sehingga kita memerlukan
praktek Dasa Yama Brata yang menghasilkan landasan dasar kejernihan pikiran.
Landasan kejernihan pikiran sangatlah penting karena akan membuat keluhuran
kesadaran menjadi mendalam. Penggabungan kedua praktek spiritual ini akan
menghasilkan pencapaian yang sempurna.
DASA YAMA BRATA
Dasa Yama Brata terdiri dari
kata dasa yang berarti “sepuluh”,
yama yang berarti “penguasaan diri”,
serta brata yang dapat berarti “sikap
tindakan dalam menjalani kehidupan”. Dasa Yama Brata berarti 10 sikap
tindakan yang terkuasai dengan baik dalam menjalani kehidupan. Dasa Yama Brata
merupakan 10 praktek spiritual untuk dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari
dalam bentuk upaya menjernihkan pikiran.
Ini merupakan praktek
spiritual mendasar. Karena untuk dapat mengembangkan kesadaran luhur kita
memerlukan landasan dasar berupa kejernihan pikiran, yang akan muncul dari
sikap tindakan yang terkuasai dengan baik pada kehidupan sehari-hari. Jika kita
tidak memiliki sikap tindakan yang terkuasai dengan baik pada kehidupan
sehari-hari, kita tidak akan dapat mencapai tingkat kesadaran yang tinggi. Dasa
Yama Brata merupakan 10 praktek spiritual untuk dilaksanakan pada kehidupan
sehari-hari, yang akan menghasilkan kejernihan pikiran, yang menjadi dasar yang
stabil agar kita dapat mencapai kesadaran yang luhur.
Dasa Yama Brata terdiri dari :
1. Ahimsa - tidak menyakiti.
2. Satya - jujur dan tidak
melakukan kecurangan.
3. Anrsangsya - tidak
mementingkan diri sendiri.
4. Dama - tidak mengumbar
keinginan.
5. Ksama - memaafkan dan
sabar.
6. Madurya - kata-kata dan
tindakan halus.
7. Prasada - berpikiran
positif dan jernih.
8. Mardhawa - rendah hati.
9. Arjawa - mengenal diri
sendiri dan menjadi diri sendiri, tidak diombang-ambingkan pendapat orang lain.
10. Priti - kasih sayang
kepada semua mahluk.
DASA NIYAMA BRATA
Dasa Niyama Brata terdiri dari
kata dasa yang berarti “sepuluh”,
niyama yang berarti “kewajiban mulia”
atau “kebiasaan mulia”, serta brata yang dapat berarti “sikap tindakan dalam menjalani kehidupan”. Dasa Niyama Brata
berarti 10 kewajiban mulia yang menjadi kebiasaan rutin dalam menjalani
kehidupan.
Dasa Niyama Bratha merupakan
10 praktek spiritual untuk dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari dalam bentuk
upaya memurnikan dan meluhurkan kesadaran.
Dasa Niyama Brata terdiri dari
:
1. Swadhyaya - membaca ajaran
suci dharma.
2. Tapa - hidup sederhana.
3. Upasthanigraha - tidak
melakukan hubungan seksual melanggar dharma.
4. Dana - melaksanakan
kebajikan-kebajikan.
5. Snana - mandi penyucian
atau melukat.
6. Brata - tidak melanggar
pantangan atau dresta.
7. Mona - melaksanakan laku
[sadhana] tidak bicara.
8. Upawasa - puasa.
9. Ijya - puja kepada para
leluhur dan Ista Dewata.
10. Dhyana - meditasi.
Ajaran Hindu Dharma Jawa Kuno
/ Abad ke-9 Masehi / Lontar Sarasamuscaya / Bhagawan Wararuci / Om shanti
shanti shanti. Mugi rahayu
TIDAK ADA
MANUSIA YANG SEMPURNA
Kita biasanya mudah melihat
kesalahan orang lain, tapi gagal dalam melihat kesalahan diri kita sendiri. Ini
sangat umum terjadi. Hal ini bisa menjadi lebih buruk lagi jika kita
menggunakan wawasan sempit seperti itu untuk menyentil orang lain, mengkritik pedas,
main sindir-sindiran halus, menjelekkan di belakang, dsb-nya. Dengan cara
seperti itu kita tidak saja sedang menanam bibit kegelapan di dalam diri kita
sendiri, tapi juga sekaligus menanam bibit kegelapan pada orang lain. Kita
tidak saja kehilangan kebijaksanaan, tapi sekaligus juga kehilangan kesadaran
dan karma baik.
Untuk dapat memiliki
kebijaksanaan dan wawasan yang luas, alangkah baiknya jika kita tidak terus
melihat kekurangan orang lain dan menuntut orang untuk memperbaiki diri. Karena
hal itu tidak disebabkan oleh besarnya kesalahan orang lain, melainkan lebih
disebabkan oleh besarnya ego diri kita sendiri. Tidak sedikit orang yang suka
melakukan hal seperti itu, dengan cara mengambil posisi dirinya lebih baik dari
orang lain, karena dengan cara demikian egonya terpuaskan,
Tidak ada manusia yang
sempurna. Orang lain tidak sempurna dan diri kita sendiri juga tidak sempurna.
Sehingga menapaki jalan dharma hendaknya kita tidak demikian fokus pada
kesalahan orang lain, tapi lebih fokuslah untuk membina diri menjadi baik.
Menyadari dan mengakui satu kekurangan diri sendiri jauh lebih menerangi jiwa
dibandingkan dengan mengkritik ribuan kesalahan orang lain. Seringlah
merenungkan perjalanan kehidupan ini, lihat kesalahan dan kekurangan diri kita
sendiri, untuk kemudian berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi. Sebagai
titik untuk merubah kehidupan kita menjadi kehidupan mulia.
ORANG SUCI DI PASAR MENGWI.
Pulau Bali adalah pulau yang suci dan sakral. Kalau mau serius sedikit saja, dimana-mana ada kekuatan suci yang membimbing perjalanan spiritual kita. Ini adalah pengalaman saya dalam melakukan perjalanan tirtayatra dan melukat, setiap pulangnya saya selalu membawa berkah spiritual. Kadang berkahnya adalah pembersihan dan kadang berkahnya adalah ajaran. Ajaran ini tidak selalu datang melalui pesan-pesan niskala, tapi bisa melalui berbagai cara.
Kali ini saya sembahyang, meditasi dan melukat bersama istri di sebuah pura kuno di desa kendran, tegalalang dan mendapat berkah ajaran yang penting. Dalam perjalanan pulang dari pura tersebut kami singgah di Pasar Mengwi, dimana kakak ipar berjualan disana. Ngobrol ini itu dengan kakak ipar dan sahabatnya seorang pedagang lain, sampai akhirnya mereka bercerita tentang salah seorang pedagang disana yang hidupnya penuh kesengsaraan dan ketidak-adilan.
Awalnya dia berpacaran dengan seorang laki-laki bujangan, sampai kemudian hamil. Dari sinilah ketidakadilan dan kesengsaraan hidupnya dimulai. Setelah hamil dia baru tahu bahwa dia tertipu, karena ternyata laki-laki tersebut sudah punya istri dan anak. Karena keluarganya malu dan tidak mau menerimanya lagi, dia tidak punya pilihan lain kecuali menikah dengan laki-laki tersebut dan menjadi istri kedua.
Kesengsaraan berikutnya datang tidak lama setelah anaknya lahir. Laki-laki tersebut kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Istri pertama-nya pun tidak bekerja. Mau tidak mau dia yang harus bekerja dan mencari uang dengan berjualan di Pasar Mengwi. Karena dia yang sekarang menanggung semua beban kebutuhan hidup keluarga, semua jenis pekerjaan yang menghasilkan uang dia ambil dengan bekerja keras. Hanya dia sendirian saja yang harus menanggung beban kebutuhan hidup seluruh keluarga, selain dia juga harus melayani berbagai tugas-tugas rumah tangga bagi suaminya.
Ketika anaknya berumur sekitar 5 tahun, dia sudah menjadi pedagang dan berbagai pekerjaan lainnya yang cukup sukses. Dan semua hasilnya digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama dan anak-anak] dan hanya sedikit untuk dirinya sendiri. Ini dijalaninya dengan penuh rasa bhakti dan tanpa keluhan.
Kejutan berikutnya kemudian datang dalam hidupnya, yaitu suaminya menikah lagi dengan wanita muda. Ketidakadilan dan kesengsaraan yang lebih berat dimulai dari sini. Setelah menikah lagi punya istri ketiga suaminya menindasnya semakin menjadi-jadi. Semua minta dilayani, semua kebutuhan harus ada, kalau tidak suaminya marah dan marah. Tidak hanya itu saja, karena jumlah kamar di rumahnya terbatas, diapun harus sering-sering sekamar dan melihat suaminya [maaf] berhubungan badan dengan istri barunya di depan mata.
Ditambah lagi jumlah keluarga yang bertambah dan beban kebutuhan hidup yang meningkat membuatnya harus bekerja lebih keras lagi. Sehingga dia bekerja, bekerja dan bekerja lebih keras lagi. Hasil kerja kerasnya ternyata berbuah, sampai dalam satu hari dia bisa bersih mendapat uang kurang lebih 300 ribu dari berbagai sumber penghasilannya. Dan semua hasilnya tersebut digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama, istri ketiga dan anak-anak].
Sesungguhnya mudah mengakhiri semua kesengsaraan dan ketidakdilan ini. Cukup dia minta cerai saja, apalagi penghasilannya sudah sangat mapan. Pedagang-pedagang lain di Pasar Mengwi banyak yang gemas dan geregetan melihat kelakuan suaminya, atau sangat kasihan melihat ketidakadilan yang dialaminya dan mendorongnya untuk bercerai. Apalagi dia tidak terlalu tua, secara fisik masih menarik dan masih bisa mencari laki-laki lain yang lebih baik. Tapi dengan polos dia berkata bahwa dia lebih kasihan nanti memikirkan bagaimana nasib anak kandung dan anak tirinya kalau dia bercerai, dibandingkan memikirkan dirinya sendiri.
Ada juga petugas pasar yang geregetan dan menyarankannya “menyewa” laki-laki lain untuk membalas kelakuan suaminya. Tapi dengan tulus dia berkata bahwa dia tidak ingin membalas agar tidak membuat karma buruk dan hanya berharap bahwa kelak anak kandung dan anak tirinya tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Karena dia sangat menyayangi baik anak kandung maupun semua anak-anak tirinya.
Bathin saya sangat bergetar mendengar kisah ini. Tambah bergetar lagi ketika bertemu dengan pedagang tersebut. Pancaran dari wajahnya adalah pancaran wajah orang yang tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan belas asih. Saya terharu dan diam-diam melakukan namaskara memberi hormat dalam hati, karena saya telah bertemu dengan orang suci.
Saya jadi ingat kisah seorang guru di India. Ketika masih muda dan masih belajar, suatu ketika pergi ke pasar bersama gurunya. Di pasar tersebut gurunya namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Tentu saja dia terheran-heran, kenapa gurunya yang dihormati banyak orang malah namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Ketika sampai di ashram gurunya menjelaskan bahwa pengemis itu orang suci. Dengan mata bathin beliau jelas sekali getaran energinya, bahwa pengemis itu memiliki tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan welas asih. [Kemudian di lain waktu terbukti bahwa pengemis itu menjadi pemberi makan anak-anak terlantar yang ada di pasar].
Pedagang dan pengemis itu tidak pernah mengenakan baju orang suci. Tidak mengenakan baju putih-putih, baju pendeta atau baju seorang yogi. Juga tidak pernah belajar dharma secara mendalam. Tapi jauh di kedalaman bathin mereka, mereka sesungguhnya adalah sadhaka di jalan rahasia, jalan yoga yang tertinggi. Tanpa konsep agama [yang mungkin malah bisa menjadi racun karena membuat seseorang menjadi fanatik], tapi punya dua bekal perjalanan yang penting, yaitu “ke dalam” adalah tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna [tetua di Jawa menyebutnya nrimo ing pandum ] dan “keluar” yang muncul hanya rasa bhakti, belas kasih dan kebajikan.
Saya membuka kembali sebuah teks-teks Hindu kuno yang menuliskan, bahwa seseorang bisa mengalami jivan-mukti bahkan ketika mereka sendiri tidak tahu. Praktisi yoga tingkat tinggi pasti tahu bahwa ketika bathin masih sesempit diri ini [ahamkara, ke-aku-an, ego], kita mudah marah, benci, tersinggung, sombong, resah, tidak puas, dsb-nya. Semakin besar egonya maka akan semakin menyakitkan kesengsaraan dan ketidakadilan. Inilah pe-er besar seorang yogi, meruntuhkan ego dan semua bentuk kegelapan bathin.
Bagi orang-orang daiwa sampad [manusia berbathin dewa], kesengsaraan dan ketidakadilan tidak menjadi kutukan kehidupan, tapi menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian. Pedagang di Pasar Mengwi dan pengemis di India itu tidak pernah belajar yoga. Tapi mereka dapat melenyapkan ego dan kegelapan bathin-nya cukup dengan dua sadhana mendalam, “ke dalam” tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna dan “keluar” yang muncul hanya bhakti, belas kasih dan kebajikan. Sebagai hasilnya adalah bathin yang seluas ruang.
Mudah bersikap sabar, sejuk, penuh belas kasih dan kebajikan disaat kita dihormati, disayangi, dipercaya dan dihargai oleh orang lain, tapi mereka yang bisa tetap sabar, sejuk dan penuh belas kasih disaat disakiti, ditindas dan dibuat sengsara oleh orang, itulah orang yang bathinnya terang dan seluas ruang.
Leluhur kita pernah mewariskan pupuh sinom seperti berikut :
Jenek ring meru sarira
gunakan tubuh ini sebagai meru atau tempat suci
Kastiti Hyang Maha suci
yang disadari oleh orang yang bathinnya sudah suci [bersih]
Mapuspa padma hredaya
bunganya adalah bunga padma [simbolik advaita-citta, pikiran yang bebas dari dualitas]
Magenta swaraning sepi
gentanya adalah keheningan bathin
Maganda ya tisnis budi
gandanya adalah kesabaran dan belas kasih tanpa syarat
Malepana sila rahayu
lepananya adalah tingkah laku yang indah [tidak membunuh, menyakiti, korupsi, mencuri, menipu, narkoba, mabuk-mabukan, berjudi, dsb-nya]
Mawija menget prakasa
bijanya adalah bathin yang tegar-kokoh [sanggup menahan segala macam penderitaan dengan bathin damai]
Kukusing sad ripu dagdidupan ipun
dengan demikian seluruh sad ripu [enam kegelapan bathin] lenyap
Madipa hidepe galang
bathinnya laksana cahaya terang benderang
Maknanya adalah meru atau tempat suci tidak hanya ada “diluar”, tapi “didalam” juga ada tempat suci. Kita dapat membadankan meru dalam diri. [Pertama] dengan mengurangi penderitaan para mahluk. Artinya selalu bersikap penuh belas kasih dan kebajikan dengan tingkat kerelaan yang sempurna. Itu semua mengurangi penderitaan para mahluk. Termasuk tidak membalas caci-maki dan hinaan orang lain, tidak balas menyakiti orang yang jahat, dsb-nya. Malah sebaliknya kita memberi lebih, kita membalasnya dengan welas asih dan kebaikan. [Kedua] Semua mahluk memperebutkan kebahagiaan dan lari dari penderitaan, sehingga alam semesta ini tidak seimbang. Kitalah yang menjaga keseimbangan alam semesta dengan mengambil yang jelek-jelek [penghinaan, kesengsaraan, kesusahan, dsb-nya]. Badan, pikiran dan perasaan kita akan menjadi meru [tempat suci] kalau selalu kita jadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.
Bagi sebagian orang yang tingkat kesucian bathinnya bagus akan mengerti, inilah bhakti yoga yang tertinggi dan sempurna. Tidak hanya di pura ada mebakti, tapi kesabaran yang tidak terbatas juga adalah mebakti. Tidak hanya di pura ada maturan, tapi kesejukan, kedamaian dan ketenangan bathin juga adalah maturan. Tidak saja di pura ada upakara, tapi welas asih dan kebaikan tanpa syarat juga adalah upakara. Tidak hanya di pura ada meru, tapi tubuhnya sendiri sudah menjadi meru [tempat suci], karena seluruh kehidupannya sudah menjadi bhakti yoga. Inilah jalan "pulang" menuju kesadaran dan kemahasucian yang tertinggi.
Orang suci belum tentu berbaju putih-putih, berbaju yogi, pertapa, pandita, pemangku, guru spiritual, dsb-nya. Orang suci belum tentu orang yang sudah membaca banyak kitab suci. Orang suci adalah orang yang penuh welas asih kepada semua, kebaikan-nya tanpa syarat dan kesabarannya tidak terbatas, walau apapun yang terjadi. Termasuk disaat dirinya mengalami kejadian buruk seperti dihina, dicaci-maki, disakiti, tidak punya uang, kelaparan, sedang sakit, dsb-nya.
Orang suci yang sesungguhnya adalah orang yang sanggup mengolah apa saja menjadi dharma. Leluhur kita menyebutnya sarwa dharma [semuanya dharma]. Dapat mengolah adharma menjadi dharma. Dapat mengolah segala bentuk godaan menjadi jalan pembebasan. Dapat mengolah segala bentuk kesengsaraan dan ketidakadilan menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian.
Badan, pikiran dan perasaan-nya menyatu menjadi kesucian yang sempurna, karena selalu dijadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.