Selasa, 28 Juli 2015

RUMAH DHARMA INDONESIA



MENOLONG DIRI KITA SENDIRI

Setiap pagi, mulailah hari kita dengan melakukan meditasi atau menjapakan mantra. Karena berguna untuk membangun ketenangan dan kejernihan di dalam diri, sebagai bekal yang baik untuk menjalani hari. Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami.

Ketekunan melaksanakan keseluruhan tiga hal ini, yaitu mengembangkan hati belas kasih, terus melakukan kebajikan-kebajikan dan melatih sikap penuh kerelaan [kepasrahan, keikhlasan], seringkali dapat membuat manusia mengalami "lompatan spiritual" yang jauh.
Siapa saja yang dengan tekun melaksanakannya secara seimbang, suatu saat kelak hatinya akan termurnikan, pikirannya menjadi tenang-damai dan kesadarannya akan terangkat ke dimensi yang tinggi.

Seperti apapun kehidupan kita, dalam perjalanan mengarungi hidup ini pasti ada saja masalah-masalah yang datang. Hal ini tidak terhindarkan, salah satu sebabnya karena kehidupan kita dipengaruhi karma. Di jalan dharma kita dibimbing untuk mempersiapkan diri kita dengan cara tekun melaksanakan sadhana, sehingga kesadaran kita tidak mudah teracuni oleh masalah kehidupan. Sebagai contoh, atasi kemarahan dan kebencian dengan mengembangkan hati belas kasih dan tekun melakukan kebajikan, atasi keserakahan dengan rasa syukur dan rasa kerelaan, dsb-nya. Landasan kesadaran ini kemudian kita perkuat dengan praktek meditasi, japa mantra, melukat, sembahyang, dsb-nya.
Memperbaiki perilaku dan kesadaran diri sendiri sesungguhnya adalah untuk menolong diri kita sendiri. Kita hendaknya dapat menyadari hal ini dan menciptakan keberkahan untuk diri kita sendiri dan orang lain.



TATA CARA JAPA MANTRA :

(1). MENGUNDANG.
Undanglah kehadiran Ista Dewata pengayom dan pelindung pribadi kita, atau kalau tidak tahu, undang kehadiran Ista Dewata yang paling kita suka atau paling menginspirasi kita. Caranya ambil japa-mala yang kita kalungkan di leher. Tampilkan mudra namaskara [mencakupkan tangan di dada] sambil memegang japa mala. Duduk tenang dalam posisi meditasi, pejamkan mata dan kita konsentrasi melakukan dhyanawidhi [melakukan visualisasi atau membayangkan]. Visualkan di hadapan kita terbentang langit biru dan awan-awan putih yang indah. Visualkan atau bayangkan Ista Dewata hadir disana, dengan wujud Ista Dewata hidup dan berpendar cahaya. Sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitab suci Hindu bahwa siapapun yang memikirkan Ista Dewata dengan kuat, akan mengundang kehadiran Beliau. Rasakan dengan hati dan dengan sraddha [keyakinan] bahwa Beliau hadir di hadapan kita.
(2). MEMOHON.
Tampilkan mudra puja mencakupkan tangan di kening dan sampaikan doa atau permohonan kita. Ini kita sampaikan dengan kata-kata sendiri, sambil tetap melakukan visualisasi [membayangkan] kehadiran Ista Dewata di langit biru dan awan putih di hadapan kita. Jika kita sedang bersedih, bukalah hati kita dengan semua perasaan duka dan sakit yang kita rasakan. Silahkan curhat kepada Beliau tentang masalah yang kita alami dan benar-benarlah minta pertolongan. Jika kita sedang bahagia, sampaikan bahwa kita mempersembahkan karma baik dari penjapaan mantra kita untuk orang lain [mungkin untuk keluarga, orang dekat, atau siapapun]. Ini bertujuan untuk menumbuhkan dan membangun hati belas kasih dan tidak mementingkan diri sendiri.
(3). MEMANGGIL.
Pegang dan gunakanlah japa-mala di dada dengan cara penjapaan mantra, sambil tetap melakukan visualisasi [membayangkan] kehadiran Ista Dewata di langit biru dan awan putih di hadapan kita, serta ucapkan mantra Ista Dewata dengan sepenuh hati. Misalnya [contoh] Dewi Saraswati, japakan mantra OM AIM SARASWATYAI NAMAHA. Atau misalnya Dewa Shiwa, japakan mantra OM NAMAH SHIWAYA. Mantra-mantra suci Ista Dewata yang telah digunakan selama ribuan tahun oleh jutaan mahluk sebagai sumber kesembuhan jiwa, pemurnian dan perlindungan. Ketahuilah bahwa di alam-alam suci para Ista Dewata selalu ada untuk kita. Mendengarkan kita, memahami kita dengan belas kasih tanpa syarat, tanpa pernah menghakimi kita.
(4). MALINGGIHKAN ISTA DEWATA DI DALAM DIRI
Setelah selesai menjapakan mantra, tangan tetap di dada memegang japa mala. Visualkan seluruh tubuh Ista Dewata memancarkan cahaya suci berwarna putih sangat terang dan kemudian wujud Beliau lebur sepenuhnya menjadi cahaya suci. Lalu cahaya suci putih terang ini bergerak diatas kita dan masuk ke dalam diri kita melalui chakra sahasrara atau chakra mahkota. Cahaya suci ini terserap menyatu dengan diri kita. Membuat badan kita sepenuhnya lebur ke dalam wujud cahaya suci putih terang benderang. Yang menyembuhkan jiwa kita, memurnikan kita, mengalirkan kekuatan belas kasih dan kebijaksanaan-Nya dan mengubah semua kesedihan kita menjadi ketenangan dan kedamaian. Terus pertahankan visual badan kita menjadi wujud cahaya suci putih terang benderang-Nya, sampai kita dapat merasakan bahwa antara diri kita dengan Ista Dewata menjadi satu.
Lakukan semua latihan sadhana Mantra Yoga ini setiap hari berulang kali dengan tekun. Mengundang Beliau, menjapakan mantra suci-Nya dan meleburkan diri kita dengan kekuatan suci-Nya. Seiring waktu nanti perlahan-lahan kesengsaraan dan kegelapan bathin kita akan dileburkan ke dalam ketenangan dan kedamaian. Kita akan menyadari dengan kesadaran bahwa Ista Dewata tidak berada diluar diri kita, Beliau selalu hadir bersama kita.



MELAKSANAKAN SADHANA

Alasan utama melaksanakan sadhana adalah untuk menguatkan kesadaran sehingga kita tidak mudah marah, tidak mudah mengeluh, sabar dan memaafkan, dsb-nya, serta menguatkan kekuatan belas kasih dan kebajikan kita dalam diri kita.
Salah satu penunjang yang baik untuk sadhana-sadhana yang kita lakukan adalah dengan tirtayatra ke tempat suci yang memiliki hubungan karma kuat dengan kita. Karena hal itu tidak saja mengisi energi suci pada jiwa kita, serta memberi kekuatan kepada kesadaran kita, tapi juga sekaligus menguatkan naungan perlindungan para Ista Dewata bagi perjalanan jiwa kita dalam samsara.



HIDUP INI HARUS ADA KESEIMBANGAN

Bagaimanapun perjalanan kehidupan kita, hendaknya kita juga mengisinya dengan menapaki jalan spiritual dharma. Karena dalam hidup ini harus ada keseimbangan.
Leluhur kita di Bali mengajarkan dharma sederhana tapi sangat mendalam, "idupe nak anggo ngalih bekel idup lan bekel mati" [hidup ini adalah perjalanan untuk mencari bekal kehidupan dan mencari bekal kematian]. Hanya sayangnya, kebanyakan manusia hanya penuh persiapan dalam menjalani kehidupan yang tidak pasti, sangat sedikit yang melakukan persiapan terkait kematian yang kelak suatu saat pasti datang.
Alasan utama menapaki jalan spiritual dharma adalah menguatkan kesadaran kita agar tidak mudah marah, tidak mudah mengeluh, sabar dan mudah memaafkan, dsb-nya, serta menguatkan kekuatan belas kasih dan kebajikan kita dalam diri kita. Melalui ketekunan melaksanakan "sadhana dalam" seperti meditasi, penjapaan mantra, melukat, tirtayatra, sembahyang, disertai ketekunan melaksanakan "sadhana luar" seperti melakukan kebajikan-kebajikan, mengendalikan perkataan dan perbuatan, kesabaran, memaafkan, tidak menghakimi, dsb-nya.
Karena dengan demikian, tidak saja hati kita akan menjadi damai, kehidupan kita selamat dari banyak bahaya, sekaligus juga jiwa kita menjadi semakin terang dan bercahaya.



TINGKATAN KEBAHAGIAAN

Ada beberapa tingkatan kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan yang terendah adalah kama shanti, yaitu merasakan kebahagiaan karena sebagian dari keinginan, harapan, kepuasan, ambisi, cita-cita, hasrat, gairah, kepentingan, atau ego kita terpenuhi. Sifat kebahagiaan seperti ini sangat rapuh atau goyah, serta umurnya tidak lama. Tapi tentu saja tidak salah mencari kebahagiaan seperti ini. Hal ini juga bagus dan berguna, terutama ketika melaksanakan swadharma [tugas-tugas kehidupan] sebagai energi pendorong kemajuan.
Penting sekali agar kita menggunakan semua hal itu hanya sebatas sebagai energi pendorong kemajuan hidup. Hindarilah semua hal itu agar tidak menjadi perangkap kehidupan.
Kemudian ada tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, yaitu manah shanti. Manah shanti didapat bukan dengan mengejar kesenangan atau kebahagiaan, tetapi dengan cara melakukan kebajikan-kebajikan kepada sesama. Merasakan kebahagiaan dari kegiatan melepaskan, merelakan dan memberi.
Umumnya bagi orang biasa yang belum siap, hal ini dapat menimbulkan keragu-raguan atau bahkan cemoohan. Tapi sesungguhnya kita bisa melatihnya secara bertahap.
Tahap pertama [sadhana menanam benih-benih belas kasih dan kebajikan], kita mulai dengan cara paling mudah dan murah, biasakanlah secara diam-diam mendoakan orang lain atau mahluk lain. Melihat pengemis di jalan doakan kemakmuran mereka, melihat orang sakit doakan kesembuhan mereka, melihat orang pacaran mesra doakan kebahagiaan mereka, dsb-nya. Niatkan dalam hati mereka berbahagia, doakan mereka selamat. Tidak apa-apa dengan kata-kata singkat dan sederhana, yang penting tulus dan sepenuh hati.
Tahap kedua [sadhana menyemaikan benih-benih belas kasih dan kebajikan], selain mendoakan, tambahkan dengan membiasakan diri kita menolong orang lain dalam hal kecil-kecil saja, seperti membantu orang menyeberang di jalan, memberikan tempat duduk untuk orang tua di bis, membukakan pintu dan mempersilahkan lebih dahulu orang masuk ke minimarket, ada sampah berserakan kita buang ke tong sampah, ada keran lupa dimatikan kita matikan, ada piring kotor kita cucikan, melihat banyak burung kita sebarkan beras untuk makanan mereka, dsb-nya. Dengan sedikit kejernihan, kehidupan ini sesungguhnya menghadirkan samudera luas tempat mengekspresikan belas kasih dan kebajikan setiap saat.
Tahap ketiga [sadhana menumbuhkan benih-benih belas kasih dan kebajikan], selain mendoakan serta membiasakan menolong orang lain dalam hal kecil-kecil, kemudian kita perluas lagi dengan melakukan pertolongan bagi orang lain dalam hal-hal yang lebih besar. Tahap ini bukanlah sekedar melakukan kebajikan saja, melainkan melakukan kebajikan dengan pengorbanan, atau bahkan dengan penderitaan. Selain itu berlatihlah untuk memberi maaf, kemudian mendoakan kebahagiaan dan keselamatan [memancarkan belas kasih], bagi orang-orang yang bersalah atau membenci kita. Tentu jangan mengharapkan proses ini enak. Kadang bahkan terasa sangat tidak enak, semata karena kita belum terbiasa dan ego kita melakukan perlawanan. Tapi nantinya jika buahnya sudah matang, kita akan mendapatkan perasaan bahagia itu datang secara ajaib entah dari mana asalnya. Jika hanya dipikirkan saja, hal ini sulit dimengerti karena tidak logis. Kita hanya bisa kelak membuktikan dan mengalaminya sendiri, jika kita mau dan tekun melaksanakannya.
Jika kita sudah menguasai ketiga hal tersebut dengan baik, kita bisa meningkatkannya ke tahap keempat [sadhana memekarkan bunga belas kasih dan kebajikan]. Yaitu, selain melaksanakan ketiga hal tersebut, kita tambahkan dengan sadhana belas kasih dan kebajikan secara abstrak. Caranya melakukan kebajikan bukan dengan materi, melainkan melalui kesabaran kepada semua orang, selalu memaafkan, tidak menghakimi orang lain, menyediakan diri menjadi pendengar yang baik, memberikan perhatian, dsb-nya.
Dengan melatih dan melaksanakan ke-empat sadhana tersebut secara bertahap, kita sudah memegang kunci untuk mencapai manah shanti, kebahagiaan sejati. Tetapi sekali lagi, proses ini awal-awalnya bisa terasa tidak enak. Serta jangan pernah mengharapkan balasan atau imbalan, karena seringkali justru kita harus merasa menderita dulu dan mengorbankan ego. Mungkin sering-sering kita akan merasa terkurangi atau merasa mengalami kerugian bagi orang lain. Semata karena jangkauan pandangan kita masih sempit [sesempit diri kita sendiri]. Tetapi dalam jangkauan pandangan yang luas, sesungguhnya hal itu adalah sebuah keuntungan luar biasa yang akan abadi.
Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami.



PEMURNIAN KESADARAN

Dalam perjalanan kehidupan ini munculnya kebahagiaan dan kesengsaraan selalu datang silih berganti. Munculnya kesengsaraan dalam perjalanan kehidupan ini sesungguhnya tidaklah seburuk yang kita sangka. Jika kita dapat menghadapinya dengan sadhana dharma, maka kesengsaraan tidak akan meracuni kehidupan kita.
Jika kita dapat menyambut setiap bentuk kesengsaraan dengan sabar, penuh kerelaan dan kebaikan hati, disana kita sedang membayar hutang-hutang karma buruk masa dahulu untuk kemudian terbebaskan.
Jika kita dapat menyambut setiap bentuk kesengsaraan dengan sabar, penuh kerelaan dan kebaikan hati, disana dengan sendirinya kita akan mengalami proses pemurnian kesadaran. Rasa terganggu, rasa sakit, kesedihan dan penderitaan, dsb-nya, yang dapat dihadapi dengan sabar, penuh kerelaan dan kebaikan hati, akan menjadi proses pembersihan yang membuat kesadaran kita semakin jernih dan semakin murni dari hari ke hari.

Saat kita tekun melakukan kebajikan, kebajikan dan kebajikan, kebahagiaan hidup mungkin tidak langsung datang, tapi pemurnian kesadaran kita sudah dimulai dan sebagian musibah dan malapetaka sudah menjauh. Saat kita melakukan kejahatan-kejahatan atau pelanggaran dharma, tidak saja kesadaran kita akan dibuat menjadi gelap dan keruh, tapi juga musibah dan malapetaka akan terus semakin mendekat. Semua pilihannya ada di tangan kita sendiri.

KETEKUNAN MELAKSANAKAN SADHANA

Jika kita tidak membangun kekuatan kesadaran melalui ketekunan melaksanakan sadhana, maka pikiran-perasaan negatif [seperti iri hati, marah, benci, dendam, serakah, galau, resah, sedih, rasa sakit, dsb-nya] biasanya lebih kuat dibandingkan kesadaran. Itu sebabnya ketika marah kita bertengkar, ketika benci kita mengeluarkan kata-kata menyakitkan, ketika kecewa kita stress, ketika sedih kita menangis, ketika ada godaan kita serakah, dst-nya. Karena kesadaran kita dibenamkan oleh perasaan-pikiran negatif.
Melalui ketekunan melaksanakan "sadhana dalam" seperti meditasi, penjapaan mantra, melukat, sembahyang, disertai ketekunan melaksanakan "sadhana luar" seperti melakukan kebajikan-kebajikan, mengendalikan perkataan dan perbuatan, kesabaran, memaafkan, tidak menghakimi, dsb-nya, disana kemudian cengkeraman perasaan-pikiran negatif terhadap kesadaran perlahan-lahan mulai melemah. Semakin tekun dan mendalam kita melaksanakan sadhana, tentunya kesadaran kita akan semakin kuat.
Sebagai hasilnya perasaan-pikiran negatif tidak lagi menjadi diktator bagi kesadaran kita. Dalam arti, perasaan-pikiran negatif tetaplah sama datang dan pergi tidak berubah, karena demikianlah hukum semesta, tapi kita mulai bisa melepaskan diri dari cengkeraman perasaan-pikiran negatif yang muncul, karena kesadaran sudah mulai kuat. Sehingga kita tidak mudah marah, tidak mudah kecewa, tidak mudah menangis dan tidak mudah berkelahi.
Tapi tentu saja karena ketidak-sempurnaan kita sebagai manusia, ditambah dengan derasnya gangguan dan masalah kehidupan, walaupun kita sudah tekun melaksanakan sadhana, kadang-kadang masih kembali terjadi kesadaran kita dibenamkan oleh perasaan-pikiran negatif. Sehingga pengalaman buruk seperti ketika marah kita bertengkar, ketika benci kita mengeluarkan kata-kata menyakitkan, ketika kecewa kita stress, ketika sedih kita menangis, ketika ada godaan kita serakah, dst-nya. Namun jangan mudah putus asa. Teruskan, teruskan dan teruskanlah ketekunan melaksanakan sadhana. Seperti air yang terus-menerus menetes di batu, lama-kelamaan batu yang sangat keras juga pasti akan dapat ditembus.

Sadhana merupakan upaya-upaya spiritual, serta praktek-praktek melatih diri, dengan tujuan agar kesadaran kita lebih kuat dibandingkan pikiran dan perasaan, dalam pengalaman hidup apapun yang kita alami, serta dalam pikiran-perasaan apapun yang muncul dalam diri kita.
Selama kita tidak tekun melakukan sadhana, selama itu juga kehidupan kita akan penuh dengan kesengsaraan. Sedikit saja ada masalah atau gangguan dalam kehidupan, bisa dengan cepat melenyapkan kesadaran karena ditenggelamkan rasa marah, sakit hati, kecewa, dendam, takut, dsb-nya. Sedikit saja ada keberuntungan, keunggulan atau kebahagiaan dalam kehidupan, bisa dengan cepat melenyapkan kesadaran karena ditenggelamkan pikiran sombong, serakah, tidak puas, mementingkan diri sendiri, dsb-nya. Dimana semua itu merupakan bentuk-bentuk pikiran-perasaan yang cepat atau lambat akan menyengsarakan.
Ketekunan melaksanakan sadhana secara pelan tapi pasti membuat kesadaran kita lebih kuat dibandingkan pikiran-perasaan. Memperbesar kemampuan kita untuk menerima dan mengalir sempurna dengan setiap aliran pikiran, perasaan dan karma-karma yang datang sesuai hukum alam semesta.
Rasa marah, sakit hati atau kecewa mungkin tetap muncul, tapi kita bisa diam dan sabar. Rasa dendam mungkin masih ada, tapi kita bisa segera memaafkan. Rasa takut mungkin masih ada, tapi kita bisa tabah. Pikiran sombong mungkin tetap muncul, tapi kita dapat bersikap rendah hati. Pikiran serakah dan tidak puas mungkin masih ada, tapi kita bisa tetap bersyukur. Pikiran mementingkan diri sendiri mungkin tetap muncul, tapi kita tetap dapat bersikap penuh kebajikan. Karena kesadaran kita lebih kuat dibandingkan pikiran-perasaan. Kita dapat tetap terserap dalam kesadaran, walau pengalaman hidup apapun yang kita alami, walau pikiran-perasaan apapun yang muncul dalam diri kita.
Sebagai hasilnya pikiran kita lebih jernih dan tenang, kehidupan kita cenderung lebih aman dari konflik dan bahaya, karma-karma buruk kita lebih sedikit, serta hidup kita tidak sia-sia karena telah menjadi sebuah perjalanan yang terang.  



PERJALANAN KEHIDUPAN

Dalam perjalanan kehidupan ini manusia itu “swatantra katah”, yang berarti mahluk yang sepenuhnya memiliki kehendak bebas dan sekaligus bertanggung jawab atas semua perbuatannya sendiri. Diri kita sendiri-lah yang sepenuhnya merancang dan menentukan alur perjalanan kehidupan kita sendiri. Oleh karena itu alangkah baiknya jika kita selalu tekun dan bersemangat mengumpulkan akumulasi karma baik, agar kehidupan di masa depan menjadi baik dan beruntung. Karena melakukan kebajikan disaat ini, secara pasti akan mengirimkan kebahagiaan dan kedamaian di masa depan.
Jika perjalanan hidup kita disaat ini mengalami banyak masalah dan kesengsaraan, kita harus sadar bahwa ini semua tidak lepas dari karma kita sendiri. Disaat yang sama kita harus punya tekad kuat dan kesadaran, bahwa kita harus merubahnya menjadi lebih baik, agar kelak hidup kita tidak sengsara seperti saat ini. Caranya dengan berusaha tidak melakukan perbuatan yang melanggar dharma, serta mengisi hidup kita dengan banyak-banyak berbuat kebajikan.
Sebaliknya, jika perjalanan hidup kita mengalami banyak kemudahan dan kebahagiaan, kita juga harus sadar bahwa ini semua tidak lepas dari karma kita sendiri. Tapi kita juga tetap harus punya tekad kuat dan kesadaran, bahwa kita harus berusaha tidak melakukan perbuatan yang melanggar dharma, serta mengisi hidup kita dengan banyak-banyak berbuat kebajikan. Dengan tidak melaksanakan kebajikan saja hidup kita sudah bahagia, apalagi kalau kita melaksanakan dharma dan banyak melakukan kebajikan. Dan bukan sebaliknya, hanya tinggal menunggu waktu saja akumulasi karma baik kita ini habis, untuk kemudian hidup kita juga akan kembali mengalami terjun bebas ke dalam jurang kesengsaraan.
Hendaknya jangan pernah merasa enggan berkarma baik, karena tidak pernah ada kebajikan yang sia-sia. Apalagi kalau sampai kita melakukan berbagai karma buruk tanpa mempertimbangkan akibatnya. Banyak orang dalam avidya [kebodohan, ketidaktahuan] menyangka perbuatan adharma yang dia lakukan itu nikmat dan manis laksana madu, selama ketika buah karma buruk dari perbuatannya itu belum matang. Tapi disaat buah karma buruk dari perbuatannya itu matang, maka disanalah dia akan mengalami kesengsaraan.
Pandangan yang mengatakan bahwa kehidupan ini sudah ditentukan oleh garis karma yang tidak bisa dirubah, adalah salah satu dari pandangan salah. Salah satu arti dari menempuh jalan dharma adalah selalu berusaha merubah garis karma kita ke arah yang lebih baik.

Dalam kehidupan manusia tidak pernah ada kehidupan yang selalu nyaman dan bebas dari masalah. Jika kesulitan, kemalangan dan masalah sudah saatnya datang dalam kehidupan akibat akumulasi karma, dia akan datang dengan tidak bisa dibendung. Mereka yang larut dalam perasaan kecewa, sedih, marah, sakit hati atau putus asa, itu merupakan sebuah masukan kalau pikirannya masih sempit. Karena kebahagiaan hanya persoalan memandang dari sudut pandang yang tepat. Jika sudut pandang pikiran positif dan lembut maka kebahagiaan akan hadir di dalam kehidupan.
Jika kesulitan, kemalangan dan masalah dalam kehidupan sudah terasa demikian menyakitkan, itu merupakan sebuah masukan bahwa kita sudah menjauh dari jalan dharma. Cobalah untuk tidak lari ke minuman keras, tempat dugem, selingkuh, judi, narkoba, dsb-nya. Karena itu semua dengan cepat atau lambat akan membuat perjalanan kehidupan semakin gelap dan memburuk. Cobalah untuk tidak larut di dalam perasaan kecewa, sedih, marah, sakit hati atau putus asa. Tapi ambil langkah sebaliknya, carilah perlindungan pada jalan dharma. Mulailah belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri, belajar melayani orang lain dan belajar bersikap lembut [tidak kasar]. Mulailah melaksanakan sadhana seperti belajar meditasi, menjapakan mantra Ista Dewata, tirtayatra dan melukat ke parahyangan suci kuno, dsb-nya. Karena dengan cara ini perlahan-lahan pikiran akan semakin sejuk dan damai, sekaligus akan menguatkan kesadaran.

Di dalam perjalanan kehidupan ini kita pasti pernah mengalami masalah dan gangguan yang datang dari luar. Tetapi yang membuat masalah akan menjadi lebih besar dan berbahaya justru berasal dari dalam diri. Ketika bertemu masalah dan gangguan, kemudian respon kita adalah melawan balik dengan melakukan tindakan adharma. Ini disebabkan oleh ahamkara [ego, ke-aku-an]. Dan ahamkara pula yang menyebabkan kita terus menerus dilahirkan dalam roda samsara, bertemu dengan dualitas kebahagiaan dan kesengsaraan. Terbelenggu dalam riak-riak guncangan dan segala sesuatu yang tidak kekal.
Jika serius di jalan dharma, berusahalah memberikan yang terbaik dalam melaksanakan hidup ini. Tapi apapun yang terjadi diperlukan keikhlasan untuk dapat menerima hal-hal tersebut. Disaat yang berat dan buruk, duduklah bermeditasi. Renungkanlah secara meditatif bahwa tubuh fisik ini bukan milik-ku, perasaan ini bukan milik-ku, pikiran ini bukan milik-ku dan harta benda ini bukan milik-ku. Kemudian semuanya kita persembahkan kembali kepada alam semesta. Ini akan lebih mendalam lagi jika dalam kehidupan sehari-hari kita sering-sering menolong, memberi dan berbagi kebahagiaan kepada mahluk lain.
Di Bali ini disebut ngewaliang [mengembalikan]. Ini adalah ajaran kuno warisan leluhur orang Bali. Nama Pulau Bali sendiri berasal dari kata wali [kembali], mengembalikan, sebagai sadhana menuju puncak dari ajaran spiritual yang tertinggi. Karena dengan selalu dan selalu ngewaliang [mengembalikan], sangat mungkin ahamkara akan terus terkikis. Sampai pada suatu titik kita akan mengalami keheningan, kejernihan dan kedamaian di dalam diri.

Semua kehidupan akan berakhir pada kematian. Menyangkut kematian, ada 3 [tiga] kemungkinan perjalanan Atma meninggalkan alam marcapada dengan cara yang baik atau cara yang diharapkan, yaitu :
(1). Atma mengupayakan sendiri jalan menuju alam-alam suci.
Kemungkinan ini bersandar kepada akumulasi karma baik kita semasa hidup dan latihan sadhana yang kita lakukan semasa hidup. Jika dalam masa kehidupan kita memiliki karma baik yang berlimpah, serta telah mengembangkan suatu kebiasaan untuk rutin meditasi, japa mantra, dsb-nya, maka di alam kematian ini merupakan kebiasaan yang amat berguna. Karena memudahkan kita untuk masuk ke dalam keheningan meditasi yang membawa kita ke alam-alam suci, atau memudahkan kita mengundang kehadiran Satguru atau Ista Dewata pengayom dan pelindung yang kekuatan suci-Nya akan menarik Atma masuk ke alam-alam suci.
(2). Atma dibantu diseberangkan menuju alam-alam suci oleh orang yang siddhi.
Kemungkinan ini bersandar kepada akumulasi karma baik kita semasa hidup dan peran keluarga, kerabat atau orang lainnya yang masih hidup, dengan menyelenggarakan suatu upacara ngaben atau bentuk upacara lainnya yang berhasil secara niskala. Dimana keberhasilan penyeberangan Atma di dalam upacara ngaben paling ditentukan oleh keterampilan dan kesiddhian sang yajamana [pemuput upakara]. Tapi tetaplah dalam kehidupan kita harus mengumpulkan banyak-banyak akumulasi karma baik. Karena yang menentukan berhasil tidaknya sebuah proses penyeberangan Atma juga sangat erat kaitannya dengan akumulasi karma baik seseorang. Kalau tidak ada karma baik, tidak akan memperoleh kesempatan untuk mendapatkan upacara penyeberangan Atma. Kalaupun mendapatkan kesempatan tersebut, maka kegagalan penyeberangan Atma dalam upacara ngaben atau bentuk upacara lainnya sangat mungkin terjadi karena faktor karma buruk yang terlalu berat. Faktor karma selalu bekerja. Jika akumulasi karma baik berlimpah semasa hidup akan sangat membantu membuat penyeberangan Atma menjadi mudah dilakukan.
(3). Atma dijemput oleh kekuatan para suci.
Kemungkinan ini bersandar kepada akumulasi karma baik kita yang sangat berlimpah semasa hidup, serta perlu didukung oleh faktor tambahan. Yaitu jika semasa kita hidup kita sangat taat dan bhakti kepada Satguru atau Ista Dewata, sehingga Satguru atau Ista Dewata akan hadir untuk menjemput kita menuju alam-alam suci. Atau jika ada orang lain [keluarga, teman, dsb-nya] yang semasa kita hidup kita sayangi dengan sepenuh hati tanpa syarat, atau orang yang pernah kita buat jasa kebajikan yang sangat besar [yang berhasil terlebih dahulu memasuki alam-alam suci]. Mereka akan datang sebagai “dewa penolong” untuk menolong dan menjemput kita dan mengantar menuju alam-alam suci.
Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami .



YOGA SUTRA 1.33

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, pikiran dapat dimurnikan dengan keramahan dan kehangatan kepada mereka yang sedang bahagia, belas kasih dan kebajikan kepada mereka yang sedang sengsara, mendukung dan membantu orang-orang yang baik hati, serta tidak menghakimi dan menilai buruk [bersikap netral] terhadap orang-orang yang kita rasa jahat atau salah.



BELAS KASIH DAN KEBAJIKAN

Titik pusat dari seluruh sadhana dharma adalah menumbuhkan hati yang penuh belas kasih dan tekun melakukan kebajikan-kebajikan kepada semua mahluk. Artinya jika seluruh ajaran Hindu Dharma dipusatkan menjadi satu saja maka itu adalah belas kasih dan kebajikan kepada semua mahluk.
Jika dalam kehidupan kita penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, akan memurnikan samskara [kesan-kesan pikiran], yang memberikan kita kedamaian pikiran dan perasaan yang terang. Pikiran kita dihantarkan menjadi tidak mudah marah, tidak mendendam, bebas dari rasa iri hati, dsb-nya. Singkatnya, akan dapat meredakan berbagai kegelapan dan kekalutan pikiran.
Jika dalam kehidupan kita penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, akan memudahkan kita mengerti ajaran dharma yang sebenarnya. Selain itu akan memberikan daya angkat yang besar bagi setiap sadhana yang kita lakukan. Ketika kita meditasi cepat mencapai samadhi, ketika sembahyang atau japa mantra kita mudah terhubung dengan alam-alam suci.
Jika dalam kehidupan kita penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, musuh kita pasti berkurang dan kita terhindar dari konflik-konflik berbahaya. Pengalaman-pengalaman hidup kita cenderung lebih aman dan terhindar dari bahaya.
Jika dalam kehidupan hati kita penuh belas kasih dan banyak melakukan kebajikan, karma-karma buruk kita akan bisa mendapat keringanan. Selain itu dewa penolong kita akan “turun”. Mungkin tanpa kita ketahui, kita akan selalu dijaga dan dibantu oleh kekuatan-kekuatan suci dari alam-alam luhur yang tidak terlihat tersebut. Dan kelak ketika kita meninggal dunia sangat mungkin kita dapat memasuki alam-alam suci atau jika kemudian terlahir kembali sebagai manusia akan berjodoh dengan ajaran dharma dan hidup didominasi oleh kebahagiaan dan kemudahan.
Apa yang akan terjadi dengan orang yang dalam kehidupannya gagal melaksanakan belas kasih dan kebajikan ? Laksana burung yang sayapnya patah, dia akan terjatuh. Tidak ada pilihan lain selain terjatuh pada kelahiran rendah [lahir sebagai binatang, menjadi mahluk alam bawah] yang penuh kesengsaraan. Darisana dia harus merangkak teramat susah payah dalam jangka waktu lama agar bisa terlahir kembali menjadi manusia. Sehingga, sebelum terlambat, sebaiknya dalam kehidupan ini kita belajar menumbuhkan hati yang penuh belas kasih dan tekun melakukan kebajikan-kebajikan.

Dalam ajaran dharma, apapun mantra dan doa yang kita ucapkan, pasti akan ditutup dengan mantra paramashanti, Om Shanti Shanti Shanti Om, semoga kedamaian meliputi seluruh alam semesta [tri loka]. Artinya tujuan puncak dari apapun ajaran dharma adalah kedamaian, kedamaian dan kedamaian.
Kedamaian adalah hasil dari praktek belas kasih dan kebajikan yang mendalam.

Ketika kita melakukan suatu perbuatan kebajikan, mungkin kebahagiaan dan rejeki tidak akan langsung datang tapi musibah sudah mulai menjauh. Ketika kita melakukan suatu perbuatan kejahatan, mungkin musibah dan kesengsaraan tidak akan langsung datang tapi kedamaian sudah mulai menjauh.
Di alam ini ada hukum semesta yang berlaku mutlak. Sehingga jika kita berharap memperoleh jalan kehidupan yang terang dan damai, melakukan kebajikan adalah suatu hal yang wajib dilakukan dalam perjalanan kehidupan. Lakukan kebajikan setiap kali ada kesempatan.



PERTANDA KEMAJUAN SPIRITUAL

Pertanda adanya kemajuan spiritual bukanlah seberapa banyak kita mengetahui isi sastra suci, atau hafal banyak mantra dan mudra, atau banyak pura yang sudah kita jelajahi, atau banyak punya pengikut, atau tingkat kehebatan kesiddhian [kekuatan supranatural], atau posisi jabatan kita sebagai pemuka agama.
Satu-satunya pertanda kemajuan spiritual adalah hati yang penuh belas kasih, tindakan yang penuh kebajikan dan pikiran tenang-seimbang yang bebas dari penilaian [penghakiman]. Karena inilah satu-satunya pertanda yang terkait dengan tingkat kesadaran yang tinggi pada setiap mahluk.

Bagi orang kebanyakan, munculnya masalah, kesulitan, kesengsaraan dalam kehidupan seringkali dipandang sebagai cobaan atau hukuman Tuhan. Dan munculnya godaan-godaan duniawi dalam kehidupan seringkali dipandang sebagai godaan setan yang harus diperangi. Sehingga banyak orang yang melarikan diri dari hal seperti ini, untuk kemudian larut dalam kemarahan, kesedihan ataupun kecemasan.
Sedangkan bagi para sadhaka di jalan dharma yang mendalam, jika dalam kehidupan banyak muncul masalah, kesulitan, kesengsaraan, ataupun muncul godaan-godaan duniawi, hal itu merupakan pertanda adanya kehadiran Sadguru yang dengan penuh belas kasih sedang membimbing sang sadhaka menuju jalan suci. Karena di tingkat-tingkat awal ego atau keakuan [ahamkara] sedang dihancurkan habis-habisan. Kadang bahkan dengan cara yang sangat menyakitkan, hanya agar ego dan keakuan terus menerus mengecil.
Ego yang besar sering diibaratkan seseorang yang hanyut dibawa arus sungai pikiran dan perasaan. Pilihannya ada di tangan kita sendiri, apakah kehidupan membawa kita menjadi marah, sedih atau cemas, ataukah membawa kita berkonsentrasi menuju jalan suci yang terang. Caranya dengan tekun melaksanakan sadhana dharma agar kesadaran kita semakin menguat dari hari ke hari.



MENGHADAPI MASALAH-MASALAH KEHIDUPAN

Di dalam menghadapi masalah-masalah di dalam kehidupan kita, hindarilah terjebak kedalam empat jenis ke-ekstrim-an.
1]. Ke-ekstrim-an jenis pertama dalam menghadapi masalah adalah sepenuhnya menyalahkan orang lain, dalam arti memandang diri kita semata baik atau benar.
Ini adalah keekstreman yang berbahaya karena dapat mengarah pada sikap kejam dan melakukan kekerasan kepada orang lain. Serta menumbuhkan sikap sombong, merasa kita tidak perlu berubah dan kita tidak perlu menghentikan cara-cara negatif kita atau cara-cara kita yang tidak tepat, karena kita baik dan benar. Sesungguhnya apapun masalah dalam kehidupan, semua pihak memiliki saling keterkaitan dan perannya masing-masing.
2.] Ke-ekstrim-an jenis kedua dalam menghadapi masalah adalah sepenuhnya menyalahkan diri kita sendiri, dalam arti semata memandang diri kita buruk atau salah. Karena bahayanya ini bisa memburuk menjadi perusakan diri.
Jika kita terlalu memusatkan diri pada kesalahan dan kekurangan diri kita, ini bisa dengan mudah mengembangkan penghargaan diri yang rendah. Itu berlawanan arah dengan tujuan pengembangan kesadaran. Memang kita sangat perlu mengakui sisi-sisi yang perlu kita perbaiki. Tapi haruslah seimbang. Artinya kita juga perlu mengakui sisi-sisi positif kita, supaya kita bisa mengembangkan sisi-sisi positif kita menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Setiap manusia pasti memiliki sisi negatif dan sisi positif. Mengakui sisi-sisi negatif yang perlu kita perbaiki, perlu juga dimbangi dengan mengingat sisi-sisi positif kita. Sadhana dharma tidak hanya berfokus kepada memperbaiki sisi-sisi negatif kita saja. Tapi kita juga perlu berusaha menguatkan sisi-sisi positif kita.
3.] Ke-ekstrim-an jenis ketiga dalam menghadapi masalah adalah hanya perhatian kepada perasaan diri kita sendiri saja. Karena bahayanya ini bisa memburuk menjadi sifat egois dan mementingkan diri sendiri.
Kita hanya memandang perasaan kita sendiri dan tidak menaruh perhatian pada perasaan orang lain. Orang lain harus menerimanya, karena tidak ada perasaan orang-orang lain yang penting. Ini bisa menguatkan kecenderungan dalam diri bahwa perasaan kita adalah yang paling penting di dunia. Ini merupakan sifat egois yang merusak kesadaran dan akan membuat kita sengsara.
4.] Ke-ekstrim-an jenis ke-empat adalah masih tetap menyimpan rasa bersalah dari masalah waktu dulu yang sudah lewat. Karena bahayanya ini bisa memburuk menjadi penyiksaan diri.
Hindari berpikir, “Aku buruk. Aku jahat. Aku tidak berguna. Aku melanggar dharma”. Ini merupakan penyiksaan diri yang merusak sekaligus tidak berguna. Tidak ada kesalahan dari masa lalu, yang ada hanya pelajaran-pelajaran kehidupan. Ambil pelajarannya, perbaiki diri dan tinggalkan kejadiannya. Jika kita ingin membebaskan diri kita dari kesalahan yang kita miliki dan menghindari kesalahan lebih lanjut di masa depan, sikap paling sehat adalah berpikir, “Jika aku ingin bebas dari kesalahanku, aku akan tekun melakukan sadhana dharma.”
Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami.



PENTINGNYA KETERHUBUNGAN ANTARA MANUSIA DENGAN ALAM SEMESTA

Tradisi spiritual kuno dari berbagai belahan dunia memiliki satu kesamaan, yaitu semuanya mengerti pentingnya keterhubungan antara manusia dengan alam semesta. Orang India mengenal gunung, danau dan sungai suci sebagai stana dari para Ista Dewata. Orang Bali mengenal gunung, hutan, danau dan mata air suci sebagai tempat-tempat sakral untuk penyembuhan dan meditasi. Karena pada titik-titik tertentu di alam ini memiliki kekuatan yang sangat menyembuhkan dan menyegarkan badan serta jiwa.
Para orang suci di jaman dahulu mendirikan parahyangan suci di tempat-tempat sakral seperti itu bertujuan sebagai tempat upacara yang memancarkan getaran energi kedamaian ke alam dan semua mahluk, sebagai tempat bernaung bagi masyarakat luas agar jiwa-jiwa mereka terjaga dari kemungkinan jatuh ke alam-alam bawah dan sebagai tempat sadhana bagi para sadhaka agar jiwa-jiwa mereka terbantu dalam perjuangan spiritualnya.

Tanah Bali adalah tanah yang sangat sakral. Dalam kehidupan penganut Hindu Bali hampir setiap tempat adalah tempat suci. Orang Bali mensucikan rumahnya, mensucikan desa-nya, mensucikan airnya, mensucikan tanahnya, mensucikan lautnya, mensucikan hutannya, pada intinya mensucikan setiap sudut ruang Tanah Bali. Memberikan persembahan suci, itu dan hanya itu. Seringkali tidak bersuara, tidak ada tangan manusia yang mencatat, namun tetap dilakukan secara serentak dan terus menerus. Sebagai hasilnya adalah indahnya alam spiritual Bali selama beratus-ratus tahun. Akan tetapi hanya mereka yang melakoninya dengan penuh kedalaman sekaligus keheningan yang bathinnya bisa tergetar di wilayah-wilayah sakral dan suci Tanah Bali.



MENOLONG ORANG LAIN

Ketika roda berputar dibawah [hidup membawa kita ke titik sedih dan sengsara] jangan lupa sabar dan menerima. Jika kondisi benar-benar terjepit mintalah pertolongan orang lain.
Ketika roda berputar diatas [hidup membawa kita ke titik bahagia dan nyaman] jangan lupa menolong orang lain. Karena bisa jadi di hari esok kitalah yang memerlukan pertolongan. Hari esok tidak ada yang tahu dan kehidupan seketika dapat berputar terbalik secara ekstrim.
Seandainya direnungkan, sesungguhnya seluruh perjalanan kehidupan ini dipenuhi oleh pertolongan orang lain. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menolong orang lain. Selain itu menolong orang lain tidak saja membahagiakan orang yang ditolong, tapi juga menyembuhkan jiwa kita sendiri, sekaligus membawa kita kepada kebangkitan spiritual.



BELAJARLAH MEMANDANG ORANG LAIN DARI SUDUT PANDANG POSITIF DAN LEMBUT

Kebaikan dan kejahatan di dunia ini tidak sesederhana yang mungkin kita pikirkan. Ada beragam sekali niat, alasan dan tujuan di balik suatu tindakan yang sering tidak dapat kita lihat, semata karena tertutup kabut kecenderungan pikiran kita sendiri. Sehingga janganlah terlalu mudah menghakimi orang lain hanya berdasarkan gerak-gerik luarnya saja.
Orang yang mengulurkan tangan untuk menolong, bisa jadi bukan karena dia berhutang atau punya motif tertentu, tapi karena dia memiliki empati pengertian pada kesulitan dan kesedihan orang lain, sehingga muncul belas kasih di dalam dirinya.
Orang yang terlebih dahulu minta maaf setelah bertengkar, bisa jadi bukan karena dia bersalah, tapi karena dia sangat menghargai orang lain.
Orang yang sering membayarkan atau mentraktir, bisa jadi bukan karena dia banyak uang atau pamer kekayaan, tapi karena dia lebih menghargai sebuah hubungan baik dibanding uang.
Orang yang sering mengontakmu, bisa jadi bukan karena dia tidak punya kesibukan ataupun ada maunya, tapi karena dia memiliki rasa kepedulian terhadap kamu.
Orang yang mengambil pekerjaan tanpa ada yang menyuruh, bisa jadi bukan karena dia bodoh atau berniat mencari muka, tapi karena dia memiliki rasa tanggung jawab.
Orang yang sering menyanjungmu setinggi langit, bisa jadi bukan karena dia menganggapmu pahlawan, atau orang suci, ataupun gombal mencari muka, tapi karena dia menerima serta memaafkan semua kelemahan dan keburukanmu.
Orang yang sering mengkritikmu, bisa jadi bukan karena dia membencimu, tapi karena dia ingin menyelamatkanmu ataupun ingin kamu mengeluarkan potensi terbaik dirimu.
Seringkali ketika kita menghakimi orang lain, hal itu justru mencerminkan bagaimana diri kita dan isi pikiran kita dibandingkan bagaimana orang lain tersebut. Kita menilai orang lain semata-mata berdasarkan bagaimana kecenderungan pikiran kita sendiri.
Di jalan dharma, belajarlah memandang orang lain dari sudut pandang positif dan lembut. Karena jika kita menghakimi orang lain, secara pasti akan membuat kejernihan dan kedamaian di dalam diri menghilang. Kita tidak saja sedang menanam bibit-bibit kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi juga sedang menanam bibit-bibit kekerasan pada orang lain.
Belajarlah memandang orang lain dari sudut pandang positif dan lembut. Karena disaat itu juga kebencian, kemarahan dan kesombongan lenyap dari pikiran kita. Kemudian memberikan ruang pada belas kasih dan kebajikan di dalam pikiran kita. Hal ini tidak saja memurnikan jiwa, tapi sekaligus juga akan mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain.
Sudah sering terbukti jika kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa saja, dengan sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat orang atau mahluk tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang terus kita kirimkan. Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga menyelamatkan orang lain. Hal ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari kemungkinan garis nasib yang panas dan sengsara.



TIRTHA ( AIR SUCI)

Trayas trimsad devatas
Jugupur apsu-antah
[Atharva Veda XIX.27.10]
Tiga-puluh-tiga [jumlahnya] dewata ada dalam air suci di alam dan melindungi umat manusia.

Tam u sucim sucayo didivansam
Apam napatam parithasthur apah
[Rig Veda II.35.3].
Air suci yang bersih [jernih] dan mengalir, baik dari sumber mata air ataupun dari lautan, mempunyai kekuatan yang menyucikan.

SELAMAT HARI SUCI BANYU PINARUH YANG BERSAMAAN DENGAN HARI SUCI PURNAMA JYESTHA. SELAMAT MEMBERSIHKAN KE-TUJUH LAPISAN BADAN SEKALA-NISKALA DENGAN TIRTHA [AIR SUCI].

Apo adyanv acarisam rasena sam agasmahi
Payasvan agna a gahi sam prayaya sam ayusa
[Rig Veda I.23.23]
Sekarang kami meleburkan diri manunggal dengan kekuatan yang mewujudkan air ini. Semoga kekuatan suci yang tersembunyi dalam air ini, menyucikan dan memberikan kekuatan suci kepada kami.

Apo asman matarah sundhayantu
Ghrtena no ghrtapvah punantu
Visvam hi ripram pravahanti devir
Ud id abhyah sucir a puta emi
[Rig Veda X.17.10]
Semoga air suci berkah alam semesta ini menyucikan diri kami sehingga kami bercahaya gemerlapan. Semoga diri kami dibersihkan oleh air suci ini. Semoga air suci ini melenyapkan segala kekotoran kami. Kami akan bangkit [dari kegelapan] dan memperoleh kesucian darinya.

Rajin sembahyang, tirtayatra, maturan, mebanten, dsb-nya, sudah pasti merupakan hal yang terang dan bagus. Tapi pada saat yang sama selayaknya kita juga tekun membina diri di jalan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Alangkah indahnya jika tirtha suci kemudian dapat kita olah menjadi manasa tirta [air suci yang ada di kedalaman bathin]. Dengan cara membina diri mengikis kegelapan-kegelapan bathin, seperti iri hati, dengki, marah, benci, sombong, serakah, hawa nafsu tidak terkendali, bingung, tenggelam dalam kesedihan, dsb-nya.
Sehingga dengan rajin sembahyang, tirtayatra, maturan, mebanten, dsb-nya, kita juga akan menjadi semakin sabar, semakin penyayang, semakin baik hati, semakin jujur, semakin tenang-seimbang, semakin tidak menyakiti, dsb-nya. Dengan cara demikian, kita setiap hari sedang membangun kedamaian di dalam diri dan sekaligus memancarkan getaran kedamaian kepada orang lain.
Suatu saat kelak, ketika keheningan di dalam diri bertemu dengan keheningan parahyangan suci, disana terjadi pengalaman yang tidak bisa diceritakan. Itulah puncak dari jalan bhakti.
Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami.



PENGETAHUAN SUCI TERTINGGI

Ada sebuah kepercayaan tradisional, bahwa pada saat Hari Raya Saraswati kita tidak boleh membaca dan menulis.
Pada konteks yang umum, kepercayaan tradisional itu tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan tentang Brata Saraswati pada Hari Raya Saraswati. Bagi orang kebanyakan, hendaknya tidak membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran dharma dari pagi sampai tengah hari. Karena puja kepada Dewi Saraswati dilakukan pada pagi hari atau tengah hari dan disana semua sastra kita muliakan dan dibantenin. Bagi orang kebanyakan, ini dimaksudkan agar kita mensakralkan ajaran suci dharma. Karena dengan mensakralkan ajaran suci dharma, sama dengan mensakralkan perjalanan spiritual kita sendiri. Setelah lewat waktu puja di tengah hari, sastra dapat kita ambil kembali dan kita dapat membaca dan menulis. Sedangkan pada malam harinya justru sangat dianjurkan melakukan malam pembacaan sastra, diskusi ajaran dharma atau melaksanakan meditasi.
Pada konteks yang mendalam, kepercayaan tradisional itu merupakan ajaran dharma tingkat tinggi. Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan bagi sadhaka yang melaksanakan Brata Saraswati secara penuh, hendaknya tidak membaca dan menulis selama 24 jam.
Dalam ajaran Hindu Dharma, pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi adalah pemahaman utuh akan kenyataan diri yang sejati [Atma Jnana / Atma Tattwa]. Ketika seseorang memahami secara utuh kenyataan dirinya yang sejati, dengan sendirinya dia akan memahami segala pengetahuan yang sejati. Atma tattwa tidak akan pernah dapat dicapai dengan membaca sastra saja, tapi seorang sadhaka harus menyadarinya secara langsung.
Makna dari tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam adalah belajar meninggalkan tahap awal dan melangkah ke tahap berikutnya. Karena di jalan Atma Tattwa, ada 3 tingkatan pengetahuan. Tingkat awal adalah membaca dan mendengarkan ajaran suci dharma [sastra], tingkat menengah adalah perenungan meditatif dan intuitif [menggunakan intuisi] terhadap ajaran suci dharma yang tersembunyi dalam kehidupan dan di alam semesta, ini disebut anthra guru [guru yang ada di dalam diri sendiri]. Di tahap ini yang lebih dikedepankan adalah pembelajaran meditatif dan intuitif, bukan sastra, karena disini pengetahuan akan dihasilkan dengan sendirinya. Dan di tingkat puncak adalah samadhi, mengalami secara langsung kesadaran Atma yang terang dalam meditasi. Hanya di tingkatan samadhi maka pikiran, perasaan dan kesadaran bisa menjadi tidak tergoyahkan. Sehingga tidak saja perkataan dan perbuatan selaras dengan dharma, tapi juga menemukan kenyataan luhur tentang esensi diri ini dan apa kehidupan ini sesungguhnya.
Tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam merupakan simbolik ajaran dharma tingkat tinggi, untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci dharma. Bukan untuk merayakan turunnya Veda bagi manusia, membaca habis semuanya, kemudian terjebak ke dalam dogma. Dimana pengetahuan yang bertumpuk itu dapat menjadi dogma yang begitu kaku dan dangkal. Yang akan lebih berbahaya, jika kita rajin dan semangat membaca sastra, tapi kemudian menggunakannya untuk menghakimi, mengkritisi, merendahkan, memusuhi atau memanipulasi orang lain, sehingga sastra menjadi ular beracun yang mematuk. Belajar sastra membuat nasib kita menjadi dipatuk ular beracun.
Di tahap puncak kita melepaskan semua konsep sastra untuk memasuki keheningan. Hanya pikiran hening yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam. Kesadaran seperti ini memberikan diri sendiri kesempatan untuk memahami secara utuh tentang keberadaan ini. Hanya pikiran yang hening yang dapat menyimak diri sendiri dan alam semesta secara utuh.
Inilah sesungguhnya yang ditawarkan Mahadewi Saraswati di Hari Raya Saraswati. Tidak lagi pengetahuan berdasar sastra secara biasa, tapi menggali pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal.
Om Aim Saraswatyai Namaha !
Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami.



KARMA BURUK

Menapaki jalan kehidupan ini, alangkah baiknya jika kita berhati-hati menghindarkan diri dari melakukan karma buruk, terutama sekali karma buruk yang sangat sulit dihapuskan. Karena bagaimanapun juga ini semuanya untuk kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan diri kita sendiri juga.
Ada berbagai jenis karma buruk yang sangat sulit dihapuskan, yang terlalu panjang jika disebutkan satu-persatu. Akan tetapi secara garis besar bisa diambil pedoman, bahwa karma buruk yang sangat sulit dihapuskan adalah karma buruk yang memenuhi empat ketentuan ini :
(1). Kita melakukan perbuatan atau perkataan, yang menyakiti atau merugikan orang lain atau mahluk lain.
(2). Perbuatan atau perkataan tersebut, kita lakukan dengan sengaja, serta ditujukan langsung kepada yang bersangkutan.
(3). Setelah perbuatan atau perkataan tersebut terjadi sehingga orang lain atau mahluk lain tersebut tersakiti atau dirugikan, kita tidak merasa bersalah dengan perbuatan atau perkataan kita tersebut.
(4). Setelah perbuatan atau perkataan tersebut terjadi sehingga orang lain atau mahluk lain tersebut tersakiti atau dirugikan, kita tidak merasa menyesal dan tidak meminta maaf.
Jika sebuah perkataan dan perbuatan memenuhi empat ketentuan diatas, maka karma buruknya akan sangat sulit untuk dihapuskan. Walaupun dengan sadhana nirjara dan perbuatan kebajikan.
Sehingga dalam perjalanan kehidupan ini, hati-hatilah dalam perbuatan dan perkataan. Hindari menyakiti dan banyak-banyaklah melakukan kebajikan. Tapi karena ketidak-sempurnaan kita sebagai manusia, kadang-kadang kita juga tidak bisa lepas dari melakukan kesalahan. Jika itu terjadi, segera menyadari kesalahan kita, kemudian jangan lupakan untuk meminta maaf dengan hati yang tulus. Dengan cara demikian, walaupun kita melakukan kesalahan, kelak karma buruknya masih bisa dihapuskan atau diringankan dengan sadhana nirjara dan perbuatan kebajikan.

Dengan cara paling mendasar saja, semua orang, siapapun, bisa menjadi praktisi dharma yang mendalam. Secara mendasar intisari dharma dua saja, yaitu melakukan upaya tidak menyakiti dan banyak-banyak melakukan kebajikan.
Melakukan upaya menjaga diri agar tidak menyakiti, terkait erat dengan bagaimana terbentuknya kecenderungan pikiran kita sendiri. Jika apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri. Sebaliknya kalau apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat menyengsarakan orang lain, maka hal itu tanpa kita sadari akan mengotori pikiran kita, yang pasti akan berdampak mengganggu kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.
Apapun yang kita ucapkan dan apapun yang kita lakukan itu tidak saja akan menghasilkan karma, tapi sekaligus juga pasti akan memantul balik ke dalam kecenderungan pikiran kita sendiri. Dengan tidak menyakiti kelak kita tidak akan tersakiti, serta sekaligus tidak akan membawa kegelapan di dalam pikiran-perasaan kita.
Selanjutnya, jadikanlah perjalanan kehidupan ini sebagai lahan untuk melakukan kebajikan-kebajikan kepada semua mahluk. Kembangkan hati yang penuh belas kasih dan kebajikan. Karena dengan ketekunan melakukan kebajikan-kebajikan, secara pasti tidak saja karma-karma buruk kita akan banyak diringankan, tapi sekaligus juga pikiran kita akan banyak mengalami pembersihan. Pikiran kita dimurnikan menuju kejernihan-kedamaian, serta dibebaskan dari kegelapan pikiran. Sekaligus di jalan spiritual dan metode spiritual apapun kita menapak jalan, disana kita akan mudah terhubung dengan kemahasucian.
Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami



DASA YAMA BRATA & DASA NIYAMA BRATA

Lontar Sarasamuscaya merupakan salah satu kitab suci Hindu Dharma. Ditulis oleh Bhagawan Wararuci, seorang pertapa-kawi Pulau Jawa, pada sekitar abad ke-9 Masehi. Di dalamnya terdapat ajaran Hindu Dharma Jawa Kuno mengenai 20 praktek spiritual bagi para sadhaka sebagai jalan mencapai kedamaian pikiran, mencapai kesadaran luhur dan mencapai pembebasan Atma dari siklus samsara.
20 praktek spiritual ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu Dasa Yama Brata sebagai praktek spiritual landasan dasar dan Dasa Niyama Brata sebagai praktek spiritual mencapai kesadaran luhur. Keduanya harus saling melengkapi, saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan.
Praktek Dasa Niyama Brata adalah mengenai upaya memurnikan dan meluhurkan kesadaran. Akan tetapi pikiran [manas] dan ego [ahamkara] sangatlah sulit dikuasai, sehingga kita memerlukan praktek Dasa Yama Brata yang menghasilkan landasan dasar kejernihan pikiran. Landasan kejernihan pikiran sangatlah penting karena akan membuat keluhuran kesadaran menjadi mendalam. Penggabungan kedua praktek spiritual ini akan menghasilkan pencapaian yang sempurna.
DASA YAMA BRATA
Dasa Yama Brata terdiri dari kata dasa yang berarti “sepuluh”, yama yang berarti “penguasaan diri”, serta brata yang dapat berarti “sikap tindakan dalam menjalani kehidupan”. Dasa Yama Brata berarti 10 sikap tindakan yang terkuasai dengan baik dalam menjalani kehidupan. Dasa Yama Brata merupakan 10 praktek spiritual untuk dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari dalam bentuk upaya menjernihkan pikiran.
Ini merupakan praktek spiritual mendasar. Karena untuk dapat mengembangkan kesadaran luhur kita memerlukan landasan dasar berupa kejernihan pikiran, yang akan muncul dari sikap tindakan yang terkuasai dengan baik pada kehidupan sehari-hari. Jika kita tidak memiliki sikap tindakan yang terkuasai dengan baik pada kehidupan sehari-hari, kita tidak akan dapat mencapai tingkat kesadaran yang tinggi. Dasa Yama Brata merupakan 10 praktek spiritual untuk dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari, yang akan menghasilkan kejernihan pikiran, yang menjadi dasar yang stabil agar kita dapat mencapai kesadaran yang luhur.
Dasa Yama Brata terdiri dari :
1. Ahimsa - tidak menyakiti.
2. Satya - jujur dan tidak melakukan kecurangan.
3. Anrsangsya - tidak mementingkan diri sendiri.
4. Dama - tidak mengumbar keinginan.
5. Ksama - memaafkan dan sabar.
6. Madurya - kata-kata dan tindakan halus.
7. Prasada - berpikiran positif dan jernih.
8. Mardhawa - rendah hati.
9. Arjawa - mengenal diri sendiri dan menjadi diri sendiri, tidak diombang-ambingkan pendapat orang lain.
10. Priti - kasih sayang kepada semua mahluk.
DASA NIYAMA BRATA
Dasa Niyama Brata terdiri dari kata dasa yang berarti “sepuluh”, niyama yang berarti “kewajiban mulia” atau “kebiasaan mulia”, serta brata yang dapat berarti “sikap tindakan dalam menjalani kehidupan”. Dasa Niyama Brata berarti 10 kewajiban mulia yang menjadi kebiasaan rutin dalam menjalani kehidupan.
Dasa Niyama Bratha merupakan 10 praktek spiritual untuk dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari dalam bentuk upaya memurnikan dan meluhurkan kesadaran.
Dasa Niyama Brata terdiri dari :
1. Swadhyaya - membaca ajaran suci dharma.
2. Tapa - hidup sederhana.
3. Upasthanigraha - tidak melakukan hubungan seksual melanggar dharma.
4. Dana - melaksanakan kebajikan-kebajikan.
5. Snana - mandi penyucian atau melukat.
6. Brata - tidak melanggar pantangan atau dresta.
7. Mona - melaksanakan laku [sadhana] tidak bicara.
8. Upawasa - puasa.
9. Ijya - puja kepada para leluhur dan Ista Dewata.
10. Dhyana - meditasi.
Ajaran Hindu Dharma Jawa Kuno / Abad ke-9 Masehi / Lontar Sarasamuscaya / Bhagawan Wararuci / Om shanti shanti shanti. Mugi rahayu




TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA

Kita biasanya mudah melihat kesalahan orang lain, tapi gagal dalam melihat kesalahan diri kita sendiri. Ini sangat umum terjadi. Hal ini bisa menjadi lebih buruk lagi jika kita menggunakan wawasan sempit seperti itu untuk menyentil orang lain, mengkritik pedas, main sindir-sindiran halus, menjelekkan di belakang, dsb-nya. Dengan cara seperti itu kita tidak saja sedang menanam bibit kegelapan di dalam diri kita sendiri, tapi juga sekaligus menanam bibit kegelapan pada orang lain. Kita tidak saja kehilangan kebijaksanaan, tapi sekaligus juga kehilangan kesadaran dan karma baik.
Untuk dapat memiliki kebijaksanaan dan wawasan yang luas, alangkah baiknya jika kita tidak terus melihat kekurangan orang lain dan menuntut orang untuk memperbaiki diri. Karena hal itu tidak disebabkan oleh besarnya kesalahan orang lain, melainkan lebih disebabkan oleh besarnya ego diri kita sendiri. Tidak sedikit orang yang suka melakukan hal seperti itu, dengan cara mengambil posisi dirinya lebih baik dari orang lain, karena dengan cara demikian egonya terpuaskan,
Tidak ada manusia yang sempurna. Orang lain tidak sempurna dan diri kita sendiri juga tidak sempurna. Sehingga menapaki jalan dharma hendaknya kita tidak demikian fokus pada kesalahan orang lain, tapi lebih fokuslah untuk membina diri menjadi baik. Menyadari dan mengakui satu kekurangan diri sendiri jauh lebih menerangi jiwa dibandingkan dengan mengkritik ribuan kesalahan orang lain. Seringlah merenungkan perjalanan kehidupan ini, lihat kesalahan dan kekurangan diri kita sendiri, untuk kemudian berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi. Sebagai titik untuk merubah kehidupan kita menjadi kehidupan mulia. 



ORANG SUCI DI PASAR MENGWI.

Pulau Bali adalah pulau yang suci dan sakral. Kalau mau serius sedikit saja, dimana-mana ada kekuatan suci yang membimbing perjalanan spiritual kita. Ini adalah pengalaman saya dalam melakukan perjalanan tirtayatra dan melukat, setiap pulangnya saya selalu membawa berkah spiritual. Kadang berkahnya adalah pembersihan dan kadang berkahnya adalah ajaran. Ajaran ini tidak selalu datang melalui pesan-pesan niskala, tapi bisa melalui berbagai cara.

Kali ini saya sembahyang, meditasi dan melukat bersama istri di sebuah pura kuno di desa kendran, tegalalang dan mendapat berkah ajaran yang penting. Dalam perjalanan pulang dari pura tersebut kami singgah di Pasar Mengwi, dimana kakak ipar berjualan disana. Ngobrol ini itu dengan kakak ipar dan sahabatnya seorang pedagang lain, sampai akhirnya mereka bercerita tentang salah seorang pedagang disana yang hidupnya penuh kesengsaraan dan ketidak-adilan.

Awalnya dia berpacaran dengan seorang laki-laki bujangan, sampai kemudian hamil. Dari sinilah ketidakadilan dan kesengsaraan hidupnya dimulai. Setelah hamil dia baru tahu bahwa dia tertipu, karena ternyata laki-laki tersebut sudah punya istri dan anak. Karena keluarganya malu dan tidak mau menerimanya lagi, dia tidak punya pilihan lain kecuali menikah dengan laki-laki tersebut dan menjadi istri kedua.

Kesengsaraan berikutnya datang tidak lama setelah anaknya lahir. Laki-laki tersebut kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Istri pertama-nya pun tidak bekerja. Mau tidak mau dia yang harus bekerja dan mencari uang dengan berjualan di Pasar Mengwi. Karena dia yang sekarang menanggung semua beban kebutuhan hidup keluarga, semua jenis pekerjaan yang menghasilkan uang dia ambil dengan bekerja keras. Hanya dia sendirian saja yang harus menanggung beban kebutuhan hidup seluruh keluarga, selain dia juga harus melayani berbagai tugas-tugas rumah tangga bagi suaminya.

Ketika anaknya berumur sekitar 5 tahun, dia sudah menjadi pedagang dan berbagai pekerjaan lainnya yang cukup sukses.  Dan semua hasilnya digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama dan anak-anak] dan hanya sedikit untuk dirinya sendiri. Ini dijalaninya dengan penuh rasa bhakti dan tanpa keluhan.

Kejutan berikutnya kemudian datang dalam hidupnya, yaitu suaminya menikah lagi dengan wanita muda. Ketidakadilan  dan kesengsaraan yang lebih berat dimulai dari sini. Setelah menikah lagi punya istri ketiga suaminya menindasnya semakin menjadi-jadi. Semua minta dilayani, semua kebutuhan harus ada, kalau tidak suaminya marah dan marah. Tidak hanya itu saja, karena jumlah kamar di rumahnya terbatas, diapun harus sering-sering sekamar dan melihat suaminya [maaf] berhubungan badan dengan istri barunya di depan mata.

Ditambah lagi jumlah keluarga yang bertambah dan beban kebutuhan hidup yang meningkat membuatnya harus bekerja lebih keras lagi. Sehingga dia bekerja, bekerja dan bekerja lebih keras lagi. Hasil kerja kerasnya ternyata berbuah, sampai dalam satu hari dia bisa bersih mendapat uang kurang lebih 300 ribu dari berbagai sumber penghasilannya. Dan semua hasilnya tersebut digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama, istri ketiga dan anak-anak].

Sesungguhnya mudah mengakhiri semua kesengsaraan dan ketidakdilan ini. Cukup dia minta cerai saja, apalagi penghasilannya sudah sangat mapan. Pedagang-pedagang lain di Pasar Mengwi banyak yang gemas dan geregetan melihat kelakuan suaminya, atau sangat kasihan melihat ketidakadilan yang dialaminya dan mendorongnya untuk bercerai. Apalagi dia tidak terlalu tua, secara fisik masih menarik dan masih bisa mencari laki-laki lain yang lebih baik. Tapi dengan polos dia berkata bahwa dia lebih kasihan nanti memikirkan bagaimana nasib anak kandung dan anak tirinya kalau dia bercerai, dibandingkan memikirkan dirinya sendiri.

Ada juga petugas pasar yang geregetan dan menyarankannya “menyewa” laki-laki lain untuk membalas kelakuan suaminya. Tapi dengan tulus dia berkata bahwa dia tidak ingin membalas agar tidak membuat karma buruk dan hanya berharap bahwa kelak anak kandung dan anak tirinya tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Karena dia sangat menyayangi baik anak kandung maupun semua anak-anak tirinya.

Bathin saya sangat bergetar mendengar kisah ini. Tambah bergetar lagi ketika bertemu dengan pedagang tersebut. Pancaran dari wajahnya adalah pancaran wajah orang yang tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan belas asih. Saya terharu dan diam-diam melakukan namaskara memberi hormat dalam hati, karena saya telah bertemu dengan orang suci.

Saya jadi ingat kisah seorang guru di India. Ketika masih muda dan masih belajar, suatu ketika pergi ke pasar bersama gurunya. Di pasar tersebut gurunya namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Tentu saja dia terheran-heran, kenapa gurunya yang dihormati banyak orang malah namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Ketika sampai di ashram gurunya menjelaskan bahwa pengemis itu orang suci. Dengan mata bathin beliau jelas sekali getaran energinya, bahwa pengemis itu memiliki tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan welas asih. [Kemudian di lain waktu terbukti bahwa pengemis itu menjadi pemberi makan anak-anak terlantar yang ada di pasar].

Pedagang dan pengemis itu tidak pernah mengenakan baju orang suci. Tidak mengenakan baju putih-putih, baju pendeta atau baju seorang yogi. Juga tidak pernah belajar dharma secara mendalam. Tapi jauh di kedalaman bathin mereka, mereka sesungguhnya adalah sadhaka di jalan rahasia, jalan yoga yang tertinggi. Tanpa konsep agama [yang mungkin malah bisa menjadi racun karena membuat seseorang menjadi fanatik], tapi punya dua bekal perjalanan yang penting, yaitu “ke dalam” adalah tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna [tetua di Jawa menyebutnya nrimo ing pandum ] dan “keluar” yang muncul hanya rasa bhakti, belas kasih dan kebajikan.

Saya membuka kembali sebuah teks-teks Hindu kuno yang menuliskan, bahwa seseorang bisa mengalami jivan-mukti bahkan ketika mereka sendiri tidak tahu. Praktisi yoga tingkat tinggi pasti tahu bahwa ketika bathin masih sesempit diri ini [ahamkara, ke-aku-an, ego], kita mudah marah, benci, tersinggung, sombong, resah, tidak puas, dsb-nya. Semakin besar egonya maka akan semakin menyakitkan kesengsaraan dan ketidakadilan. Inilah pe-er besar seorang yogi, meruntuhkan ego dan semua bentuk kegelapan bathin.

Bagi orang-orang daiwa sampad [manusia berbathin dewa], kesengsaraan dan ketidakadilan tidak menjadi kutukan kehidupan, tapi menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian. Pedagang di Pasar Mengwi dan pengemis di India itu tidak pernah belajar yoga. Tapi mereka dapat melenyapkan ego dan kegelapan bathin-nya cukup dengan dua sadhana mendalam, “ke dalam” tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna dan “keluar” yang muncul hanya bhakti, belas kasih dan kebajikan. Sebagai hasilnya adalah bathin yang seluas ruang.

Mudah bersikap sabar, sejuk, penuh belas kasih dan kebajikan disaat kita dihormati, disayangi, dipercaya dan dihargai oleh orang lain, tapi mereka yang bisa tetap sabar, sejuk dan penuh belas kasih disaat disakiti, ditindas dan dibuat sengsara oleh orang, itulah orang yang bathinnya terang dan seluas ruang.

Leluhur kita pernah mewariskan pupuh sinom seperti berikut :

Jenek ring meru sarira
gunakan  tubuh ini sebagai meru atau tempat suci

Kastiti Hyang Maha suci
yang disadari oleh orang yang bathinnya sudah suci [bersih]

Mapuspa padma hredaya
bunganya adalah bunga padma [simbolik advaita-citta, pikiran yang bebas dari dualitas]

Magenta swaraning sepi
gentanya adalah keheningan bathin

Maganda ya tisnis budi
gandanya adalah kesabaran dan belas kasih tanpa syarat

Malepana sila rahayu
lepananya adalah tingkah laku yang indah [tidak membunuh, menyakiti, korupsi, mencuri, menipu, narkoba, mabuk-mabukan, berjudi, dsb-nya]

Mawija menget prakasa
bijanya adalah bathin yang tegar-kokoh [sanggup menahan segala macam penderitaan dengan bathin damai]

Kukusing sad ripu dagdidupan ipun
dengan demikian seluruh sad ripu [enam kegelapan bathin] lenyap

Madipa hidepe galang
bathinnya laksana cahaya terang benderang

Maknanya adalah meru atau tempat suci tidak hanya ada “diluar”, tapi “didalam” juga ada tempat suci. Kita dapat membadankan meru dalam diri. [Pertama] dengan mengurangi penderitaan para mahluk. Artinya selalu bersikap penuh belas kasih dan kebajikan dengan tingkat kerelaan yang sempurna. Itu semua mengurangi penderitaan para mahluk. Termasuk tidak membalas caci-maki dan hinaan orang lain, tidak balas menyakiti orang yang jahat, dsb-nya. Malah sebaliknya kita memberi lebih, kita membalasnya dengan welas asih dan kebaikan. [Kedua] Semua mahluk memperebutkan kebahagiaan dan lari dari penderitaan, sehingga alam semesta ini tidak seimbang. Kitalah yang menjaga keseimbangan alam semesta dengan mengambil yang jelek-jelek [penghinaan, kesengsaraan, kesusahan, dsb-nya]. Badan, pikiran dan perasaan kita akan menjadi meru [tempat suci] kalau selalu kita jadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.

Bagi sebagian orang yang tingkat kesucian bathinnya bagus akan mengerti, inilah bhakti yoga yang tertinggi dan sempurna. Tidak hanya di pura ada mebakti, tapi kesabaran yang tidak terbatas juga adalah mebakti. Tidak hanya di pura ada maturan, tapi kesejukan, kedamaian dan ketenangan bathin juga adalah maturan. Tidak saja di pura ada upakara, tapi welas asih dan kebaikan tanpa syarat juga adalah upakara. Tidak hanya di pura ada meru, tapi tubuhnya sendiri sudah menjadi meru [tempat suci], karena seluruh kehidupannya sudah menjadi bhakti yoga. Inilah jalan "pulang" menuju kesadaran dan kemahasucian yang tertinggi.

Orang suci belum tentu berbaju putih-putih, berbaju yogi, pertapa, pandita, pemangku, guru spiritual, dsb-nya. Orang suci belum tentu orang yang sudah membaca banyak kitab suci. Orang suci adalah orang yang penuh welas asih kepada semua, kebaikan-nya tanpa syarat dan kesabarannya tidak terbatas, walau apapun yang terjadi. Termasuk disaat dirinya mengalami kejadian buruk seperti dihina, dicaci-maki, disakiti, tidak punya uang, kelaparan, sedang sakit, dsb-nya.

Orang suci yang sesungguhnya adalah orang yang sanggup mengolah apa saja menjadi dharma. Leluhur kita menyebutnya sarwa dharma [semuanya dharma]. Dapat mengolah adharma menjadi dharma. Dapat mengolah segala bentuk godaan menjadi jalan pembebasan. Dapat mengolah segala bentuk kesengsaraan dan ketidakadilan menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian.

Badan, pikiran dan perasaan-nya menyatu menjadi kesucian yang sempurna, karena selalu dijadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar