"Guru, betapa inginnya Jiwa ini untuk kelak bisa bersatu kembali dengan Tuhan atau selalu berada di sisi Tuhan. Tapi apa daya, aku adalah mahluk yang penuh kekhilafan, hingga rasanya Jiwa ini masih sangat belum pantas untuk meraih harapan itu. Adakah cara bagiku untuk merasakan kebersamaan yang membahagiakan bersama cinta kasih Tuhan, Guru?"
"Manu, Tuhan adalah Sang Waktu.
Maka sadarilah Tuhan selalu bersamamu melewati kehidupan ini. Saat kau bisa
menikmati perjalanan hidupmu bersama setiap waktu yang masih ada bagimu, itulah
cara untuk selalu berbahagia bersama dengan Tuhan."
"Guru,
kenapa begitu sulit menyembuhkan luka hati ini? Semua upaya menghibur diri
seakan tidak berguna."
"Manu, bahkan luka di kulit tubuhmu
tidak akan mudah sembuh jika tidak menjaga kebersihannya. Apalagi jika kau malah
mengijinkan berbagai kotoran berkuman menempel padanya, maka dia menjadi luka
yang kian sulit disembuhkan."
"Begitupun luka batin. Bila kau
tidak menjaga kebersihan hatimu yang luka itu dari berbagai pikiran yang kotor
oleh kegelapan ego negatif, apalagi mengijinkan berbagai virus akal budi
memasuki batinmu, niscaya kian sulitlah ia tersembuhkan."
"Rasa sakit hati menghadirkan
kemarahan, kemarahan menumbuhkan kebencian, kebencian menciptakan dendam, dan
dendam akan memelihara rasa sakit itu di dalam."
"Lepaskan segala ingatan yang telah
melukai batinmu, lalu masukkan pengetahuan tentang kebenaran Karma atas
peristiwa menyakitkan yang telah kau alami, hingga kau bisa ikhlas menerima
kejadian itu dan mengijinkan rasa sakit itu berlalu. Keikhlasan menerima dan
melepas rasa sakit, memudahkan kesembuhan batin yang terluka, Manu."
"Guru,
ajarkan aku cara ikhlas menghadapi seseorang yang begitu membenciku. Ajarkan
pula aku mengubahnya agar ia berbalik menyukaiku."
"Manu, saat orang membenci bagian
dari dirimu, bagian sari sifat, kata-kata atau tindakanmu, sesungguhnya ia
sedang menunjukkan dengan cara itu bahwa ia merindukan dan mencintai sisi lain
dari dirimu, yaitu kebaikan."
"Karena ia mencintai sisi yang
disebutnya sebagai kebaikanmu, bukankah tidak layak untuk membenci mereka? Ada
yang lebih indah untuk dilakukan. Cobalah renungkan sikap mereka dan
berbenahlah bila itu membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik."
"Dan bila kau ingin mengubahnya
menjadi menyukaimu, tiada jalan lain kecuali memancarkan cahaya terang cinta
kasihmu padanya. Karena tak ada kebencian bisa diubah dengan kebencian, kecuali
dengan cinta kasih."
“Guru,
hanya jalanan yang kasarlah yang memudahkan kita mengetahui bagian mana dari
motor kita yang baut-bautnya masih kendor sehingga terdengar riuh saat
berguncang..Apa yang dapat saya pelajari dari ini, Guru ?”
“Manu, juga begitu dengan hadirnya
orang-orang yang bicaranya kasar. Mereka sedang mengingatkan bagian mana dari
"baut" kesabaran dan kedamaian batin kita yang belum kuat dan mudah
terguncang oleh kata-kata.
"Guru,
kenapa kebaikan itu mesti dilakukan dengan ikhlas? Apa salahnya jika aku
melakukan kebaikan dengan sebuah harapan atau pahala?"
"Manu, tak ada yang salah dalam
kesemestaan. Kau boleh melakukan kebaikan dengan ikhlas atau pun tidak ikhlas.
Itu hanya sebuah pilihan. Jika kau melakukannya dengan ikhlas tanpa berharap
akan suatu balasan, maka kau sedang memilih untuk terbebas dari lingkaran Karma
kebaikan. Jika kau memilih melakukan kebaikan dengan sebuah harapan akan
balasan kebaikan, maka kau memilih untuk tetap berada dalam lingkaran Karma
baik. Kau berhak memilih untuk bebas ataukah terikat oleh Karma, karena itulah
proses belajarmu menuju kemahardikaan Jiwa."
"Guru,
betapa sulitnya untuk menjadi orang baik. Sulit menjadi pemaaf. Sulit menjadi
orang sabar. Segalanya begitu sulit. Ajarkanlah padaku cara mudah menjalani
hidup ini."
"Manu, jika kau selalu memulai
segalanya dengan mengatakan pada dirimu bahwa segalanya itu sulit dicapai,
bagaimana kau bisa percaya akan kemudahan yang ada.? Mulailah segala pekerjaan
dengan meyakini bahwa kau akhirnya akan bisa. Niscaya segala potensi dirimu
akan mengalir membantumu."
"Guru,
aku sudah memaafkan dengan ikhlas sikap buruk orang itu padaku. Tapi kenapa
masih saja terasa sakit saat aku mengingat atau berjumpa orangnya?"
"Manu, tanda-tanda memaafkan dengan
ikhlas adalah lenyapnya rasa sakit itu saat kau mengingat peristiwa atau
orangnya. Memaafkan dengan tidak ikhlas, itulah yang disebut membohongi dirimu
sendiri. Dalam cara seperti itu, kau hanya menekan kemarahan dan kepedihanmu ke
batin terdalam, dan itulah yang kau anggap sebagai memaafkan. Dari batin yang
tertekan itulah rasa sakit sering muncul saat kau teringat lagi. Maka bebaskan
batinmu dari tekanan pemaafan yang tidak ikhlas. Saat itulah batinmu akan
terasa ringan."
"Tuhan,
aku selalu berbuat baik padanya, tapi ia justru tetap senang bersikap buruk
padaku. Ini sangat menyakitiku. Bagaimana aku mesti mengubahnya menjadi
bersikap baik?"
"Manu, jika kau sungguh selalu
berbuat baik padanya meski ia selalu bersikap buruk, namun itu justru membuatmu
sakit hati, bagaimana mungkin ia akan menirumu menjadi pribadi yang baik jika
itu akhirnya menyakitkan. Buktikanlah bahwa sikap baik itu tidak menyisakan
sakit hati, maka dengan cara itulah dia akan percaya untuk mencontoh
kebaikanmu."
"Guru,
bantulah aku menjauhkan diri dari rasa takut ini."
"Manu, Tuhan memberimu rasa takut
bukan untuk kau jauhi, tapi justru untuk kau dekati, amati, dan pelajari dengan
sebaik-baiknya, hingga rasa takut itu mampu membantumu menemukan keberanian yang
terpendam dalam dirimu."
"Guru,
maafkanlah kesalahan pikiran, kata dan tindakanku selama ini, dan ajarkan
padaku cara untuk tidak melakukan kesalahan lagi."
"Manu, sesungguhnya tidaklah ada
yang salah pada pikiranmu. Pikiran tiap manusia itu murni. Dia hanya bertanya
dan mencari jawaban atas masalah kehidupan yang dihadapinya. Bisikan-bisikan yang
muncul dalam benakmu itu yang bersifat salah-benar atau baik-buruk, sesuai
dengan aturan yang kalian sepakati di kehidupan kalian di bumi. Saat pikiran
kalian mengikuti bisikan dalam diri yang bersifat salah atau buruk itulah, maka
kesalahan dan keburukan telah mulai menjadi nyata sebagai pribadimu. Belajarlah
untuk memilih bisikan yang patut diikuti sesuai norma kehidupanmu, dengan
begitu kau akan terbebas dari sifat buruk dan salah. Di hadapan semesta Tuhan
tak ada salah-benar atau baik-buruk. Yang ada hanya sebab dan akibat, pilihan
dan konsekuensi. Berhati-hatilah memilih apa yang tidak kau inginkan
akibatnya."
"Guru,
apa sejatinya tujuan semesta menciptakan berbagai peristiwa suka duka dalam
kehidupan kami?"
"Manu, setiap peristiwa yang kau
alami di kehidupan ini, adalah kepingan-kepingan puzzles. Siapa saja rajin
mengamati dan menerima kepingan-kepingan itu dengan ikhlas, lalu menyatukannya
dalam formasi makna yang tepat, dia akan berhasil melihat dirinya serta makna
kehidupannya secara utuh dan sempurna."
"Guru,
bagaimana aku bisa yakin bahwa dibalik semua rasa pedih, kekecewaan,
kehilangan, dan berbagai kepahitan hidup yg kualami lewat peristiwa buruk ini,
sesungguhnya telah Kau simpan berkah kebahagiaan bagiku di depan sana."
"Manu, Tuhan menciptakan kehidupan
ini bukan untuk menikmati penderitaan yang Kusaksikan terjadi pada kalian.
Tuhan menciptakan segala peristiwa dalam kehidupan ini, untuk menikmati
saat-saat membahagiakan yang pada akhirnya kelak akan kalian rasakan setelah
semua proses itu kalian jalani. Tuhan adalah sumber kebahagiaan, bukan sumber
penderitaan. Pikiranmu yang tidak sabar menjalani proses menuju kebahagiaan
itulah yang menghadirkan rasa penderitaan di batinmu, Manu. Sabarlah. Semua ada
akhirnya yang membahagiakan."
"Guru,
saat aku sedang belajar untuk berbahagia melihat orang lain bahagia, kenapa
mesti Kau pertemukan aku dengan orang-orang yang malah senang menyakiti
perasaanku?"
"Manu, jika kau memang ingin
belajar berbahagia melihat orang lain bahagia, maka belajarlah melihat betapa
bahagianya orang yang senang menyakitimu itu, saat ia merasa berhasil menyakiti
perasaanmu. Ada banyak orang berbahagia dengan kebaikanmu dalam bentuk
pemberian, ada banyak pula orang yang bahagia lewat keikhlasanmu menerima rasa
sakit hati yg mencoba dikirimkannya lewat sikap dan kata-kata menyakitkan. Saat
kau bisa membahagiakan kedua jenis orang itu, saat itulah kau benar-benar
belajar bahagia atas kebahagiaan orang lain."
"Guru,
kenapa Tuhan tidak ijinkan saja aku mengetahui segala yang akan terjadi di masa
depan dengan sejelas-jelasnya agar aku mudah berhitung tentang apa yang harus
kulakukan saat ini.?"
"Manu, jika kau diberkahi melihat
masa depan dengan jelas, kau tidak akan mudah menikmati berkah yang kau terima
hari ini, karena kau pun melihat bencana menyusul di balik berkah itu. Kau pun
tidak akan mempelajari dengan sepenuh rasa setiap bencana dan kepahitan hidup
yang kau alami saat ini, karena kau hanya fokus melihat berkah masa depan di
balik semua itu. Namun, kau cukup mengetahui bahwa di balik berkah ada bencana
dan di balik bencana ada berkah, agar kau bisa menikmati rasa kebahagiaan dan
pembelajaran di balik berkah dan bencana yang kau hadapi saat ini."
"Guru,
kenapa aku mesti memuja Tuhan, atau menyebut nama Tuhan, atau bahkan jika bisa,
melihat dan menjumpai Tuhan?"
"Manu, sebelum menjawab
pertanyaanmu, Guru ingin tahu untuk apa kau mesti bercermin?"
"Tentu saja agar aku bisa melihat
bagian dari diriku yang tak bisa kulihat dengan jelas, agar aku tahu seperti
apa rupaku sebenarnya." "Nah, itulah jawaban dari semua pertanyaanmu,
Manu."
"Guru,
jika kami semua adalah anak-anak semesta yang Tuhan kasihi, kenapa Tuhan
biarkan ada Jiwa yang lahir dalam tubuh manusia yang terperangkap kemiskinan,
sakit dan penderitaan. Di sisi lain ada Jiwa yang Tuhan ijinkan lahir dalam
keluarga yang kaya dan bahagia?"
"Manu, mereka yang lahir dalam
kemiskinan, sakit dan penderitaan hidup, adalah para Jiwa yang memilih lahir
dalam kondisi seperti itu untuk belajar ikhlas menerima semua rasa duka
kehidupan. Sedangkan yang lahir dan berhasil menjadi kaya dan bahagia, adalah
para Jiwa yang kini memilih belajar untuk bisa ikhlas melepas semua kepemilikan
yang dulu belum belajar mereka lepas dengan ikhlas di bumi ini. Maka jika
hidupmu ada dalam penderitaan saat ini, sudahkah kau belajar untuk ikhlas
menerimanya? Jika kini kau ada sebagai manusia yang kaya dan bahagia, sudahkah
kau belajar melepas semua itu dengan ikhlas. Karena hidup adalah proses untuk
belajar ikhlas menerima apa yang dulu dibenci dan ikhlas melepas yang dulu
begitu disukai."
“Guru,
Lihatlah pinguin-pinguin itu berlompatan ke dalam air dan menyelam dengan gesit
di tengah samudra berarus deras dan ancaman hiu-hiu pemangsa di sekitarnya.
Sebagian dari mereka melompat ke tepi samudra sambil menggigit ikan di
mulutnya.
"Hebat,
pingguin-pingguin itu begitu berani menempuh derasnya arus samudra dan gesit
berkelit diantara tajamnya rahang-rahang hiu yang siap memangsa
pingguin-pingguin itu. Mereka mempertaruhkan nyawa hanya demi seekor ikan di
mulut mereka itu. Apa yang mendorong pingguin-pingguin begitu pemberani, Guru?"
"Manu, seekor ikan kecil ini
sangatlah besar artinya bagi pingguin-pingguin itu dalam menjalani hidup ini.
Jika pingguin-pingguin itu tidak berenang dan menyelam ke tengah samudra,
pingguin-pingguin itu tidak akan bisa pulang membawa berkah kehidupan ini.
Tanpa ikan tangkapan ini, kehidupan mereka sia-sia dan kematian pasti
mendatangi mereka akibat kelaparan. Pingguin-pingguin itu mesti berjuang di
samudra yang kejam ini agar mereka bisa membawa sesuatu yang bermanfaat untuk
mereka dan keluarga mereka. Itulah pendorong semangat pingguin-pingguin itu.
Bukankah begitu pula untuk hidupmu, Manu? Jika kau tidak bersemangat menjalani
kehidupan ini agar kelak ada berkah kehidupan yang bisa dibawa pulang oleh
Jiwamu ke rumah sejatiNya, tentu sia-sialah hidup ini bagimu. Tangkaplah berkah
rejeki di dunia ini untuk menyambung hidup tubuhmu. Tangkaplah berkah pengetahuan
di sekitarmu untuk menyambung pertumbuhan kecerdasan pikiranmu. Akhirnya,
tangkaplah pengetahuan kesadaran dan kebahagiaan di dunia ini demi menyambung
kematangan Jiwamu, Manu."
“Guru,
Lihatlah Rajawali itu terbang melayang dengan gagah perkasa di langit, seakan
seluruh langit menjadi daerah kekuasaannya. Betapa bahagianya menjadi raja
angkasa seperti Rajawali. Menjadi simbol kesuksesan dan kebebasan. Aku ingin
seperti Rajawali, Guru."
"Manu, sekalipun manusia
menempatkan Rajawali sebagai raja angkasa, Rajawali tetap saja mesti hinggap di
bumi dan hidup dari apa yang ada di bumi. Tak ada yang layak dibanggakan dan
hendaknya merasa biasa saja. Pun begitu sebaiknya jika kau kelak mencapai
pengetahuan dan tingkat spiritual tertinggi, bebas seakan raja angkasa seperti
Rajawali. Jangan pernah lupa bahwa kau sedang hidup disini. Membumilah dengan
kehidupan sosial lewat perilaku yang sesuai etika yang berlaku disana."
“Guru,
bagaimana aku menemukan seorang Guru sejati di kehidupan ini dan apa
ciri-cirinya?"
"Manu, inilah ciri-ciri Guru
Sejatimu.
Ia yang mampu menghilangkan gelapnya
pikiranmu oleh ketidaktahuan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya
batinmu oleh kesedihan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya
batinmu oleh rasa berdosa,
Yang mampu menghilangkan gelapnya
batinmu oleh kemarahan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya
batinmu oleh ketakutan,
Yang mampu menghilangkan gelapnya
batinmu oleh kebencian,
Yang mampu menghilangkan gelapnya
batinmu oleh kecemasan,
Yang mampu menghilangkan segala
kegelapan batinmu oleh ego negatif maupun positif,
Yang mampu membawamu bersentuhan dengan
rasa Jiwamu yang penuh cinta kasih,
Dan Ia yang mampu meringankan beban
batinmu dengan kasih sayangnya,
Hingga membuatmu melihat terang
kehidupan ini melampaui batasan waktu, masa lalu, masa kini dan masa depan,
Yang mampu membawamu melihat kesejatian
dirimu hingga kau terdiam dalam terang kesadaran itu,
Dialah Guru Sejatimu, Manu. Siapkan
dirimu untuk belajar, maka Dia akan datang bagimu."
“
Guru, Saat kedua bocah diajak berjalan-jalan ke sebuah taman oleh ayahnya, tiba-tiba
si anak yang lebih muda mulai gelisah, mual dan ingin segera pergi dari sana.
Sedangkan si anak yang lebih tua menyunggingkan senyum puas menikmati keindahan
taman. Berikut percakapan mereka Guru, "Kenapa kau menangis, nak?",
tanya si ayah dengan sabar. "Ayah, aku tidak kuat disini. Taman ini penuh
berserakan kotoran sapi di bawah pohon. Antarkan aku pulang sekarang." "Lalu
kenapa kau tersenyum, nak? Tanyanya pada si sulung. "Ayah, taman ini
begitu indah, penuh warna-warni aneka bunga. Daun-daunnya hijau rimbun
menyejukkan, Indah dan damai sekali.". Apa yang saya dapat saya pelajari
dari mereka, Guru ?”
"Manu, begitulah kehidupan di bumi
mirip seperti taman itu. Jika kau melihat hanya hal-hal yang tidak kau sukai,
negatif dan menyedihkan, maka bumi ini ibarat neraka. Namun jika kau melihat dengan
cermat hal-hal positif, keindahan dan kebaikan yang ada disini, kau akan
melihat kehidupan ini bagaikan di sorga."
“Guru,
Lihatlah dua ekor kecoak terus bergerak-gerak berusaha untuk membalikkan
tubuhnya yang sedang terlentang. Mereka berjuang agar bisa bangkit dan menjauh
sebelum pejalan kaki di trotoar itu lewat menginjaknya. Saat salah satu
berhasil bangkit setelah lama berjuang, ia mendekati kecoak satunya dan
menyentuh tubuh kawannya itu hingga dengan mudah si kawan kembali bangkit dan
bergegas ikut berlari. Baik sekali kecoa itu ingat untuk membangkitkan kawannya,
Apa yang saya dapat pelajari dari hal tersebut, Guru ?."
"Manu, itulah gunanya sahabat. Jika
mereka tidak saling menolong lalu siapa yang bisa mereka harapkan. Bukankah
Jiwa kalian sendiri selalu mendorong dari dalam untuk saling menolong sesama
kalian, Manu? Jika kecoa itu saja mudah tersentuh untuk menolong, apalagi
kalian yang memiliki Jiwa yang lebih besar dari kecoa tersebut."
“Guru,
Lihatlah begitu jauh angsa-angsa itu terbang menyeberangi lautan, demi mencari
daratan yang lebih hangat saat pergantian musim terjadi. Mereka terbang bahkan
sejauh 3000 kilometer menyeberangi samudra untuk menuju benua yang lebih
hangat. Kenapa mereka begitu keras berjuang dalam migrasi demi mencari
kehangatan itu, Guru ?"
"Manu, angsa-angsa sangat
membutuhkan suasana yang hangat di musim kawin nanti, agar telur-telur mereka
bisa berhasil menetas dan melahirkan generasi mereka yang baru. Bukankah kalian
pun selalu memerlukan suasana keakraban hati yang hangat agar anak-anak kalian
bertumbuh dengan baik dalam kehangatan cinta kasih keluarga itu, Manu? Karena
hubungan batin yang dingin oleh perseteruan emosi hanya akan menumbuhkan anak-anak
yang juga emosional, bukan?"
“Guru,
Lihatlah meski jagungnya sudah disediakan pada tempat makanan yang tergantung
tepat di bawah paruhnya, namun di saat mau memakan butir-butir jagung itu, si
ayam jantan tetap saja tak lupa menggaruk-garukkan kakinya di jeruji alas
sangkar, seperti saat ia biasa menggaruk tanah untuk mencari makanan. Untuk apa
lagi Ayam jantan itu menggaruk-garuk lantai sangkar yang berjeruji lobang itu,
Guru? Bukankah makanan sudah ada tepat di bawah lehernya dalam kotak plastik
itu? Ayam itu tinggal memakannya tanpa perlu repot mengais-ngais lagi seperti
di tanah, Guru."
"Manu, sekalipun makanan ini mudah
ayam jantan itu dapatkan karena sudah ada di depan matanya, tapi ayam jantan
itu akan tetap menggaruk-garuk karena ayam jantan itu ingin mendapat rasa
kepuasan bahwa apa yang dia makan dengan
mudah ini pun adalah hasil sebuah usaha dari dirinya. Bukankah kau pun layak untuk
selalu berjuang mendapatkan apa yang kau inginkan, dan bukan semata-mata
berharap dapat menikmati berkah yang jatuh dari langit, Manu? Karena hidup
tanpa sebuah usaha, bukankah hidup yang layak dinikmati hasil
pencapaiannya."
“Guru,
Lihatlah Kucing-kucing rumah itu masih saja bermain-main padahal mereka sudah
tergolong dewasa di spesiesnya. Kenapa kucing-kucing itu bisa setiap hari
santai seperti ini seakan tidak ada beban dalam hidup mereka, Guru?"
"Manu, bukankah hidup ini sejatinya
begitu sederhana? Kucing lahir untuk memainkan peran sebagai kucing. Tidak ada
peran lain yang kucing harapkan. Karena itulah hidup kucing sederhana dan tanpa
beban. Dan bagi kalian, Manu, bukankah hidupmu juga sederhana. Kalian datang ke
bumi ini lewat kelahiran tanpa membawa apa-apa dan saat pulang dalam kematian
pun tidak membawa apa-apa. Bukankah tujuan kalian ke bumi ini hanya untuk
mencari guna (ilmu) agar hidup kalian berguna lewat peran-peran kehidupan, lalu
kelak Jiwa kalian bisa pulang membawa guna (pengetahuan kesadaran). Sayangnya
kalian lebih banyak mencari dan mengumpulkan apa-apa yang sesungguhnya akan
kalian tinggalkan begitu saja di bumi ini, bahkan pada waktu yang kalian
sendiri tidak pernah tahu pasti. Jadi, sederhanakan saja hidupmu Manu.
Milikilah tanpa melekat pada kepemilikan. Jalani saja tanpa merasa terbebani.
Karena semua pun akan berlalu."
“Guru,
Lihatlah matahari bahkan belum terbit dan bias cahayanya pun belum tampak di
langit timur, tapi ayam-ayam jantan itu telah pula berkokok riuh. Bagaimana
ayam jantan itu tahu bahwa matahari akan segera terbit, padahal belum seberkas
pun cahayanya muncul, Guru ?"
"Manu, tentu saja ayam jantan tahu
karena ayam jantan membuka mata untuk melihat cahayanya yang belum kau lihat.
Dan jika kau rajin membuka mata hatimu, maka kau pun akan mudah melihat terang
kehidupan yang akan segera muncul di balik kesulitan hidup yang kau jalani itu,
Manu. Jangan berlama-lama menutup mata hatimu, karena dengan itu kau akan
terbangun dalam kesadaran dan melihat indahnya sekenario semesta di balik semua
peristiwa suka-duka yang kalian alami."
“Guru,
Lihatlah bangau hijau itu berkaki pendek dan tak bisa masuk ke danau yang lebih
dalam. Sementara ikan-ikan kecil malah gemar berenang disana dan enggan
mendekat ke tempat yang dangkal. Bangau itu lalu terbang, mengambil dengan
paruhnya potongan roti yang dilempar anak-anak di tepi danau. Dengan cerdas
kemudian potongan roti itu dilempar ke danau di dekatnya berdiri, sembari
menunggu ikan-ikan kecil itu mendekati remah roti. Beberapa ikan kecil
mendekati umpan roti yang dilemparnya. Dan tentu saja, akhirnya ikan-ikan itu
berakhir di paruh si bangau. Apa yang dapat saya pelajari dari keadaan
tersebut, Guru ? ”
"Manu, jika bangau saja bisa
menemukan cara untuk mencapai harapannya, apakah manusia sepertimu yang
diberkahi akal yang lebih banyak oleh semesta ini layak menyerah pada tantangan
dalam hidupmu?"
“Guru,
Lihatlah dengan cekatan rusa gunung itu berlari kencang menuruni tebing-tebing
terjal demi menghindari kejaran seekor Puma. Melompat dari batu ke batu,
menjauh dengan cepat dari si pemangsa. Ia selamat dengan mengagumkan. Bagaimana
rusa gunung itu bisa berlari dan melompat begitu lincah di antara batu-batu
tebing yang terjal itu Guru ? Seakan tiada rasa takut dalam batin rusa gunung
itu, padahal rusa gunung itu bisa saja jatuh tergelincir dan mati. Dan semua
situasi yang mengerikan itu seperti hanya sebuah momen permainan bagi rusa
gunung itu dan bukan seperti sebuah masalah yang besar, Guru."
"Manu, tentu saja semua ini menjadi
masalah bagimu jika kau tidak menyelami dan belajar untuk hidup bersamanya.
Rusa gunung itu sudah di gunung ini sejak kecil dan bermain-main disini. Juga
belajar berlari untuk menyelamatkan diri di tebing terjal ini. Jadi, kini semua
kenyataan ini tidak lagi menjadi sesuatu yang mengerikan bagi mereka. Kau pun
tentu akan bisa menghadapi masalah yang sesulit apa pun dalam hidupmu, jika kau
mau membiasakan diri untuk menghadapi masalah itu dan belajar mencari jalan
keluar darinya, Manu. Bukankah orang-orang yang mudah keluar dari permasalahan
hidup adalah mereka yang selalu berani berhadapan dan belajar dengan masalah
itu dan bukan melarikan diri darinya, Manu?"
“Guru,
Lihatlah ikan-ikan Salmon itu berjuang keras hingga sisa energi terakhir
menemani mereka mencapai hulu sungai yang tenang untuk bisa bertelur. Tidak
saja batu-batu keras melukai tubuh mereka saat berenang melawan derasnya arus,
juga rahang-rahang beruang yang siap menanti dan memangsa saat mereka melompat
melewati air terjun. Betapa kerasnya ikan-ikan solmon itu berjuang melewati
arus sungai dan berbagai rintangan berbahaya ini hanya untuk sampai di hulu
sungai yang tenang itu. Apa sejatinya yang ikan-ikan solmon itu harapkan disana,
Guru ?"
"Manu, ikan-ikan solmon itu hanya
sedang berjuang keras mencapai tempat yang aman dan nyaman bagi telur-telur
mereka menetas kelak, menjadi generasi yang bisa meneruskan kehidupan spesies
mereka. Segala rintangan menjadi tak penting, asalkan kelak anak-anak mereka
bisa selamat dalam bertumbuh untuk kembali mencapai samudra saat mereka dewasa.
Bukankah manusia pun mesti demikian, Manu? Berjuang keras membangun ruang dan
waktu yang aman dan nyaman bagi bertumbuhnya anak-anak yang kelak akan menjadi
generasi penerus manusia di bumi ini. Jika kau membuat mereka hidup dalam
lingkungan yang tidak nyaman, maka kelak mereka sendiri akan membuat lingkungan
ini tidak nyaman pula. Jika hari ini kau hanya mementingkan kesenangan hatimu
dalam kenikmatan duniawi, kelak saat mereka dewasa, mereka pun hanya akan
mencari kesenangan yang sama dan membiarkanmu kesepian bahkan merana dalam masa
tuamu."
“Guru,
Lihatlah Luwak itu asyik menikmati buah kopi yang ranum. Ia memilih biji kopi
yang matang kemudian mengunyah dengan nikmat kulitnya. Esok hari ia
mengeluarkan biji kopi yang tak tercerna olehnya. Luwak sisakan biji kopi yang
pahit untuk yang lain, sedangkan Luwak nikmati sendiri kulitnya yang terasa
lezat baginya. Bagaimana manusia bisa menikmati kopi pahit ini seperti Luwak
menikmati kulitnya, Guru ?"
"Manu, bukankah alam sudah
menyediakan tebu untuk kau jadikan gula dan sapi mempersembahkan susunya untuk
kau campur dengan biji kopi yang pahit itu agar ia menjadi minuman hangat yang
terasa nikmat? Apa pun yang terasa pahit jika kau bisa mengolahnya dengan
bahan-bahan yang manis akan terasa lebih nikmat. Begitu pun dengan pahitnya
peristiwa kehidupan yang hadir mengunjungi hari-harimu. Jika kau bisa
menerimanya dengan batin yang telah manis oleh rasa syukur dan pikiran yang
cerdas oleh pengetahuan sebab-akibat, maka dibalik setiap pahit kehidupan itu
akan kau sadari bahwa alam sesungguhnya sedang menyajikan sebuah hidangan
pemurnian bagi Jiwamu. Jika kau perhatikan orang-orang sukses dan hebat di
kehidupan ini, kau akan melihat cara mereka menikmati pahit getirnya kehidupan
hingga mereka sampai pada kesuksesan. Kau pun bisa seperti mereka, Manu."
“Guru,
di tengah kebuntuan yang menghadang saat aku mencoba mencari jalan keluar dari
berbagai masalah kehidupan, segera pikiran membayang pada keputusan untuk
mengakhiri saja hidup ini demi lampaunya semua beban batin, Guru.”
"Manu, daripada kau membayangkan kematian,
coba bayangkan burung-burung yang tidak percaya pada sayapnya hingga tak pernah
berlatih untuk terbang. Coba bayangkan para gajah yang tak percaya pada gading
dan belalainya untuk menemukan sumber air. Coba juga bayangkan para singa dan
harimau yang tidak percaya pada taring dan cakar mereka untuk mencari makan.
Atau, bayangkan ikan-ikan yang tak pernah melatih siripnya untuk berenang. Jika
kau bisa menilai dengan jujur seperti apa bagimu sikap mereka, kini bayangkan
seorang manusia yang tak pernah melatih hatinya untuk tegar dan tidak pula
melatih pikirannya untuk cerdas mencari jalan keluar."
“Manu, coba perhatikan Pohon itu, ia
memberi kupu-kupu daun-daun muda saat ia masih menggeliat sebagai ulat bulu
yang menggelikan. Usai menjadi kepompong dan menetas sebagai kupu-kupu indah
untuk terbang meninggalkannya begitu saja, pohon itu kembali tulus memanggil si
kupu-kupu dengan keindahan bunga yang harum semerbak di tangkainya. Lalu si
kupu-kupu pun kembali dan dengan riang menyesap nektar yang dijamukan baginya
oleh sang pohon. Alhasil, beberapa waktu setelah si kupu-kupu berlalu, si pohon
menikmati pujian atas buah ranum yang kini dimiliknya lewat peran si kupu-kupu.”
“Manu, Ambillah pelajaran Pohon dan
kupu-kupu tersebut, siapa saja selalu ikhlas mempersembahkan kebaikan bagi
semesta, bahkan bagi seseorang yang kelihatannya seakan berkhianat dan
mengabaikan rasa terima kasih atas kebaikan itu, sesungguhnya rasa terima kasih
alam selalu akan hadir sendiri kelak pada saatnya, sebagai buah Karma yang
menyisakan pujian bagi ia yang dipenuh persembahan kebaikan.”
“Guru,
di sebelah pohon durian ini bertumbuh pohon kedondong. Bukankah buah pohon
durian begitu lembut dan lunak, kenapa kulit buah durian mesti Tuhan buat
berduri menakutkan seperti itu. Dan lihatlah pohon kedondong, kulit buahnya
begitu halus, tapi kenapa isinya malah berserat kasar seperti itu, Guru ?"
"Manu, alam sedang menitipkan pesan
bagimu dalam kehidupan ini. Hati-hatilah menilai baik atau buruk pada
penampilan luar. Kadang orang-orang yang kata-katnya kasar dan menyakitkan, justru
memiliki maksud yang sangat baik dan hati yang sangat lembut. Sebaliknya,
mereka yang kata-katanya halus dan lembut sering malah menyimpan maksud yang
perlu kau waspadai. Belajarlah untuk selalu merasakan hati seseorang dibalik
apa yang dia tunjukkan dengan kata-kata dan perilaku mereka."
“Guru,
lihatlah di kedalaman laut yang sangat gelap, seekor ikan berenang perlahan
memasuki goa batu karang yang menjadi sarangnya. Ia adalah seekor ikan tanpa
mata.
Sungguh
malang nasib ikan itu. Sudah berada di laut terdalam yang gelap dan tak
terjangkau sinar matahari sama sekali, alam ini malah semakin menyiksanya
dengan tidak memberi sepasang mata untuk melihat keadaan di sekitarnya. Ikan
itu pasti sering terbentur batu karang karena hidup tanpa mata di dasar laut
yang gelap seperti itu."
"Manu, ikan itu tidak pernah
menilai alam ini tidak adil apalagi berniat menyiksa ikan itu dengan kondisi
tanpa mata. Di tempat gelap seperti itu, jika alam memberinya mata, apakah yang
bisa ikan tersebut lihat dengan mata itu selain kegelapan juga. Alam telah
memberi ikan tersebut panca indra yang lain untuk beradaptasi dengan lingkungan
agar bisa hidup normal di dalamnya. Apakah saat ini kau sendiri masih sering
menilai kehidupan ini tidak adil bagimu, Manu? Jika demikian, temukan dan pahamilah
skenario keadilan alam ini Manu, maka kau akan melihat keadilan dan cinta kasih
Tuhan bagi dirimu di kehidupan saat ini."
“Guru,
Wildebeest-Wildebeest itu terus berlari dalam kejaran para singa. Sesekali mereka
berbali menghadang dengan tanduk yang tajam dan mematikan. Akhirnya, mereka hanya
terdiam saat menyaksikan salah satu diantaranya berhasil dimangsa para singa.
Akhirnya mereka menyerah juga, Sudah takdir mereka menjadi mangsa singa di alam
ini. Kenapa Wildebeest-wildebeest itu tidak menerimanya dengan ikhlas saja tanpa
perlawanan, Guru ?"
"Manu, menerima suatu peristiwa dengan
ikhlas bukanlah berarti berdiam diri dan menyerah begitu saja. Berusaha
menemukan solusi tanpa mengeluh dan tidak menyalahkan siapa pun atas peristiwa
yang menimpamu itulah penerimaan ikhlas. Selebihnya, caramu beradaptasi
menghadapi masalah kehidupan itulah yang akan membuatmu berhasil melewati
seleksi di alam ini. Kita semua sedang diseleksi oleh alam ini Manu. Siapa yang
berhasil menjaga diri dan menjadi lebih baik bagi alam ini, merekalah yang
selamat."
“Guru,
Sisa air terakhir sebentar lagi menguap oleh teriknya kemarau panjang di Delta
Okavango di gurun Botswana Afrika. Langit memang cerah, tapi menggerahkan.
Hewan-hewan dan padang rumput disana mulai resah menanti hadirnya kegelapan di
langit. Dan manakala awan-awan gelap mulai menampakkan diri memenuhi langit
semua wajah menyiratkan kegembiraan, hujan deras turun menyegarkan gurun.”
"Lihatlah, Manu. Tak selamanya
kegelapan yang menyelimuti langit itu bermakna duka nestapa. Tak selamanya pula
langit cerah itu bermakna kebahagiaan. Langit sedang mengajari kita untuk
berhati-hati menilai, karena putih tak selamanya suci dan hitam tak selamanya
noda. Semua ditentukan oleh apa yang ada dibaliknya."
"Guru,
kenapa begitu sulit menyembuhkan luka hati ini? Semua upaya menghibur diri
seakan tidak berguna."
"Manu, bahkan luka di kulit tubuhmu
tidak akan mudah sembuh jika tidak menjaga kebersihannya. Apalagi jika kau
malah mengijinkan berbagai kotoran berkuman menempel padanya, maka dia menjadi
luka yang kian sulit disembuhkan."
"Begitupun luka batin. Bila kau
tidak menjaga kebersihan hatimu yang luka itu dari berbagai pikiran yang kotor
oleh kegelapan ego negatif, apalagi mengijinkan berbagai virus akal budi
memasuki batinmu, niscaya kian sulitlah ia tersembuhkan."
"Rasa sakit hati menghadirkan
kemarahan, kemarahan menumbuhkan kebencian, kebencian menciptakan dendam, dan
dendam akan memelihara rasa sakit itu di dalam."
"Lepaskan segala ingatan yang telah
melukai batinmu, lalu masukkan pengetahuan tentang kebenaran Karma atas
peristiwa menyakitkan yang telah kau alami, hingga kau bisa ikhlas menerima
kejadian itu dan mengijinkan rasa sakit itu berlalu. Keikhlasan menerima dan
melepas rasa sakit, memudahkan kesembuhan batin yang terluka, Manu."
"Guru,
ajarkan aku cara ikhlas menghadapi seseorang yang begitu membenciku. Ajarkan
pula aku mengubahnya agar ia berbalik menyukaiku."
"Manu, saat orang membenci bagian
dari dirimu, bagian sari sifat, kata-kata atau tindakanmu, sesungguhnya ia
sedang menunjukkan dengan cara itu bahwa ia merindukan dan mencintai sisi lain
dari dirimu, yaitu kebaikan."
"Karena ia mencintai sisi yang
disebutnya sebagai kebaikanmu, bukankah tidak layak untuk membenci mereka? Ada
yang lebih indah untuk dilakukan. Cobalah renungkan sikap mereka dan
berbenahlah bila itu membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik."
"Dan bila kau ingin mengubahnya
menjadi menyukaimu, tiada jalan lain kecuali memancarkan cahaya terang cinta
kasihmu padanya. Karena tak ada kebencian bisa diubah dengan kebencian, kecuali
dengan cinta kasih."
“Guru,
lihatlah di masa menjelang kematiannya, pohon-pohon tua yang merangas ini masih
mencoba tegar berdiri untuk setidaknya menjadi penuntun dan dahan pelindung
bagi para pendaki yang menapak jalan menuju puncak. Apa yang dapat saya
pelajari disini Guru ?
"Manu, akankah dalam masa tuamu
kelak, saat tubuhmu kian rapuh dan lemah, setidaknya ketegaran hati dan
kebijaksanaan pikiranmu masih bisa menjadi teladan bagi anak-anak yang akan
menyusuri jalan hidup mereka menuju puncak? Renungkanlah keadaan ini Manu"
Saat terjebak di sebuah ruang dan waktu
kehidupan yang nyaris gelap selama perjalanan usia di bumi ini, kerap kita
lebih berharap pada seberkas cahaya di luar diri yang seakan membahagiakan dan
menggoda untuk ditemui di luar sana. Dan tatkala cahaya di luar itu pun reda
oleh giliran datangnya malam, tidak saja di luar gelap, di dalam pun akhirnya
tambah gelap. Begitu pun gelapnya duka hati di dalam yang mencoba dicarikan
rasa bahagianya semata-mata lewat stimulus di luar diri.
Namun siapa saja menghidupkan cahaya
(Nurani) dalam diri yang selalu menemaninya dari kehidupan demi kehidupan, ia
tak lagi terjebak dalam ruang dan waktu kehidupan yang gelap di dalam atau pun
di luar diri.
“Guru,
lihatlah dituntun oleh nalurinya yang penuh cinta kasih gembala itu menuntun
sapi-sapinya untuk melepas dahaga mereka dengan kesejukan air dan mandi dalam
pancuran kejernihannya. Apa yang dapat saya pelajari disini Guru ? ”
“Manu, begitulah kerap terjadi pada
seseorang yang mengijinkan Sang Gembala (Jiwa) dalam diri untuk menuntun
pikiran yang gerah menjalani kehidupan. Dengan penuh cinta kasih pikiran itu
akan disegarkannya kembali lewat kejernihan dan kesejukan pengetahuan
kebijaksanaan, sebagaimana diajarkan oleh air yang selalu mengalir dalam
keikhlasan Karma menuju samudra kesemestaan, Manu”
"Dalam genangan air yang berlimpah,
kenikmatan itu sesungguhnya hanya ada dalam beberapa teguk penghilang dahaga.
Kecuali jika ingin berendam di dalamnya seperti ikan-ikan -yang mungkin juga
tidak selalu meminum air- sambil berenang riang disana", Akhirnya
sapi-sapi tersebut mesti beranjak juga meninggalkan genangan air berlimpah itu
untuk mengeringkan diri di daratan ”.
"Keberlimpahan materi duniawi mirip
genangan air yang berlimpah itu, Manu. Sesungguhnya kau hanya membutuhkan
secukupnya untuk bisa menghadirkan rasa syukur dalam hidupmu. Kecuali kau ingin
berendam di dalam keberlimpahan itu untuk meriangkan pikiranmu seperti
ikan-ikan yang berenang dalam air. Akhirnya kau mesti meninggalkan juga semua
keberlimpahan itu agar Jiwamu mudah meninggalkan kemelekatan pada bumi ini
ketika saat itu tiba bagimu, Manu."
“Guru,
lihatlah dengan bergegas air itu mengalir menuruni puncak gunung, melewati
bebatuan dan ngarai hingga menciptakan air terjun yang demikian indah. Ia
sedang menuju samudra. Perjalanan panjangnya menuju samudra seperti sedang
menyampaikan pelajaran, apa yang dapat saya pelajari disini, Guru ? ”
"Manu, sekalipun air tersebut turun
di puncak gunung yang tinggi sebagai air hujan yang diberkahkan langit, namun
air tersebut akan terus mengalir menuju samudra yang tempatnya jauh lebih
rendah di lembah sana. Maka jangan pernah berkecil hati Manu, seberapa pun kau
direndahkan oleh lingkunganmu. Sebab, kerendahan hati selalu memanggil berkah
kesejukan alam untuk mengalir baginya. Jangan pula mudah takabur dalam
tingginya posisi kesuksesan duniawi. Sebab kesejukan batin mudah
meninggalkannya sekali pun di posisi itu seringkali berkah kebahagiaan terasa
hadir paling awal. Tetap penuh syukur saat di puncak gunung dan tetap
memelihara kerendahan hati seperti samudra, akan membuat batin dan Jiwamu abadi
dalam kesejukan saat dialiri berkah semesta, Manu. "
“Guru,
lihatlah tidak hanya nyamuk yang gemar mengintai kulit kita saat tertidur,
barisan kutu busuk juga siap menyerbu dari lipatan-lipatan kasur untuk
menikmati darah di balik kulit kita. Guru, untuk apa sesungguhnya alam menciptakan
mereka menjadi mahluk yang mesti hidup dengan menghisap darah di balik kulit
kami saat kami tertidur?"
"Manu, lewat tugas mereka menghisap
darah kalian saat tertidur, mereka sedang disuruh mengingatkan kalian agar tidak
berlama-lama terlena dalam hal apa pun, apalagi tidur dan tenggelam hanya dalam
mimpi-mimpi indah duniawi hingga lupa untuk bangkit dalam kesadaran. Istirahatlah,
tidurlah, nikmati mimpi-mimpi duniawi kalian, tapi jangan sampai terlalu lama
terlena Manu. Karena jika terlalu lama terlena, ada parasit-parasit kemelakatan
yang akan menghisap energi batinmu dan merugikan pertumbuhan Jiwamu."
"Guru,
betapa sulitnya memilih antara mempelajari spiritualitas ataukah menjalani
kehidupan duniawi. Jika belajar spiritual, aku harus tinggalkan kehidupan
duniawi yang menjadi beban perjalanan spiritual. Jika hanya memikirkan
spiritual, hidup duniawiku tidak memadai. Susah sekali memilih satu diantara
keduanya, Guru ".
"Manu, pelajaran spiritual bukanlah
diajarkan untuk mengabaikan kehidupan duniawimu dan pelajaran duniawi bukanlah
diciptakan untuk menghambat perjalanan spiritualmu. Jalanilah keduanya dengan
seimbang, maka kau akan mengerti bahwa kehidupan duniawi diciptakan justru untuk
mematangkan pertumbuhan Jiwamu. Bahagiakanlah hidup duniawi dan matangkan
Jiwamu lewat peran-peran hidup yang kau jalani dengan penuh pembelajaran diri,
Manu ".
“Guru,
suara angin topan ini begitu mengerikan. Derunya seakan menyiratkan besarnya
kehancuran yang akan terjadi. Tapi bagamana burung Perkutut itu yang
bertenggger tenang pada dahan pohon yang bergoyang-goyang keras ditiup angin masih
bisa setenang itu dalam terpaan angin yang keras ini, Guru ? "
"Manu, suara angin ini tidak lebih
mengerikan daripada suara yang keluar dari paru-paru manusia dan berubah menjadi
kata-kata. Lihatlah betapa banyak kehancuran di dunia ini terjadi hanya gara-gara
kata-kata yang manusia ucapkan. Betapa banyak korban Jiwa melayang karena kata-kata
yang dikeluarkan manusia. Maka hati-hatilah dengan kata-kata yang kau ucapkan
Manu, karena itu bisa mendamaikan dengan tutur bahasamu atau bahkan
menghancurkan dirimu dan dunia ini dengan provokasimu. Begitu pun jika kau
takut dan lebih memilih menghindar saat mendengar suara deru angin topan yang
membahayakan, hindarilah mendengar kata-kata yang bisa membahayakan kehidupanmu
lewat provokasimu, Manu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar