Jumat, 24 Juli 2015

SAAT SEMESTA BICARA 2



"Guru, betapa inginnya Jiwa ini untuk kelak bisa bersatu kembali dengan Tuhan atau selalu berada di sisi Tuhan. Tapi apa daya, aku adalah mahluk yang penuh kekhilafan, hingga rasanya Jiwa ini masih sangat belum pantas untuk meraih harapan itu. Adakah cara bagiku untuk merasakan kebersamaan yang membahagiakan bersama cinta kasih Tuhan, Guru?"
"Manu, Tuhan adalah Sang Waktu. Maka sadarilah Tuhan selalu bersamamu melewati kehidupan ini. Saat kau bisa menikmati perjalanan hidupmu bersama setiap waktu yang masih ada bagimu, itulah cara untuk selalu berbahagia bersama dengan Tuhan."


"Guru, kenapa begitu sulit menyembuhkan luka hati ini? Semua upaya menghibur diri seakan tidak berguna."
"Manu, bahkan luka di kulit tubuhmu tidak akan mudah sembuh jika tidak menjaga kebersihannya. Apalagi jika kau malah mengijinkan berbagai kotoran berkuman menempel padanya, maka dia menjadi luka yang kian sulit disembuhkan."
"Begitupun luka batin. Bila kau tidak menjaga kebersihan hatimu yang luka itu dari berbagai pikiran yang kotor oleh kegelapan ego negatif, apalagi mengijinkan berbagai virus akal budi memasuki batinmu, niscaya kian sulitlah ia tersembuhkan."
"Rasa sakit hati menghadirkan kemarahan, kemarahan menumbuhkan kebencian, kebencian menciptakan dendam, dan dendam akan memelihara rasa sakit itu di dalam."
"Lepaskan segala ingatan yang telah melukai batinmu, lalu masukkan pengetahuan tentang kebenaran Karma atas peristiwa menyakitkan yang telah kau alami, hingga kau bisa ikhlas menerima kejadian itu dan mengijinkan rasa sakit itu berlalu. Keikhlasan menerima dan melepas rasa sakit, memudahkan kesembuhan batin yang terluka, Manu."

"Guru, ajarkan aku cara ikhlas menghadapi seseorang yang begitu membenciku. Ajarkan pula aku mengubahnya agar ia berbalik menyukaiku."
"Manu, saat orang membenci bagian dari dirimu, bagian sari sifat, kata-kata atau tindakanmu, sesungguhnya ia sedang menunjukkan dengan cara itu bahwa ia merindukan dan mencintai sisi lain dari dirimu, yaitu kebaikan."
"Karena ia mencintai sisi yang disebutnya sebagai kebaikanmu, bukankah tidak layak untuk membenci mereka? Ada yang lebih indah untuk dilakukan. Cobalah renungkan sikap mereka dan berbenahlah bila itu membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik."
"Dan bila kau ingin mengubahnya menjadi menyukaimu, tiada jalan lain kecuali memancarkan cahaya terang cinta kasihmu padanya. Karena tak ada kebencian bisa diubah dengan kebencian, kecuali dengan cinta kasih."

“Guru, hanya jalanan yang kasarlah yang memudahkan kita mengetahui bagian mana dari motor kita yang baut-bautnya masih kendor sehingga terdengar riuh saat berguncang..Apa yang dapat saya pelajari dari ini, Guru ?”
“Manu, juga begitu dengan hadirnya orang-orang yang bicaranya kasar. Mereka sedang mengingatkan bagian mana dari "baut" kesabaran dan kedamaian batin kita yang belum kuat dan mudah terguncang oleh kata-kata.

"Guru, kenapa kebaikan itu mesti dilakukan dengan ikhlas? Apa salahnya jika aku melakukan kebaikan dengan sebuah harapan atau pahala?"
"Manu, tak ada yang salah dalam kesemestaan. Kau boleh melakukan kebaikan dengan ikhlas atau pun tidak ikhlas. Itu hanya sebuah pilihan. Jika kau melakukannya dengan ikhlas tanpa berharap akan suatu balasan, maka kau sedang memilih untuk terbebas dari lingkaran Karma kebaikan. Jika kau memilih melakukan kebaikan dengan sebuah harapan akan balasan kebaikan, maka kau memilih untuk tetap berada dalam lingkaran Karma baik. Kau berhak memilih untuk bebas ataukah terikat oleh Karma, karena itulah proses belajarmu menuju kemahardikaan Jiwa."
"Guru, betapa sulitnya untuk menjadi orang baik. Sulit menjadi pemaaf. Sulit menjadi orang sabar. Segalanya begitu sulit. Ajarkanlah padaku cara mudah menjalani hidup ini."
"Manu, jika kau selalu memulai segalanya dengan mengatakan pada dirimu bahwa segalanya itu sulit dicapai, bagaimana kau bisa percaya akan kemudahan yang ada.? Mulailah segala pekerjaan dengan meyakini bahwa kau akhirnya akan bisa. Niscaya segala potensi dirimu akan mengalir membantumu."

"Guru, aku sudah memaafkan dengan ikhlas sikap buruk orang itu padaku. Tapi kenapa masih saja terasa sakit saat aku mengingat atau berjumpa orangnya?"
"Manu, tanda-tanda memaafkan dengan ikhlas adalah lenyapnya rasa sakit itu saat kau mengingat peristiwa atau orangnya. Memaafkan dengan tidak ikhlas, itulah yang disebut membohongi dirimu sendiri. Dalam cara seperti itu, kau hanya menekan kemarahan dan kepedihanmu ke batin terdalam, dan itulah yang kau anggap sebagai memaafkan. Dari batin yang tertekan itulah rasa sakit sering muncul saat kau teringat lagi. Maka bebaskan batinmu dari tekanan pemaafan yang tidak ikhlas. Saat itulah batinmu akan terasa ringan."

"Tuhan, aku selalu berbuat baik padanya, tapi ia justru tetap senang bersikap buruk padaku. Ini sangat menyakitiku. Bagaimana aku mesti mengubahnya menjadi bersikap baik?"
"Manu, jika kau sungguh selalu berbuat baik padanya meski ia selalu bersikap buruk, namun itu justru membuatmu sakit hati, bagaimana mungkin ia akan menirumu menjadi pribadi yang baik jika itu akhirnya menyakitkan. Buktikanlah bahwa sikap baik itu tidak menyisakan sakit hati, maka dengan cara itulah dia akan percaya untuk mencontoh kebaikanmu."

"Guru, bantulah aku menjauhkan diri dari rasa takut ini."
"Manu, Tuhan memberimu rasa takut bukan untuk kau jauhi, tapi justru untuk kau dekati, amati, dan pelajari dengan sebaik-baiknya, hingga rasa takut itu mampu membantumu menemukan keberanian yang terpendam dalam dirimu."

"Guru, maafkanlah kesalahan pikiran, kata dan tindakanku selama ini, dan ajarkan padaku cara untuk tidak melakukan kesalahan lagi."
"Manu, sesungguhnya tidaklah ada yang salah pada pikiranmu. Pikiran tiap manusia itu murni. Dia hanya bertanya dan mencari jawaban atas masalah kehidupan yang dihadapinya. Bisikan-bisikan yang muncul dalam benakmu itu yang bersifat salah-benar atau baik-buruk, sesuai dengan aturan yang kalian sepakati di kehidupan kalian di bumi. Saat pikiran kalian mengikuti bisikan dalam diri yang bersifat salah atau buruk itulah, maka kesalahan dan keburukan telah mulai menjadi nyata sebagai pribadimu. Belajarlah untuk memilih bisikan yang patut diikuti sesuai norma kehidupanmu, dengan begitu kau akan terbebas dari sifat buruk dan salah. Di hadapan semesta Tuhan tak ada salah-benar atau baik-buruk. Yang ada hanya sebab dan akibat, pilihan dan konsekuensi. Berhati-hatilah memilih apa yang tidak kau inginkan akibatnya."

"Guru, apa sejatinya tujuan semesta menciptakan berbagai peristiwa suka duka dalam kehidupan kami?"
"Manu, setiap peristiwa yang kau alami di kehidupan ini, adalah kepingan-kepingan puzzles. Siapa saja rajin mengamati dan menerima kepingan-kepingan itu dengan ikhlas, lalu menyatukannya dalam formasi makna yang tepat, dia akan berhasil melihat dirinya serta makna kehidupannya secara utuh dan sempurna."

"Guru, bagaimana aku bisa yakin bahwa dibalik semua rasa pedih, kekecewaan, kehilangan, dan berbagai kepahitan hidup yg kualami lewat peristiwa buruk ini, sesungguhnya telah Kau simpan berkah kebahagiaan bagiku di depan sana."
"Manu, Tuhan menciptakan kehidupan ini bukan untuk menikmati penderitaan yang Kusaksikan terjadi pada kalian. Tuhan menciptakan segala peristiwa dalam kehidupan ini, untuk menikmati saat-saat membahagiakan yang pada akhirnya kelak akan kalian rasakan setelah semua proses itu kalian jalani. Tuhan adalah sumber kebahagiaan, bukan sumber penderitaan. Pikiranmu yang tidak sabar menjalani proses menuju kebahagiaan itulah yang menghadirkan rasa penderitaan di batinmu, Manu. Sabarlah. Semua ada akhirnya yang membahagiakan."

"Guru, saat aku sedang belajar untuk berbahagia melihat orang lain bahagia, kenapa mesti Kau pertemukan aku dengan orang-orang yang malah senang menyakiti perasaanku?"
"Manu, jika kau memang ingin belajar berbahagia melihat orang lain bahagia, maka belajarlah melihat betapa bahagianya orang yang senang menyakitimu itu, saat ia merasa berhasil menyakiti perasaanmu. Ada banyak orang berbahagia dengan kebaikanmu dalam bentuk pemberian, ada banyak pula orang yang bahagia lewat keikhlasanmu menerima rasa sakit hati yg mencoba dikirimkannya lewat sikap dan kata-kata menyakitkan. Saat kau bisa membahagiakan kedua jenis orang itu, saat itulah kau benar-benar belajar bahagia atas kebahagiaan orang lain."

"Guru, kenapa Tuhan tidak ijinkan saja aku mengetahui segala yang akan terjadi di masa depan dengan sejelas-jelasnya agar aku mudah berhitung tentang apa yang harus kulakukan saat ini.?"
"Manu, jika kau diberkahi melihat masa depan dengan jelas, kau tidak akan mudah menikmati berkah yang kau terima hari ini, karena kau pun melihat bencana menyusul di balik berkah itu. Kau pun tidak akan mempelajari dengan sepenuh rasa setiap bencana dan kepahitan hidup yang kau alami saat ini, karena kau hanya fokus melihat berkah masa depan di balik semua itu. Namun, kau cukup mengetahui bahwa di balik berkah ada bencana dan di balik bencana ada berkah, agar kau bisa menikmati rasa kebahagiaan dan pembelajaran di balik berkah dan bencana yang kau hadapi saat ini."

"Guru, kenapa aku mesti memuja Tuhan, atau menyebut nama Tuhan, atau bahkan jika bisa, melihat dan menjumpai Tuhan?"
"Manu, sebelum menjawab pertanyaanmu, Guru ingin tahu untuk apa kau mesti bercermin?"
"Tentu saja agar aku bisa melihat bagian dari diriku yang tak bisa kulihat dengan jelas, agar aku tahu seperti apa rupaku sebenarnya." "Nah, itulah jawaban dari semua pertanyaanmu, Manu."

"Guru, jika kami semua adalah anak-anak semesta yang Tuhan kasihi, kenapa Tuhan biarkan ada Jiwa yang lahir dalam tubuh manusia yang terperangkap kemiskinan, sakit dan penderitaan. Di sisi lain ada Jiwa yang Tuhan ijinkan lahir dalam keluarga yang kaya dan bahagia?"
"Manu, mereka yang lahir dalam kemiskinan, sakit dan penderitaan hidup, adalah para Jiwa yang memilih lahir dalam kondisi seperti itu untuk belajar ikhlas menerima semua rasa duka kehidupan. Sedangkan yang lahir dan berhasil menjadi kaya dan bahagia, adalah para Jiwa yang kini memilih belajar untuk bisa ikhlas melepas semua kepemilikan yang dulu belum belajar mereka lepas dengan ikhlas di bumi ini. Maka jika hidupmu ada dalam penderitaan saat ini, sudahkah kau belajar untuk ikhlas menerimanya? Jika kini kau ada sebagai manusia yang kaya dan bahagia, sudahkah kau belajar melepas semua itu dengan ikhlas. Karena hidup adalah proses untuk belajar ikhlas menerima apa yang dulu dibenci dan ikhlas melepas yang dulu begitu disukai."

“Guru, Lihatlah pinguin-pinguin itu berlompatan ke dalam air dan menyelam dengan gesit di tengah samudra berarus deras dan ancaman hiu-hiu pemangsa di sekitarnya. Sebagian dari mereka melompat ke tepi samudra sambil menggigit ikan di mulutnya.
"Hebat, pingguin-pingguin itu begitu berani menempuh derasnya arus samudra dan gesit berkelit diantara tajamnya rahang-rahang hiu yang siap memangsa pingguin-pingguin itu. Mereka mempertaruhkan nyawa hanya demi seekor ikan di mulut mereka itu. Apa yang mendorong pingguin-pingguin begitu pemberani, Guru?"
"Manu, seekor ikan kecil ini sangatlah besar artinya bagi pingguin-pingguin itu dalam menjalani hidup ini. Jika pingguin-pingguin itu tidak berenang dan menyelam ke tengah samudra, pingguin-pingguin itu tidak akan bisa pulang membawa berkah kehidupan ini. Tanpa ikan tangkapan ini, kehidupan mereka sia-sia dan kematian pasti mendatangi mereka akibat kelaparan. Pingguin-pingguin itu mesti berjuang di samudra yang kejam ini agar mereka bisa membawa sesuatu yang bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka. Itulah pendorong semangat pingguin-pingguin itu. Bukankah begitu pula untuk hidupmu, Manu? Jika kau tidak bersemangat menjalani kehidupan ini agar kelak ada berkah kehidupan yang bisa dibawa pulang oleh Jiwamu ke rumah sejatiNya, tentu sia-sialah hidup ini bagimu. Tangkaplah berkah rejeki di dunia ini untuk menyambung hidup tubuhmu. Tangkaplah berkah pengetahuan di sekitarmu untuk menyambung pertumbuhan kecerdasan pikiranmu. Akhirnya, tangkaplah pengetahuan kesadaran dan kebahagiaan di dunia ini demi menyambung kematangan Jiwamu, Manu."

“Guru, Lihatlah Rajawali itu terbang melayang dengan gagah perkasa di langit, seakan seluruh langit menjadi daerah kekuasaannya. Betapa bahagianya menjadi raja angkasa seperti Rajawali. Menjadi simbol kesuksesan dan kebebasan. Aku ingin seperti Rajawali, Guru."
"Manu, sekalipun manusia menempatkan Rajawali sebagai raja angkasa, Rajawali tetap saja mesti hinggap di bumi dan hidup dari apa yang ada di bumi. Tak ada yang layak dibanggakan dan hendaknya merasa biasa saja. Pun begitu sebaiknya jika kau kelak mencapai pengetahuan dan tingkat spiritual tertinggi, bebas seakan raja angkasa seperti Rajawali. Jangan pernah lupa bahwa kau sedang hidup disini. Membumilah dengan kehidupan sosial lewat perilaku yang sesuai etika yang berlaku disana."

“Guru, bagaimana aku menemukan seorang Guru sejati di kehidupan ini dan apa ciri-cirinya?"
"Manu, inilah ciri-ciri Guru Sejatimu.
Ia yang mampu menghilangkan gelapnya pikiranmu oleh ketidaktahuan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya batinmu oleh kesedihan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya batinmu oleh rasa berdosa,
Yang mampu menghilangkan gelapnya batinmu oleh kemarahan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya batinmu oleh ketakutan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya batinmu oleh kebencian,
Yang mampu menghilangkan gelapnya batinmu oleh kecemasan,
Yang mampu menghilangkan segala kegelapan batinmu oleh ego negatif maupun positif,
Yang mampu membawamu bersentuhan dengan rasa Jiwamu yang penuh cinta kasih,
Dan Ia yang mampu meringankan beban batinmu dengan kasih sayangnya,
Hingga membuatmu melihat terang kehidupan ini melampaui batasan waktu, masa lalu, masa kini dan masa depan,
Yang mampu membawamu melihat kesejatian dirimu hingga kau terdiam dalam terang kesadaran itu,
Dialah Guru Sejatimu, Manu. Siapkan dirimu untuk belajar, maka Dia akan datang bagimu."

“ Guru, Saat kedua bocah diajak berjalan-jalan ke sebuah taman oleh ayahnya, tiba-tiba si anak yang lebih muda mulai gelisah, mual dan ingin segera pergi dari sana. Sedangkan si anak yang lebih tua menyunggingkan senyum puas menikmati keindahan taman. Berikut percakapan mereka Guru, "Kenapa kau menangis, nak?", tanya si ayah dengan sabar. "Ayah, aku tidak kuat disini. Taman ini penuh berserakan kotoran sapi di bawah pohon. Antarkan aku pulang sekarang." "Lalu kenapa kau tersenyum, nak? Tanyanya pada si sulung. "Ayah, taman ini begitu indah, penuh warna-warni aneka bunga. Daun-daunnya hijau rimbun menyejukkan, Indah dan damai sekali.". Apa yang saya dapat saya pelajari dari mereka, Guru ?”
"Manu, begitulah kehidupan di bumi mirip seperti taman itu. Jika kau melihat hanya hal-hal yang tidak kau sukai, negatif dan menyedihkan, maka bumi ini ibarat neraka. Namun jika kau melihat dengan cermat hal-hal positif, keindahan dan kebaikan yang ada disini, kau akan melihat kehidupan ini bagaikan di sorga."

“Guru, Lihatlah dua ekor kecoak terus bergerak-gerak berusaha untuk membalikkan tubuhnya yang sedang terlentang. Mereka berjuang agar bisa bangkit dan menjauh sebelum pejalan kaki di trotoar itu lewat menginjaknya. Saat salah satu berhasil bangkit setelah lama berjuang, ia mendekati kecoak satunya dan menyentuh tubuh kawannya itu hingga dengan mudah si kawan kembali bangkit dan bergegas ikut berlari. Baik sekali kecoa itu ingat untuk membangkitkan kawannya, Apa yang saya dapat pelajari dari hal tersebut, Guru ?."
"Manu, itulah gunanya sahabat. Jika mereka tidak saling menolong lalu siapa yang bisa mereka harapkan. Bukankah Jiwa kalian sendiri selalu mendorong dari dalam untuk saling menolong sesama kalian, Manu? Jika kecoa itu saja mudah tersentuh untuk menolong, apalagi kalian yang memiliki Jiwa yang lebih besar dari kecoa tersebut."

“Guru, Lihatlah begitu jauh angsa-angsa itu terbang menyeberangi lautan, demi mencari daratan yang lebih hangat saat pergantian musim terjadi. Mereka terbang bahkan sejauh 3000 kilometer menyeberangi samudra untuk menuju benua yang lebih hangat. Kenapa mereka begitu keras berjuang dalam migrasi demi mencari kehangatan itu, Guru ?"
"Manu, angsa-angsa sangat membutuhkan suasana yang hangat di musim kawin nanti, agar telur-telur mereka bisa berhasil menetas dan melahirkan generasi mereka yang baru. Bukankah kalian pun selalu memerlukan suasana keakraban hati yang hangat agar anak-anak kalian bertumbuh dengan baik dalam kehangatan cinta kasih keluarga itu, Manu? Karena hubungan batin yang dingin oleh perseteruan emosi hanya akan menumbuhkan anak-anak yang juga emosional, bukan?"

“Guru, Lihatlah meski jagungnya sudah disediakan pada tempat makanan yang tergantung tepat di bawah paruhnya, namun di saat mau memakan butir-butir jagung itu, si ayam jantan tetap saja tak lupa menggaruk-garukkan kakinya di jeruji alas sangkar, seperti saat ia biasa menggaruk tanah untuk mencari makanan. Untuk apa lagi Ayam jantan itu menggaruk-garuk lantai sangkar yang berjeruji lobang itu, Guru? Bukankah makanan sudah ada tepat di bawah lehernya dalam kotak plastik itu? Ayam itu tinggal memakannya tanpa perlu repot mengais-ngais lagi seperti di tanah, Guru."
"Manu, sekalipun makanan ini mudah ayam jantan itu dapatkan karena sudah ada di depan matanya, tapi ayam jantan itu akan tetap menggaruk-garuk karena ayam jantan itu ingin mendapat rasa kepuasan bahwa apa yang  dia makan dengan mudah ini pun adalah hasil sebuah usaha dari dirinya. Bukankah kau pun layak untuk selalu berjuang mendapatkan apa yang kau inginkan, dan bukan semata-mata berharap dapat menikmati berkah yang jatuh dari langit, Manu? Karena hidup tanpa sebuah usaha, bukankah hidup yang layak dinikmati hasil pencapaiannya."

“Guru, Lihatlah Kucing-kucing rumah itu masih saja bermain-main padahal mereka sudah tergolong dewasa di spesiesnya. Kenapa kucing-kucing itu bisa setiap hari santai seperti ini seakan tidak ada beban dalam hidup mereka, Guru?"
"Manu, bukankah hidup ini sejatinya begitu sederhana? Kucing lahir untuk memainkan peran sebagai kucing. Tidak ada peran lain yang kucing harapkan. Karena itulah hidup kucing sederhana dan tanpa beban. Dan bagi kalian, Manu, bukankah hidupmu juga sederhana. Kalian datang ke bumi ini lewat kelahiran tanpa membawa apa-apa dan saat pulang dalam kematian pun tidak membawa apa-apa. Bukankah tujuan kalian ke bumi ini hanya untuk mencari guna (ilmu) agar hidup kalian berguna lewat peran-peran kehidupan, lalu kelak Jiwa kalian bisa pulang membawa guna (pengetahuan kesadaran). Sayangnya kalian lebih banyak mencari dan mengumpulkan apa-apa yang sesungguhnya akan kalian tinggalkan begitu saja di bumi ini, bahkan pada waktu yang kalian sendiri tidak pernah tahu pasti. Jadi, sederhanakan saja hidupmu Manu. Milikilah tanpa melekat pada kepemilikan. Jalani saja tanpa merasa terbebani. Karena semua pun akan berlalu."

“Guru, Lihatlah matahari bahkan belum terbit dan bias cahayanya pun belum tampak di langit timur, tapi ayam-ayam jantan itu telah pula berkokok riuh. Bagaimana ayam jantan itu tahu bahwa matahari akan segera terbit, padahal belum seberkas pun cahayanya muncul, Guru ?"
"Manu, tentu saja ayam jantan tahu karena ayam jantan membuka mata untuk melihat cahayanya yang belum kau lihat. Dan jika kau rajin membuka mata hatimu, maka kau pun akan mudah melihat terang kehidupan yang akan segera muncul di balik kesulitan hidup yang kau jalani itu, Manu. Jangan berlama-lama menutup mata hatimu, karena dengan itu kau akan terbangun dalam kesadaran dan melihat indahnya sekenario semesta di balik semua peristiwa suka-duka yang kalian alami."

“Guru, Lihatlah bangau hijau itu berkaki pendek dan tak bisa masuk ke danau yang lebih dalam. Sementara ikan-ikan kecil malah gemar berenang disana dan enggan mendekat ke tempat yang dangkal. Bangau itu lalu terbang, mengambil dengan paruhnya potongan roti yang dilempar anak-anak di tepi danau. Dengan cerdas kemudian potongan roti itu dilempar ke danau di dekatnya berdiri, sembari menunggu ikan-ikan kecil itu mendekati remah roti. Beberapa ikan kecil mendekati umpan roti yang dilemparnya. Dan tentu saja, akhirnya ikan-ikan itu berakhir di paruh si bangau. Apa yang dapat saya pelajari dari keadaan tersebut, Guru ? ”
"Manu, jika bangau saja bisa menemukan cara untuk mencapai harapannya, apakah manusia sepertimu yang diberkahi akal yang lebih banyak oleh semesta ini layak menyerah pada tantangan dalam hidupmu?"

“Guru, Lihatlah dengan cekatan rusa gunung itu berlari kencang menuruni tebing-tebing terjal demi menghindari kejaran seekor Puma. Melompat dari batu ke batu, menjauh dengan cepat dari si pemangsa. Ia selamat dengan mengagumkan. Bagaimana rusa gunung itu bisa berlari dan melompat begitu lincah di antara batu-batu tebing yang terjal itu Guru ? Seakan tiada rasa takut dalam batin rusa gunung itu, padahal rusa gunung itu bisa saja jatuh tergelincir dan mati. Dan semua situasi yang mengerikan itu seperti hanya sebuah momen permainan bagi rusa gunung itu dan bukan seperti sebuah masalah yang besar, Guru."
"Manu, tentu saja semua ini menjadi masalah bagimu jika kau tidak menyelami dan belajar untuk hidup bersamanya. Rusa gunung itu sudah di gunung ini sejak kecil dan bermain-main disini. Juga belajar berlari untuk menyelamatkan diri di tebing terjal ini. Jadi, kini semua kenyataan ini tidak lagi menjadi sesuatu yang mengerikan bagi mereka. Kau pun tentu akan bisa menghadapi masalah yang sesulit apa pun dalam hidupmu, jika kau mau membiasakan diri untuk menghadapi masalah itu dan belajar mencari jalan keluar darinya, Manu. Bukankah orang-orang yang mudah keluar dari permasalahan hidup adalah mereka yang selalu berani berhadapan dan belajar dengan masalah itu dan bukan melarikan diri darinya, Manu?"

“Guru, Lihatlah ikan-ikan Salmon itu berjuang keras hingga sisa energi terakhir menemani mereka mencapai hulu sungai yang tenang untuk bisa bertelur. Tidak saja batu-batu keras melukai tubuh mereka saat berenang melawan derasnya arus, juga rahang-rahang beruang yang siap menanti dan memangsa saat mereka melompat melewati air terjun. Betapa kerasnya ikan-ikan solmon itu berjuang melewati arus sungai dan berbagai rintangan berbahaya ini hanya untuk sampai di hulu sungai yang tenang itu. Apa sejatinya yang ikan-ikan solmon itu harapkan disana, Guru ?"
"Manu, ikan-ikan solmon itu hanya sedang berjuang keras mencapai tempat yang aman dan nyaman bagi telur-telur mereka menetas kelak, menjadi generasi yang bisa meneruskan kehidupan spesies mereka. Segala rintangan menjadi tak penting, asalkan kelak anak-anak mereka bisa selamat dalam bertumbuh untuk kembali mencapai samudra saat mereka dewasa. Bukankah manusia pun mesti demikian, Manu? Berjuang keras membangun ruang dan waktu yang aman dan nyaman bagi bertumbuhnya anak-anak yang kelak akan menjadi generasi penerus manusia di bumi ini. Jika kau membuat mereka hidup dalam lingkungan yang tidak nyaman, maka kelak mereka sendiri akan membuat lingkungan ini tidak nyaman pula. Jika hari ini kau hanya mementingkan kesenangan hatimu dalam kenikmatan duniawi, kelak saat mereka dewasa, mereka pun hanya akan mencari kesenangan yang sama dan membiarkanmu kesepian bahkan merana dalam masa tuamu."

“Guru, Lihatlah Luwak itu asyik menikmati buah kopi yang ranum. Ia memilih biji kopi yang matang kemudian mengunyah dengan nikmat kulitnya. Esok hari ia mengeluarkan biji kopi yang tak tercerna olehnya. Luwak sisakan biji kopi yang pahit untuk yang lain, sedangkan Luwak nikmati sendiri kulitnya yang terasa lezat baginya. Bagaimana manusia bisa menikmati kopi pahit ini seperti Luwak menikmati kulitnya, Guru ?"
"Manu, bukankah alam sudah menyediakan tebu untuk kau jadikan gula dan sapi mempersembahkan susunya untuk kau campur dengan biji kopi yang pahit itu agar ia menjadi minuman hangat yang terasa nikmat? Apa pun yang terasa pahit jika kau bisa mengolahnya dengan bahan-bahan yang manis akan terasa lebih nikmat. Begitu pun dengan pahitnya peristiwa kehidupan yang hadir mengunjungi hari-harimu. Jika kau bisa menerimanya dengan batin yang telah manis oleh rasa syukur dan pikiran yang cerdas oleh pengetahuan sebab-akibat, maka dibalik setiap pahit kehidupan itu akan kau sadari bahwa alam sesungguhnya sedang menyajikan sebuah hidangan pemurnian bagi Jiwamu. Jika kau perhatikan orang-orang sukses dan hebat di kehidupan ini, kau akan melihat cara mereka menikmati pahit getirnya kehidupan hingga mereka sampai pada kesuksesan. Kau pun bisa seperti mereka, Manu."

“Guru, di tengah kebuntuan yang menghadang saat aku mencoba mencari jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan, segera pikiran membayang pada keputusan untuk mengakhiri saja hidup ini demi lampaunya semua beban batin, Guru.”
"Manu, daripada kau membayangkan kematian, coba bayangkan burung-burung yang tidak percaya pada sayapnya hingga tak pernah berlatih untuk terbang. Coba bayangkan para gajah yang tak percaya pada gading dan belalainya untuk menemukan sumber air. Coba juga bayangkan para singa dan harimau yang tidak percaya pada taring dan cakar mereka untuk mencari makan. Atau, bayangkan ikan-ikan yang tak pernah melatih siripnya untuk berenang. Jika kau bisa menilai dengan jujur seperti apa bagimu sikap mereka, kini bayangkan seorang manusia yang tak pernah melatih hatinya untuk tegar dan tidak pula melatih pikirannya untuk cerdas mencari jalan keluar."
“Manu, coba perhatikan Pohon itu, ia memberi kupu-kupu daun-daun muda saat ia masih menggeliat sebagai ulat bulu yang menggelikan. Usai menjadi kepompong dan menetas sebagai kupu-kupu indah untuk terbang meninggalkannya begitu saja, pohon itu kembali tulus memanggil si kupu-kupu dengan keindahan bunga yang harum semerbak di tangkainya. Lalu si kupu-kupu pun kembali dan dengan riang menyesap nektar yang dijamukan baginya oleh sang pohon. Alhasil, beberapa waktu setelah si kupu-kupu berlalu, si pohon menikmati pujian atas buah ranum yang kini dimiliknya lewat peran si kupu-kupu.”
“Manu, Ambillah pelajaran Pohon dan kupu-kupu tersebut, siapa saja selalu ikhlas mempersembahkan kebaikan bagi semesta, bahkan bagi seseorang yang kelihatannya seakan berkhianat dan mengabaikan rasa terima kasih atas kebaikan itu, sesungguhnya rasa terima kasih alam selalu akan hadir sendiri kelak pada saatnya, sebagai buah Karma yang menyisakan pujian bagi ia yang dipenuh persembahan kebaikan.”

“Guru, di sebelah pohon durian ini bertumbuh pohon kedondong. Bukankah buah pohon durian begitu lembut dan lunak, kenapa kulit buah durian mesti Tuhan buat berduri menakutkan seperti itu. Dan lihatlah pohon kedondong, kulit buahnya begitu halus, tapi kenapa isinya malah berserat kasar seperti itu, Guru ?"
"Manu, alam sedang menitipkan pesan bagimu dalam kehidupan ini. Hati-hatilah menilai baik atau buruk pada penampilan luar. Kadang orang-orang yang kata-katnya kasar dan menyakitkan, justru memiliki maksud yang sangat baik dan hati yang sangat lembut. Sebaliknya, mereka yang kata-katanya halus dan lembut sering malah menyimpan maksud yang perlu kau waspadai. Belajarlah untuk selalu merasakan hati seseorang dibalik apa yang dia tunjukkan dengan kata-kata dan perilaku mereka."

“Guru, lihatlah di kedalaman laut yang sangat gelap, seekor ikan berenang perlahan memasuki goa batu karang yang menjadi sarangnya. Ia adalah seekor ikan tanpa mata.
Sungguh malang nasib ikan itu. Sudah berada di laut terdalam yang gelap dan tak terjangkau sinar matahari sama sekali, alam ini malah semakin menyiksanya dengan tidak memberi sepasang mata untuk melihat keadaan di sekitarnya. Ikan itu pasti sering terbentur batu karang karena hidup tanpa mata di dasar laut yang gelap seperti itu."
"Manu, ikan itu tidak pernah menilai alam ini tidak adil apalagi berniat menyiksa ikan itu dengan kondisi tanpa mata. Di tempat gelap seperti itu, jika alam memberinya mata, apakah yang bisa ikan tersebut lihat dengan mata itu selain kegelapan juga. Alam telah memberi ikan tersebut panca indra yang lain untuk beradaptasi dengan lingkungan agar bisa hidup normal di dalamnya. Apakah saat ini kau sendiri masih sering menilai kehidupan ini tidak adil bagimu, Manu? Jika demikian, temukan dan pahamilah skenario keadilan alam ini Manu, maka kau akan melihat keadilan dan cinta kasih Tuhan bagi dirimu di kehidupan saat ini."

“Guru, Wildebeest-Wildebeest itu terus berlari dalam kejaran para singa. Sesekali mereka berbali menghadang dengan tanduk yang tajam dan mematikan. Akhirnya, mereka hanya terdiam saat menyaksikan salah satu diantaranya berhasil dimangsa para singa. Akhirnya mereka menyerah juga, Sudah takdir mereka menjadi mangsa singa di alam ini. Kenapa Wildebeest-wildebeest itu tidak menerimanya dengan ikhlas saja tanpa perlawanan, Guru ?"
"Manu, menerima suatu peristiwa dengan ikhlas bukanlah berarti berdiam diri dan menyerah begitu saja. Berusaha menemukan solusi tanpa mengeluh dan tidak menyalahkan siapa pun atas peristiwa yang menimpamu itulah penerimaan ikhlas. Selebihnya, caramu beradaptasi menghadapi masalah kehidupan itulah yang akan membuatmu berhasil melewati seleksi di alam ini. Kita semua sedang diseleksi oleh alam ini Manu. Siapa yang berhasil menjaga diri dan menjadi lebih baik bagi alam ini, merekalah yang selamat."

“Guru, Sisa air terakhir sebentar lagi menguap oleh teriknya kemarau panjang di Delta Okavango di gurun Botswana Afrika. Langit memang cerah, tapi menggerahkan. Hewan-hewan dan padang rumput disana mulai resah menanti hadirnya kegelapan di langit. Dan manakala awan-awan gelap mulai menampakkan diri memenuhi langit semua wajah menyiratkan kegembiraan, hujan deras turun menyegarkan gurun.”
"Lihatlah, Manu. Tak selamanya kegelapan yang menyelimuti langit itu bermakna duka nestapa. Tak selamanya pula langit cerah itu bermakna kebahagiaan. Langit sedang mengajari kita untuk berhati-hati menilai, karena putih tak selamanya suci dan hitam tak selamanya noda. Semua ditentukan oleh apa yang ada dibaliknya."

"Guru, kenapa begitu sulit menyembuhkan luka hati ini? Semua upaya menghibur diri seakan tidak berguna."
"Manu, bahkan luka di kulit tubuhmu tidak akan mudah sembuh jika tidak menjaga kebersihannya. Apalagi jika kau malah mengijinkan berbagai kotoran berkuman menempel padanya, maka dia menjadi luka yang kian sulit disembuhkan."
"Begitupun luka batin. Bila kau tidak menjaga kebersihan hatimu yang luka itu dari berbagai pikiran yang kotor oleh kegelapan ego negatif, apalagi mengijinkan berbagai virus akal budi memasuki batinmu, niscaya kian sulitlah ia tersembuhkan."
"Rasa sakit hati menghadirkan kemarahan, kemarahan menumbuhkan kebencian, kebencian menciptakan dendam, dan dendam akan memelihara rasa sakit itu di dalam."
"Lepaskan segala ingatan yang telah melukai batinmu, lalu masukkan pengetahuan tentang kebenaran Karma atas peristiwa menyakitkan yang telah kau alami, hingga kau bisa ikhlas menerima kejadian itu dan mengijinkan rasa sakit itu berlalu. Keikhlasan menerima dan melepas rasa sakit, memudahkan kesembuhan batin yang terluka, Manu."

"Guru, ajarkan aku cara ikhlas menghadapi seseorang yang begitu membenciku. Ajarkan pula aku mengubahnya agar ia berbalik menyukaiku."
"Manu, saat orang membenci bagian dari dirimu, bagian sari sifat, kata-kata atau tindakanmu, sesungguhnya ia sedang menunjukkan dengan cara itu bahwa ia merindukan dan mencintai sisi lain dari dirimu, yaitu kebaikan."
"Karena ia mencintai sisi yang disebutnya sebagai kebaikanmu, bukankah tidak layak untuk membenci mereka? Ada yang lebih indah untuk dilakukan. Cobalah renungkan sikap mereka dan berbenahlah bila itu membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik."
"Dan bila kau ingin mengubahnya menjadi menyukaimu, tiada jalan lain kecuali memancarkan cahaya terang cinta kasihmu padanya. Karena tak ada kebencian bisa diubah dengan kebencian, kecuali dengan cinta kasih."

“Guru, lihatlah di masa menjelang kematiannya, pohon-pohon tua yang merangas ini masih mencoba tegar berdiri untuk setidaknya menjadi penuntun dan dahan pelindung bagi para pendaki yang menapak jalan menuju puncak. Apa yang dapat saya pelajari disini Guru ?
"Manu, akankah dalam masa tuamu kelak, saat tubuhmu kian rapuh dan lemah, setidaknya ketegaran hati dan kebijaksanaan pikiranmu masih bisa menjadi teladan bagi anak-anak yang akan menyusuri jalan hidup mereka menuju puncak? Renungkanlah keadaan ini Manu"

Saat terjebak di sebuah ruang dan waktu kehidupan yang nyaris gelap selama perjalanan usia di bumi ini, kerap kita lebih berharap pada seberkas cahaya di luar diri yang seakan membahagiakan dan menggoda untuk ditemui di luar sana. Dan tatkala cahaya di luar itu pun reda oleh giliran datangnya malam, tidak saja di luar gelap, di dalam pun akhirnya tambah gelap. Begitu pun gelapnya duka hati di dalam yang mencoba dicarikan rasa bahagianya semata-mata lewat stimulus di luar diri.
Namun siapa saja menghidupkan cahaya (Nurani) dalam diri yang selalu menemaninya dari kehidupan demi kehidupan, ia tak lagi terjebak dalam ruang dan waktu kehidupan yang gelap di dalam atau pun di luar diri.

“Guru, lihatlah dituntun oleh nalurinya yang penuh cinta kasih gembala itu menuntun sapi-sapinya untuk melepas dahaga mereka dengan kesejukan air dan mandi dalam pancuran kejernihannya. Apa yang dapat saya pelajari disini Guru ? ”
“Manu, begitulah kerap terjadi pada seseorang yang mengijinkan Sang Gembala (Jiwa) dalam diri untuk menuntun pikiran yang gerah menjalani kehidupan. Dengan penuh cinta kasih pikiran itu akan disegarkannya kembali lewat kejernihan dan kesejukan pengetahuan kebijaksanaan, sebagaimana diajarkan oleh air yang selalu mengalir dalam keikhlasan Karma menuju samudra kesemestaan, Manu”

"Dalam genangan air yang berlimpah, kenikmatan itu sesungguhnya hanya ada dalam beberapa teguk penghilang dahaga. Kecuali jika ingin berendam di dalamnya seperti ikan-ikan -yang mungkin juga tidak selalu meminum air- sambil berenang riang disana", Akhirnya sapi-sapi tersebut mesti beranjak juga meninggalkan genangan air berlimpah itu untuk mengeringkan diri di daratan ”.
"Keberlimpahan materi duniawi mirip genangan air yang berlimpah itu, Manu. Sesungguhnya kau hanya membutuhkan secukupnya untuk bisa menghadirkan rasa syukur dalam hidupmu. Kecuali kau ingin berendam di dalam keberlimpahan itu untuk meriangkan pikiranmu seperti ikan-ikan yang berenang dalam air. Akhirnya kau mesti meninggalkan juga semua keberlimpahan itu agar Jiwamu mudah meninggalkan kemelekatan pada bumi ini ketika saat itu tiba bagimu, Manu."

“Guru, lihatlah dengan bergegas air itu mengalir menuruni puncak gunung, melewati bebatuan dan ngarai hingga menciptakan air terjun yang demikian indah. Ia sedang menuju samudra. Perjalanan panjangnya menuju samudra seperti sedang menyampaikan pelajaran, apa yang dapat saya pelajari disini, Guru ? ”
"Manu, sekalipun air tersebut turun di puncak gunung yang tinggi sebagai air hujan yang diberkahkan langit, namun air tersebut akan terus mengalir menuju samudra yang tempatnya jauh lebih rendah di lembah sana. Maka jangan pernah berkecil hati Manu, seberapa pun kau direndahkan oleh lingkunganmu. Sebab, kerendahan hati selalu memanggil berkah kesejukan alam untuk mengalir baginya. Jangan pula mudah takabur dalam tingginya posisi kesuksesan duniawi. Sebab kesejukan batin mudah meninggalkannya sekali pun di posisi itu seringkali berkah kebahagiaan terasa hadir paling awal. Tetap penuh syukur saat di puncak gunung dan tetap memelihara kerendahan hati seperti samudra, akan membuat batin dan Jiwamu abadi dalam kesejukan saat dialiri berkah semesta, Manu. "

“Guru, lihatlah tidak hanya nyamuk yang gemar mengintai kulit kita saat tertidur, barisan kutu busuk juga siap menyerbu dari lipatan-lipatan kasur untuk menikmati darah di balik kulit kita. Guru, untuk apa sesungguhnya alam menciptakan mereka menjadi mahluk yang mesti hidup dengan menghisap darah di balik kulit kami saat kami tertidur?"
"Manu, lewat tugas mereka menghisap darah kalian saat tertidur, mereka sedang disuruh mengingatkan kalian agar tidak berlama-lama terlena dalam hal apa pun, apalagi tidur dan tenggelam hanya dalam mimpi-mimpi indah duniawi hingga lupa untuk bangkit dalam kesadaran. Istirahatlah, tidurlah, nikmati mimpi-mimpi duniawi kalian, tapi jangan sampai terlalu lama terlena Manu. Karena jika terlalu lama terlena, ada parasit-parasit kemelakatan yang akan menghisap energi batinmu dan merugikan pertumbuhan Jiwamu."

"Guru, betapa sulitnya memilih antara mempelajari spiritualitas ataukah menjalani kehidupan duniawi. Jika belajar spiritual, aku harus tinggalkan kehidupan duniawi yang menjadi beban perjalanan spiritual. Jika hanya memikirkan spiritual, hidup duniawiku tidak memadai. Susah sekali memilih satu diantara keduanya, Guru ".
"Manu, pelajaran spiritual bukanlah diajarkan untuk mengabaikan kehidupan duniawimu dan pelajaran duniawi bukanlah diciptakan untuk menghambat perjalanan spiritualmu. Jalanilah keduanya dengan seimbang, maka kau akan mengerti bahwa kehidupan duniawi diciptakan justru untuk mematangkan pertumbuhan Jiwamu. Bahagiakanlah hidup duniawi dan matangkan Jiwamu lewat peran-peran hidup yang kau jalani dengan penuh pembelajaran diri, Manu ".

“Guru, suara angin topan ini begitu mengerikan. Derunya seakan menyiratkan besarnya kehancuran yang akan terjadi. Tapi bagamana burung Perkutut itu yang bertenggger tenang pada dahan pohon yang bergoyang-goyang keras ditiup angin masih bisa setenang itu dalam terpaan angin yang keras ini, Guru ? "
"Manu, suara angin ini tidak lebih mengerikan daripada suara yang keluar dari paru-paru manusia dan berubah menjadi kata-kata. Lihatlah betapa banyak kehancuran di dunia ini terjadi hanya gara-gara kata-kata yang manusia ucapkan. Betapa banyak korban Jiwa melayang karena kata-kata yang dikeluarkan manusia. Maka hati-hatilah dengan kata-kata yang kau ucapkan Manu, karena itu bisa mendamaikan dengan tutur bahasamu atau bahkan menghancurkan dirimu dan dunia ini dengan provokasimu. Begitu pun jika kau takut dan lebih memilih menghindar saat mendengar suara deru angin topan yang membahayakan, hindarilah mendengar kata-kata yang bisa membahayakan kehidupanmu lewat provokasimu, Manu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar