Kamis, 23 Juli 2015

SAAT SEMESTA BICARA


"Guru, saya masih bingung bagaimana caranya agar kita bisa ikhlas menerima Karma? Apakah sama seperti menerima dualitas kehidupan? Saya masih belum paham, karena segala dualitas itu kan diciptakan oleh Tuhan. Tapi kenapa pula kita mesti menerima akibat dari Karma itu? Apa Karma itu seperti takdir? Apakah saya bisa merubah Karma?"
"Manu, sebagaimana kau mudah ikhlas menerima rasa pahit setelah mencicipi kopi, rasa pedas karena cabe, atau rasa asin karena garam dan rasa manis oleh gula, begitulah hukum sebab akibat yang mengatur setiap tindakan atau kerja atau Karma di kehidupan semesta ini berjalan apa adanya untuk diterima apa adanya pula."
"Untuk setiap sebab yang kau pilih, sesungguhnya kau telah pula memilih akibat dari sebab itu. Begitulah setiap pilihan Karma akan menyertakan pahala di kemudian hari."
"Maka, entah suka atau duka yang kau alami saat ini sebagai sebuah pahala dalam kehidupanmu, siapakah yang layak kau salahkan?"
"Untuk setiap Karma atau kerja dari pikiran, kata-kata dan perilakumu saat ini, kau sedang menyusun skenario takdir masa depanmu untuk diwujudkan menjadi kenyataan di kehidupan masa depan oleh Sang Sutradara Agung."
"Dan karena Karma adalah pilihanmu sendiri, tentu saja kau bisa mengubah pilihan Karmamu. Namun kau tidak bisa mengubah pahala dari Karma itu. Pahala atas Karma itu hanya bisa kau ubah dalam tingkat rasanya."
"Makin ikhlas kau menerima pahala Karma buruk, makin ringan rasa penderitaannya. Makin lama kau menolak rasa itu, makin berat rasa pahala buruk itu di batinmu."
"Pun demikian dengan pahala kebaikan. Makin mudah kau mensyukuri setiap pahala baik dalam hidupmu, makin mudah kau merasakan kebahagiaan dalam hidupmu."
"Keikhlasan menerima pahala buruk dan rasa syukur untuk setiap pahala baik, adalah kunci kebahagiaan hidup, Manu."

Guru, apakah karma itu selain bisa menimpa diri sendiri apa juga bisa menimpa anak,istri atau keluarga yg kita cintai?
“Manu, ada Karma individual dan ada Karma komunal. Karma individual, siapa memakan cabe akan mendapat rasa pedasnya. Namun siapa memakan durian, sebagian orang-orang di dekatnya akan ikut merasakan aroma durian itu. Efek samping dari karma individual itulah yang ikut dirasakan oleh komunitas dimana orang tersebut berada. Selain itu, hukum Karma juga menjadi penentu skenario masa depan tentang siapa akan menjadi kawan atau keluarga siapa. Karena Karma masa kini juga mempengaruhi dan menentukan skenario masa depan bedasarkan tautan Karma antar individual.”

"Guru, begitu susah rasanya menemukan ketenangan dalam hidupku ini. Seakan ada ribuan hantu hadir di dalamnya untuk selalu mengganggu kenyamananku. Adakah cara untuk melihat wujud hantu-hantu itu? Ajarkan pula aku cara mengusir mereka."
"Manu, ketidaknyamanan dalam hidupmu sesungguhnya lebih disebabkan oleh hantu-hantu dalam dirimu. Wujud mereka adalah kemarahan, dendam, kecemasan pada sesuatu yang tak pasti, kebencian, kesulitan menerima kenyataan hidup, dan berbagai pendaman emosi negatif lainnya."
"Mereka adalah kuasa kegelapan dalam diri. Maka untuk mengusir mereka, nyalakanlah cahaya terang di hatimu dengan pengetahuan dan pemikiran positif. Pikiran, kata-kata dan perbuatan positif adalah doa paling ampuh untuk mengatasi kehadiran mereka."

"Guru, kesabaranku rasanya sudah menjelang habis karena orang-orang yang sikapnya menjengkelkan itu selalu hadir menantang batas kesabaran. Sampai kapan harus kubiarkan mereka mengganggu kesabaranku?"
"Manu, saat kau berharap memiliki pohon yang subur, berbunga indah atau berbuah lebat, maka di akarnya akan ditumpuki dengan sampah atau pupuk dari kotoran."
"Begitulah saat kau berlatih kesabaran, akan didatangkan dalam hidupmu orang-orang menjengkelkan untuk melatih benih kesabaranmu bertumbuh kuat."
"Saat kau berlatih ketulusan dalam bertindak, hadir mereka yang mencela atau meremehkan kebaikanmu. Bila kau berlatih keikhlasan dalam menerima kenyataan, datang orang-orang yang memancing keluhanmu."
"Di tengah latihan kepasrahan, hidup ini bisa membawa berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan bagimu."
"Dari semua cara alam mewujudkan keinginanmu menjadi pribadi yang sabar, ikhlas, tulus, pasrah, maka hanya yang waspada dan menerima prosesnya yang akan mencapai dan merasakan manfaat dari semua itu."
"Siapa yang tahan melewati bergulirnya kegelapan dan dingin malam, akan disapa terang dan kehangatan matahari pagi, Manu."

"Guru, menyakitkan sekali rasanya mendengar orang-orang menjelek-jelekkan diri kita atau keluarga kita. Kenapa mereka lebih melihat kekurangan daripada kelebihan? Ajarkan aku menghadapi situasi ini agar lebih tenang."
"Manu, ada dua cara orang untuk mengagumi kelebihan dan kebaikan kita. Ada dengan cara memuji kelebihan dan kebaikan kita, karena ia dibimbing oleh ego positifnya. Ada pula yang mencela sisi kelemahan, kekurangan dan keburukan kita, karena ia dibimbing oleh ego negatifnya."
"Dengan memahami cara mereka yang mencelamu, kau akan mengerti bahwa mereka yang mencela sesungguhnya hanya tidak ingin memuji kebaikanmu."

"Guru, bagaimana mesti menghadapi orang yang tidak pernah mau memahami kita dan hanya kita yang diminta memahaminya?"
"Manu, adalah sebuah pencapaian kecerdasan bila kau mampu memahami orang lain. Dan manakala kau mampu membuat orang lain memahamimu, maka itu pun adalah suatu keberhasilan dalam pelajaran berkomunikasi."
"Jadi, apa yang salah bila orang lain tidak memahamimu? Karena itu kesempatan bagimu untuk berlatih komunikasi, hingga orang tersebut bisa simpati bahkan empati padamu."

"Guru, kenapa kita perlu mengenal Tuhan dan ajaran agama lebih mendalam? Bukankah keyakinan hati padaNya dan pada kebenaran ajaran agama saja sudah cukup?"
"Manu, manusia diberkahi pikiran dan hati. Pikiran berguna untuk memahami secara mendalam dan hati berguna untuk memiliki keyakinan yang teguh."
"Keyakinan hati tanpa pemahaman pikiran, mudah menjerumuskan orang pada keyakinan membabi buta, karena gelapnya pikiran oleh ketidaktahuan."
"Sebaliknya, pemahaman pikiran tanpa disertai keyakinan hati akan menjadikanmu seseorang yang dipenuhi pengetahuan namun diliputi berbagai keraguan dalam melangkah."
"Jika kau diberkahi potensi untuk memiliki pengetahuan dan keyakinan, kenapa mesti berhenti pada satu pencapaian? Penuhilah keduanya agar pikiran dan hatimu tidak menjadi berkah yang sia-sia."

"Guru, betapa sulit rasanya melupakan kejadian buruk dan menyakitkan yang pernah datang dalam kehidupanku. Bagaimana aku harus menghadapi semua itu?"
"Manu, bagaimana kau bisa menghadapi apa yang sudah berlalu? Hanya yang ada di masa depanlah yang bisa kau hadapi. Sedangkan semua yang ada di masa lalu itu hanya gelombang listrik yang terkunci sebagai kenangan dalam pikiran."
"Malam akan berlalu digantikan oleh pagi dan siang. Lalu siang pun akan berlalu tergantikan oleh sore dan malam. Gelap dan terang akan selalu datang bergantian. Apa yang perlu kau rumitkan untuk semua yang akan datang dan pergi? Biarkan saja mereka mengalir memasuki dan pergi dari pikiranmu."

"Guru, tidak adakah berkah keajaiban dari semesta ini hingga dengan sekali jentik jari maka semua orang akan berubah menjadi baik?"
"Ada, Manu. Bahkan tanpa perlu menjentikkan jari pun kau sudah bisa mengubah orang menjadi baik. Kekuatan ajaib yang telah diberkahkan bagimu oleh semesta ini bukanlah jentikan jarimu, melainkan jentikkan pikiranmu."
"Maka jentiklah pikiranmu agar ia bisa melihat hal-hal baik pada diri setiap orang, pada sikap dan tindakan yang mereka lakukan. Jika kau bisa melakukan itu dan melihat kebaikan pada mereka, itu pertanda kau telah berhasil menggunakan keajaiban pikiran yang telah diberkahkan bagimu."
"Namun jangan lupa, setiap berkah keajaiban memiliki tanggungjawab dan risikonya."

"Guru, saat kita menghadapi masalah dalam kehidupan, ada yang menyarankan kita untuk lebih memilih mengadu pada Tuhan daripada kepada teman. Bukankah Tuhan tidak pernah memberi kita jawaban atau solusi, sedangkan teman bisa langsung memberi kita jalan keluar?"
"Manu, jika kau mengadukan masalahmu pada teman, mungkin saja mereka akan mengalirkan jawaban yang datang dari pikiran yang jernih atau dari hati nurani mereka yang bijak. Meski seringkali itu terasa bertentangan dengan apa yang sedang kau rasakan."
"Atau bisa jadi mereka malah memberikan jawaban dari bisikan ego dalam diri mereka, yang seringkali terasa menyetujui dan mendukung pembelaan egomu. Akibatnya masalah kian rumit untuk dipecahkan."
"Itu sebabnya kau mesti bijak menyikapi tuntunan solusi yang datang dari seorang teman. Semuanya kembali pada kebijaksanaanmu sendiri."
"Sedangkan jika kau mengadu pada Tuhan, maka kau bebas mengadukan apa pun, meski kau tidak akan mendengarNya berkata-kata padamu. Namun sadarilah, sesungguhnya diamNya itu adalah pesan agar setelah mengadu itu, kau kembali menggunakan senjata terbaik yang diberkahkanNya padamu, yaitu pikiran."
"Maka merenunglah. Gunakan pikiran, akal budi dan kecerdasamu untuk mengamati dengan tenang dan cermat pelajaran kehidupan yang sedang kau alami. Disitu kau akan tahu, bahwa jawaban ada di balik setiap pertanyaan. Jalan keluar ada di balik setiap pintu yang tertutup."

"Guru, kenapa orang-orang selalu menyakitiku, memfitnah bahkan memperlakukanku dengan sikap yang buruk?Bagaimana agar mereka tidak melakukan seperti itu padaku?"
"Manu, jika kau lebih suka menunjuk orang lain lebih dulu atas apa yang kau alami, dengan bertanya kenapa mereka memperlakukanmu seperti itu, dan bukannya bertanya kenapa kau diperlakukan demikian oleh mereka, maka kau akan mendorong pikiranmu untuk terus mencari penyebabnya pada diri mereka."
"Lalu lihatlah, kau pun akan menghabiskan energi untuk mencoba mencari jalan agar mereka mengubah sikap terhadapmu. Akhirnya kau kelelahan sendiri dan semakin tersakiti oleh kegagalanmu mengubah banyak orang."
"Tapi cobalah bertanya kenapa aku diperlakukan demikian oleh mereka. Maka kau akan didorong untuk mencari hal-hal dalam dirimu yang layak kau perbaiki agar mereka berubah sikap menjadi lebih baik padamu."
"Sesungguhnya, semua suka duka kehidupanmu berawal dari dirimu sendiri, Manu."

"Guru, kenapa begitu sulit untuk belajar mencapai keikhlasan hati saat menghadapi kenyataan hidup yang begitu pahit dan menyakitkan ini? Apalagi bila itu disebabkan oleh sikap atau tindakan orang lain?"
"Manu, jika keikhlasan hati dimiliki tanpa perlu proses pembelajaran yang serius, maka sia-sialah kehidupan ini ada sebagai ruang pembelajaran menerima pahala Karma masa lalu."
"Jika dengan mudah kau menerima dengan tenang rasa sakit yang disebabkan oleh orang lain, maka kau tidak akan mengerti seperti apa rasa sakit yang pernah kau sebabkan pada orang tersebut di masa lalu."
"Keikhlasan baru akan tercapai saat kau berhenti menyalahkan orang lain, berhenti menyalahkan diri sendiri, lalu belajar mencermati pembelajaran di balik semua peristiwa dan keadaan hidupmu yang pahit serta menyakitkan itu."

Guru, di zaman sekarang jika kita membela perbuatan baik sering mendapat cibiran dan kadang kala fitnahan yang menyakitkan hati..kadang orang lain yang tahu bahwa hal yang kita bela itu benar malah diam membisu, bagaimana bisa hati kita menerima bahwa itu salah, tidakkah itu mebuat hati kita terkucil, akankah kita terus menyalahkan diri kita dengan alasan salah tempat dan salah waktu serta salah orang ?
“Manu, jika kita mencoba membela suatu tindakan yg baik, lalu kita merasa tersakiti oleh sikap orang2 yang tidak setuju terhadap kebaikan tersebut, maka layaklah kita merenung ulang, sudah siapkah kita membela kebaikan itu? Karena seorang pembela tentu memiliki hati yang lebih tegar, tenang dan kuat terhadap apa pun dibanding orang yang dibelanya. Inilah pembelajarannya.”
“orang yang belum belajar akan cenderung menyalahkan orang lain. Mereka yang sudah mulai mau belajar akan mulai melihat kesalahannya sendiri untuk diperbaiki. Tapi bila sudah berhasil belajar, akan berhenti menyalahkan siapa pun.”

"Guru, kenapa kita diajarkan untuk selalu memancarkan sifat-sifat Jiwa dan berjalan dalam peran di kehidupan ini sesuai panggilan Jiwa?"
"Manu, radio yang tidak mampu menyiarkan siaran radio, maka alat itu mungkin rusak atau mati. Televisi yang tidak memancarkan siaran dari stasiun-stasiun yang ada, mungkin juga sedang rusak atau mati."
"Dan manusia yang tidak memancarkan sifat-sifat Jiwanya, tidak pula memancarkan sifat-sifat Ketuhanan dalam dirinya, keadaan mereka serupa dengan semua alat-alat itu, Manu."
"Itu sebabnya kau diajarkan untuk melakukan segala peranmu sepenuh Jiwa dan sejalan dengan sifat setiap Jiwa manusia yang sesungguhnya adalah sumber kebaikan di bumi ini."

"Guru, kenapa orang-orang lebih suka melihat dan menilai kesalahan, kelemahan dan kekuranganku? Bagaimana caraku membalas rasa sakit oleh sikap mereka itu?"
"Manu, jika mereka suka melihat kesalahanmu, itu karena mereka dikirim alam untuk memacumu memperbaiki diri. Mereka suka melihat kelemahanmu agar kau terpacu untuk bangkit menguatkan diri. Dan mereka suka menunjukkan kekuranganmu agar kau bergegas melengkapinya dengan kelebihanmu."
"Maka cara terbaik untuk membalas kebaikan mereka yang tak kau sadari itu adalah memperbaiki diri, mengatasi kelemahanmu serta melengkapi kekuranganmu dengan banyak belajar lagi."
"Tak ada anak rusa yang tumbuh menjadi rusa dewasa bila tak pernah berhasil meloloskan diri saat dikejar oleh singa."

"Guru, ribuan tahun agama-agama telah mengajarkan bahwa Tuhan itu dimana-mana. Tapi tak seorang pun menjelaskan cara melihat-Nya dimana-mana. Lalu bagaimana caranya, Guru?"
"Manu, mereka yang tak pernah menyelami samudra atau mengetahui apa yang ada dalam samudra, hanya akan melihat hamparan air dan ombak pada samudra itu. Tapi ia yang pernah menyelaminya, akan mudah melihat dengan mata hatinya betapa keindahan samudra itu sungguh ada."
"Maka menyelamlah ke dalam samudra pengetahuan dalam dirimu sendiri. Saat kau melihat keindahan dan keajaiban bersemayam disana, kau akan melihat hal yang sama di luar dirimu."
"Melihat Tuhan dimana-mana tidak bisa kau lakukan dengan lebih dulu memakai mata inderamua. Lihatlah Tuhan dengan mata pengetahuan lebih dulu, baru dengan mata fisik. Setelah itu kau akan mengerti, kemana pun mata inderamu menatap, kau akan melihat-Nya disana dengan mata pengetahuanmu."

"Guru, bagaimana mungkin kita akan merasa lebih bahagia jika bisa membahagiakan orang lain lebih dahulu."
"Manu, lihatlah sekuntum bunga bertumbuh menjadi buah ranum yang dikagumi orang karena dengan harumnya ia pernah memanggil lebah dan kupu-kupu untuk dibahagiakan dengan nektarnya."
"Setelah menjadi buah, ia membahagiakan kelelawar dan burung-burung yang menikmati dagingnya. Dan lihatlah, kelelawar itu membawa bijinya pergi untuk tumbuh di tanah yang lain, hingga menjadi pohon yang berbuah lebih banyak lagi. Dan ia pun makin dikagumi karena limpahan buahnya."
"Itulah hukum alam, Manu. Kecerdasan Semesta Tak Terbatas sudah mengatur alam ini sedemikian sempurnanya."

"Guru, saat duka dan kesedihan datang dalam kehidupanku, betapa sulit rasanya melepaskan hal itu, apalagi dengan menangis, karena katanya tangis adalah simbol kelemahan Jiwa. Lalu apa yang harus kulakukan, Guru?"
"Manu, tangis adalah ekspresi alami untuk melepas beban batin. Dengan air mata itu, Jiwa sedang mengingatkanmu untuk membersihkan mata hati, agar kau bisa segera memandang kejadian duka itu dengan lebih jernih hingga tampak makna positif di baliknya."
"Dan tangis bukanlah simbol kelemahan. Kekuatan hati seseorang bukan ditunjukkan oleh tangis yang disembunyikannya saat duka, melainkan seberapa cepat dia bangkit kembali saat duka itu menghampiri hidupnya."

"Guru, kadang benci rasanya dengan kemarahan yang muncul dalam diri, karena rasanya malah menyakiti diri sendiri. Kenapa kemarahan itu bisa muncul pada seseorang atau pada kejadian yang tidak menyenangkan? Berikanlah aku mantram khusus untuk menetralisir kemarahan itu."
"Manu, hindari memiliki kebencian pada kemarahanmu sendiri, karena kemarahan itu adalah bagian dari diri setiap orang."
"Kemarahan ada untuk sebuah tujuan kebaikan. Namun bila kemarahan itu mendatangkan hal buruk, itu hanyalah karena kau tidak bisa memanfaatkan dan menunjukkan kemarahan dengan cara yang baik dan waktu yang tepat."
"Bila kemarahan justru makin menyakitimu karena tak bisa kau salurkan dengan baik, maka katakanlah mantra ini pada dirimu sendiri; "Ah, sudahlah. Semua peristiwa pada akhirnya bertujuan baik padaku."

"Guru, kenapa hidupku masih dikunjungi penderitaan, padahal aku sudah terus berbuat kebaikan. Kapan pahala baik akan hadir membahagiakan hidupku?"
"Manu, bahkan mendung gelap masih menyelimuti langit dan siap menurunkan hujan, padahal ini sudah memasuki musim kemarau. Sebab langit masih menyimpan sisa uap air yang terkumpul di musim kemarau lalu."
"Begitu pun duka kehidupan masih mungkin memasuki kehidupanmu, meski kau sudah banyak melakukan kebaikan, karena sisa pahala buruk masa lalu masih tersisa dalam skenario kehidupanmu di bumi ini."
"Tapi bila musim kemarau sudah benar-benar tiba, mendung gelap akan sulit hadir menutupi langit dan hujan sulit pula turun ke bumi. Begitu pun saat episode indah kehidupanmu benar-benar tiba, semua kemalangan akan sulit datang. Bersabarlah."

"Guru, dengan segala kata-kata dan sikapnya yang menyakitkan hati ini, orang itu seakan merasa puas dan menemukan kebahagiaannya di atas penderitaan batinku. Bagaimana aku mesti menghadapi orang seperti ini?"
"Manu, manakah yang lebih mulia bagimu, menjadi orang yang menemukan kebahagiaan dengan mengorbankan perasaan dan batin orang lain, ataukah menjadi seseorang yang mengijinkan batin dan perasaannya tersakiti demi memberi rasa puas dan kebahagiaan pada mereka, yang sesungguhnya dihadirkan alam untuk menjadi guru sejati demi melatih kesabaran dan kekuatan batinmu?"
"Ia yang sabar melewati gelapnya malam, akan diberkahi melihat indah dan hangatnya cahaya matahari pagi, Manu"

"Guru, apa ciri-cirinya bila seseorang melakukan suatu kebaikan pada kita dengan begitu tulus dan datang dari kedalaman Jiwanya?"
"Manu, saat itu terjadi kau akan kehilangan kata-kata, karena ribuan terima kasihmu bahkan kau rasa tak akan cukup mewakili perasaan yang dialami oleh Jiwamu."

"Guru, bagaimana menghadapi seseorang yang selalu membuat panas hati kita dengan kata-katanya, hingga benih-benih kesabaran kita terus menguap dan membuat kering hati kita?"
"Manu, lihatlah matahari bersinar selama musim kemarau. Panasnya menguapkan benih-benih air di bumi. Tapi dengan kesabarannya, bumi akhirnya menjadi sejuk kembali saat benih-benih air yang menguap itu terkumpul di langit dan kelak menjadi tetesan hujan."
"Begitulah jika kau dengan sabar mengumpulkan benih-benih kesabaranmu yang menguap oleh kata-kata atau sikap orang lain yang memanaskan hatimu. Kelak saat benih-benih kesabaran yang terkumpul di langit pikiranmu bisa kau jadikan sebuah pemahaman akan kebenaran, maka pemahaman itu akan menjadi tetesan kesadaran yang menyejukkan kembali hatimu."

"Guru, begitu banyak tekanan dan masalah yang masuk dalam kehidupanku. Bagaimana aku menjalaninya?"
"Manu, tidakkah kau tahu bahwa berlian yang begitu berharga itu tercipta dari ketegarannya menghadapi tekanan yang begitu keras?"
"Maka biarlah kehidupan ini menempamu dengan tekanan dan berbagai masalah. Jika kau tegar dan belajar melewatinya, kau akan menjadi berlian yang berharga."

"Guru, apa yang harus kulakukan untuk membalas setiap kebaikan yang dilakukan seseorang padaku? Bila balasan kebaikan itu pun bahkan tak mampu mewakili rasa terima kasih yang kurasakan atas kebaikannya."
"Manu, untuk setiap kebaikan yang dilakukan dari ketulusan Jiwa hingga menyentuh keharuan Jiwa, sesungguhnya orang itu sedang melakukan kebaikan pada Tuhan sendiri sebagai Jiwa Semesta yang menjiwai setiap mahluk."
"Maka dengan cara Tuhan sendiri Tuhan akan membalas kebaikan itu bagi Jiwanya kelak bila saat itu telah tiba baginya."

"Guru, jika Tuhan memang ada dimana-mana, kenapa begitu sulit bagiku menjumpai Tuhan? Bahkan tak seorang pun berani menyatakan dirinya telah menjumpai Tuhan."
"Manu, jika kau mencari Tuhan dengan pikiranmu, maka lihatlah Tuhan dimana-mana sebagai pengetahuan yang mewujud dalam setiap ciptaan Tuhan."
"Jika kau mencari Tuhan dengan hati, maka rasakanlah dengan hatimu bahwa Tuhan telah ada dimana-mana dalam wujud Tuhan sebagai cinta kasih, yang bersembunyi dalam setiap suka atau duka kehidupan yang kau lalui."
"Tuhan adalah pengetahuan yang menjiwai setiap wujud, dan Tuhan adalah rasa yang meresap ke dalam setiap peristiwa."

"Guru, rasa bersalah ini justru begitu menyiksa batinku. Apakah ini alasan kenapa banyak orang tidak mau disalahkan?"
"Manu, rasa bersalah akan menjadi benih ketersiksaan batin bila ia hanya dijadikan sumber penyesalan dalam hidup. Namun rasa itu akan menjadi berkah yang bermanfaat bila kau menjadikannya alasan untuk memperbaiki diri di masa depan."
"Banyak orang tidak mau mengakui kesalahan karena alasan pertama tadi."

"Guru, dengan begitu banyaknya ajaran dan pengetahuan spiritual, manakah jalan spiritual yang harus kupilih agar sampai di tempat yang sejati?."
"Manu, setiap sungai yang benar akan membawa air menuju samudera yang luas. Begitu pun jalan-jalan spiritual. Semestinya jalan itu akan membawa Jiwamu pada kebebasan dari keterikatan."
"Membawa pikiranmu pada pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas. Membawa kesadaranmu pada puncak yang bisa membuatmu melihat dengan wawasan yang lebih menyeluruh."
"Bukankah akan lebih membahagiakan bila kita bisa memasuki ruang yang lebih luas dan lapang daripada ruang sempit yang membuat kita tidak bisa bergerak dengan bebas?"

"Guru, ajarkan padaku apa yang harus kulakukan agar mendapatkan pengetahuan kehidupan ini lebih banyak."
"Manu, tubuh akan mendapatkan makanan berenergi dan bernutrisi hanya jika mulutnya ikhlas membuka untuk dimasuki makanan"
"Begitu pun pikiran baru akan mendapatkan banyak pengetahuan bila ia ikhlas membuka diri demi masuknya pengetahuan-pengetahuan bermanfaat baginya."
"Jiwa pun akan mendapatkan banyak cinta kasih bila seseorang ikhlas membuka hati bagi kebaikan yang datang dari kehidupan ini."

"Guru, ajarkan aku pengetahuan tentang Manunggaling Kawulo Gusti. Bagaimana cara mencapai penyatuan itu?"
"Manu, kawulo adalah abdi, tugasnya adalah melayani Gusti atau tuannya. Saat abdi harmonis dalam segala rasa dengan Gustinya, itulah Manunggaling Kawulo Gusti."
"Tubuhmu adalah kawulo bagi pikiranmu. Semestinya tubuh dan pikiranmu menyatu. Tubuh mengikuti perintah pikiran, dan pikiran memahami kebutuhan tubuh. Bila tubuhmu menolak kehendak pikiran, atau pikiran tidak mau memenuhi kebutuhan tubuh, kawulo-Gusti itu sedang tak selaras dalam dirimu."
"Di sisi lain, pikiran adalah kawulo bagi Sang Jiwa, pemilik semesta kecil atau tubuhmu itu. Bila pikiran sebagai abdi dari Jiwa tidak mau menjalankan perintah kebenaran Sang Jiwa, malah lebih cenderung mengikuti bisikan-bisikan pembenaran dalam diri, itu bukanlah Manunggaling Kawulo Gusti antara pikiran dan Jiwa. Namun kapan pikiran mau mengikuti tuntunan nurani, perintan Sang Jiwa, lalu menggunakan tubuh untuk kepentingan Sang Jiwa, saat itu kau mengalami manunggaling."
"Lalu Jiwa dalam tubuh atau semesta kecilmu itu adalah kawulo dari Jiwa Semesta Raya, Tuhan. Bila kau sebagai Jiwa dalam semesta kecil ini tidak memainkan peran dan tugas kehidupan sejalan dengan tuntunan Sang Jiwa Agung, saat itulah kau belum manunggal dengan Gustimu."
"Demikianlah ajaran Manunggaling Kawulo-Gusti, selarasnya tubuh dan pikiranmu, pikiran dan Jiwamu, serta Jiwamu dengan Sang Jiwa Agung."

"Guru, Bagaimana Tuhan mengijinkan diri ini berjumpa dengan wujud keMaha pemurahan Tuhan, wujud cinta kasih Tuhan, wujud tuntunan Tuhan, dan segala wujud kemahaan Tuhan ?"
"Manu, jika bagimu Tuhan maha pemurah, maka lihatlah mereka yang hatinya pemurah dan tangannya begitu ikhlas memberi. Karena mereka adalah tangan dan hati yang Tuhan pilih untuk menunjukkan kemurahan Tuhan padamu."
"Jika bagimu Tuhan maha penyayang dan sumber cinta kasih, maka lihat dan rasakan Tuhan menyayangi dan mengasihimu lewat sikap setiap orang yang mengasihimu dan penuh kasih pada kehidupan ini."
"Jika bagimu Tuhan maha penuntun, maka lihatlah Tuhan menuntunmu lewat orang-orang yang menjagamu tetap ada di jalan kebenaran dan kebaikan."
"Jika bagimu Tuhan adalah sumber kesabaran, maka lihatlah Tuhan mengutus orang-orang yang menyakiti hatimu untuk melatih kesabaran, keteguhan dan ketulusanmu mempelajari suka duka kehidupan ini."
Jika bagimu Tuhan adalah yang memberi hidup pada setiap yang hidup, maka lihatlah olehmu Tuhan ada dimana-mana di setiap kehidupan.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Pencipta, maka lihatlah Tuhan dimana-mana sedang melakukan penciptaan.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Waktu, maka rasakanlah Tuhan sedang menemanimu saat ini dan seterusnya.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Pemelihara kehidupan, maka rasakanlah Tuhan sedang memeliharamu lewat setiap napas yang kau hirup.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Penguasa dan Penentu Takdir, maka sadarilah Tuhan sedang ada di setiap takdir yang kau alami saat ini.
Jika bagimu Tuhan adalah kematian, maka percayalah Tuhan selalu setia menantimu pulang pada saatnya.
Jika bagimu Tuhan adalah pengetahuan, maka lihatlah Tuhan mewujud dalam segala ciptaanNYA.
Jika kau memahami semua ini dan telah menyadari kehadiran Tuhan, kau akan mengerti Tuhan telah, sedang dan akan selalu bersamamu.

"Guru, jika aku adalah apa yang kupikirkan, kenapa tidak semua yang kupikirkan dan kuharapkan tentang diriku menjadi kenyataan dalam hidup ini?"
"Manu, pikiran adalah wujud ide dari sebuah harapan. Kata-kata adalah wujud suara dari sebuah harapan. Dan tindakan adalah usaha mewujudkan harapan tersebut menjadi kenyataan."
"Itulah alasan kenapa pikiran, kata-kata dan tindakanmu mesti selaras dengan apa yang kau harapkan."
"Pikiranmu adalah cahaya. Kata-kata adalah suara. Dan tindakan adalah materialisasi dari semua itu. Seperti itu pulalah alam semesta ini diciptakan menjadi kenyataan. Dari cahaya, suara dan materialisasi isi alam semesta."

"Guru, jika setiap usaha atau tindakan semestinya membawa hasil atau pahala, kenapa ada kesuksesan dan kegagalan dalam sebuah usaha?"
"Manu, begitulah setiap Karma atau tindakan memang akan membawa hasil atau pahala. Namun yang menyebabkan perbedaan pada mereka yang gagal dan sukses adalah dari cara pandang mereka."
"Mereka yang gagal akan melihat kegagalan itu sebagai sebuah hasil. Lalu mereka berhenti berusaha karena merasa sudah mencapai hasil akhir berupa kegagalan."
"Sedangkan mereka yang sukses akan melihat kegagalan hanya sebuah proses menuju keberhasilan. Sehingga mereka akan terus berusaha hingga hasil yang diharapkan itu akan tercapai lewat keteguhan mereka berusaha."

"Guru, dalam kisah Mahabharata, Arjuna berhasil bertemu Tuhan dalam wujud pengetahuan yang dialirkan Khrisna. Bima bertemu Tuhan dalam wujud Dewa Ruci. Dan Yudistira bertemu Tuhan dalam wujud Dewa Dharma. Adakah pesan yang ingin disampaikan Rsi Vyasa lewat kisah itu?"
"Manu, Arjuna adalah simbol pikiran, Bima simbol tenaga dan Yudistira simbol hati."
"Jika kau mencari Tuhan lewat jalan pemikiran, maka bukalah pikiranmu lebar-lebar dalam ketulusannya belajar, maka kau akan menjumpai Tuhan sebagai wujud pengetahuan dimana-mana. Jika pikiranmu kau belenggu dalam fanatisme, kau akan sulit menemukan pengetahuan kebenaran sejati."
"Jika kau mencari Tuhan lewat kerja, maka teguhlah dalam kerja penuh pengabdian seperti Bima. Kelak kau akan mengalami perjumpaan kebahagiaan atas pahala kerjamu."
"Dan jika kau mencariNya lewat jalan kebaikan, jadikan kejujuran hati sebagai pemimpinmu seperti layaknya sifat Yudistira. Itu akan membawamu menjumpaiNya dalam wujud Kebenaran Sejati."

"Guru, seorang Rsi Walmiki tentu tidak menggubah kisah Ramayana sebagai sekedar kisah cinta romantis. Apa sesungguhnya makna yang tersirat disana, Guru?"
"Manu, kisah Ramayana adalah kisah diri Sang Rsi. Rama adalah Bapak, simbolis dari Jiwa kita. Shinta adalah Ibu, simbolis dari tubuh kita. Tubuh dan Jiwa adalah pasangan yang abadi selama kehidupan ini ada."
"Namun ada saatnya tubuh kita dirampas oleh sifat-sifat keangkaramurkaan, seperti Shinta yang diculik oleh Rahwana. Akibatnya, tubuh dan Jiwa tidak lagi sejalan, tidak lagi ada dalam kebersamaan. Jiwa menderita karena tidak bisa menggunakan tubuh untuk menjalankan peran kehidupannya. Tubuh menderita karena jauh dari vibrasi cinta kasih Jiwanya, akibat terbelenggu dalam wilayah sifat angkara murka."
"Itu sebabnya, bagi kita semua yang masih terbelenggu dalam sifat-sifat Rahwana dalam diri, agar membantu Jiwa kita merebut kembali kendali atas tubuh ini. Dengan begitu, tubuh kita bisa menjalani kehidupan ini dalam kebersamaan dengan cinta kasih Jiwa serta selaras dengan sifat-sifat Jiwa yang penuh cinta kasih."

"Guru, untuk apa pula mesti merayakan Nyepi? Apalah artinya Nyepi sehari itu bagi keriuhan yang tak pernah henti dalam sisa hari-hari setahunnya?"
"Manu, saat Sang Waktu menghentikan sejenak riuhnya pertikaian panjang antara Pandawa dan Korawa di Kuruksetra, dalam keheningan dan kepasrahan Arjuna di masa jeda sesaat itu, dengarlah betapa banyak pengetahuan rahasia dialirkan oleh Khrisna kepada Arjuna."
"Tubuhmu adalah Kuruksetra, tempat sepanjang waktu terjadi pertikaian antara pembenaran ego positif dan negatif dalam dirimu. Hanya saat kau ijinkan pikiran dan hatimu memasuki keheningan seperti Arjuna kala itu, dari dalam diri akan kau dengar Jiwamu berbisik panjang tentang pengetahuan Kebenaran yang akan menuntun hidupmu."
"Maka seperti kau mengijinkan alam semesta ini kembali pada keheningan dan kemurniannya sejenak lewat Nyepi, ijinkanlah tubuh dan pikiranmu, alam semesta kecil yang kau tempati itu, memasuki keheningan sempurnanya. Dengan begitu kau akan mengerti aliran pesan-pesan Jiwa Agung dalam dirimu."

"Guru, aku selalu diajarkan untuk tidak mencoba menggunakan akal dan logika dalam memahami Tuhan. Tapi aku melihat begitu banyak orang bisa bertindak diluar akal karena keyakinannya. Bagaimana itu, Guru?"
"Manu, kau telah diberkahi intelektual dan kecerdasan akal budi. Gunakanlah itu untuk memahami pengetahuan tentangNya. Karena memahami hakekat Tuhan tanpa kecerdasan akal budi, membuat pikiranmu mudah berjalan dalam gelapnya ketidaktahuan akan Kebenaran. Itulah sebabnya banyak orang lebih berjalan dalam pembenaran mereka."
"Namun saat memasuki keyakinan akan KebenaranNya, hentikanlah logika, akal dan kecerdasanmu yang akan selalu terbatas, karena itulah saatnya kau menggunakan rasa hati, bukan intelektual pikiran."
"Ia yang memahami alasan semesta membekalinya dengan pikiran dan hati, akan mengerti pentingnya pengetahuan dan keyakinan rasa ini, Manu."

"Guru, saat kemarahanku pada seseorang tidak terlampiaskan dan justru kupendam, ia malah menjadi dendam. Namun jika kulampiaskan padanya, maka dialah yang menjadi dendam padaku. Apa yang harus kulakukan agar terbebas dari potensi dendam ini?"
"Manu, kemarahan seringkali datang dari perpepsi yang gelap terhadap sesuatu. Dari kegelapan persepsi muncullah penilaian salah tentang sumber kemarahan itu. Dari penilaian yang salah, kau akan melihat hal yang salah itu sebagai sebuah kegelapan."
"Jika kemarahan yang datang dari kegelapan ini kau pendam ke dalam batin yang juga gelap, tidak terang oleh pemahaman akan hal tersebut, maka tentu saja kemarahan itu akan menjadi dendam, suatu keadaan batin yang makin gelap. Berapa kali pun kau mencoba menggali ingatan akan hal itu, maka kau seperti mengangkat keluar kegelapan yang terkubur dalam kegelapan batin. Itulah sebabnya kemarahan tak akan lenyap dengan memendamnya."
"Namun melampiaskan kemarahan dengan cara yang gelap mata, entah lewat kata-kata ataupun tindakan, tentu saja hanya akan memindahkan kegelapan dari dendam dan kemarahanmu kepada mereka yang menerimanya."
"Pelajarilah kemarahanmu, Manu. Karena kemarahan muncul untuk menjadi bahan pembelajaran bagimu. Selama kau belum memahami dengan benar sifat kemarahan dalam dirimu, ia akan terus muncul untuk memancingmu mempelajarinya dengan seksama."
"Kelak saat kau bisa melihat kemarahanmu dengan terang pemahaman, saat itulah kau akan mampu memendam kemarahan itu ke dalam batin yang terang. Disana ia akan berhenti menjadi bibit-bibit dendam yang gelap."

"Guru, kenapa proses itu sendiri katanya lebih berharga dari pada hasilnya? Bukankah proses tanpa hasil adalah hal yang sia-sia?"
"Manu, bahkan sebuah piala yang bisa kau beli dengan mudah, tidak akan lebih berharga dari piala yang kau dapat dengan proses perjuangan berat dan panjang, bukan?"
"Begitulah sebuah proses akan memberi nilai yang pantas pada sebuah hasil. Proses itulah yang menjadikan berharganya sebuah hasil pencapaian."
"Jika kau memahami hal ini, maka kau akan mengerti bagaimana menghargai dirimu sendiri dan diri orang lain. Karena untuk sampai di titik saat ini, apa pun keadaannya, proses perjuangan panjang melewati berbagai suka-duka kehidupan inilah yang telah menjadikanmu seperti saat ini."
"Hargailah tubuh dan pikiran yang telah mengantarmu sampai disini. Hargai Jiwamu yang telah mencapai diriNya saat ini. Dan hargai semua peristiwa yang telah menempamu hingga hidup sampai kini. Itulah kesadaran akan proses kehidupan."
"Dan pahamilah bahwa tak ada proses yang tanpa hasil, karena setiap titik dalam sebuah proses, adalah pencapaian atau hasil itu sendiri."

"Guru, bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa perbuatan kebaikan akan memberi kita pahala kebaikan pula. Begitu sering aku melakukan kebaikan pada orang lain, tapi orang itu justru membalasnya dengan sikap yang mengecewakan."
"Manu, saat kau melakukan kebaikan pada seseorang, lalu orang itu membalasnya dengan sikap yang tidak baik, sesungguhnya dia tidak sedang membalas kebaikanmu dengan keburukan."
"Justru saat kau berbuat baik padanya di kehidupan saat ini, itu adalah pahala kebaikan baginya karena di masa lalu dia pernah berbuat suatu kebaikan padamu."
"Bahwa kemudian dia membalas kebaikanmu dengan keburukan, itu bukanlah suatu suatu pahala buruk atas kebaikanmu padanya."
"Sesungguhnya itu adalah tindakan atau Karma baru yang dia lakukan saat ini untuk kelak dia terima pahalanya di masa depan. Dia akan menerima pahala tersendiri atas sikap buruknya itu."
"Sebaliknya, jika kau membalas sikap buruknya itu dengan melakukan tindakan buruk yang baru padanya, maka kelak kau sendiri akan mengalami pahala buruk atas tindakan pembalasanmu itu."

"Guru, andai aku bisa bertemu dengan keajaiban karya cipta Tuhan, maka aku akan yakin bahwa apa pun bisa terjadi atas kehendak tuhan."
"Manu, bila bagimu keajaiban itu adalah menjadikan ada dari sesuatu yang tiada, maka dengarlah."
"Dari dua titik materi alam semesta yang bahkan lebih kecil dari debu, Tuhan pernah menyatukan keduanya menjadi benih yang perlahan-lahan membelah dan terus menyerap benih-benih materi dan energi alam semesta lainnya, hingga benih kecil itu menjadi tubuh mahluk hidup."
"Dari benih sekecil itu Tuhan menjadikan sebagian darinya sebagai mata yang bisa melihat, telinga yang bisa mendengar, kulit yang bisa merasakan. Bahkan dari materi itu Tuhan menciptakan otak yang bisa memikirkan masa lalu, masa kini dan masa depan."
"Dengan pikiran dari kerja otak itu, Tuhan membuat mahluk itu bisa terbang seperti burung, menyelam seperti ikan-ikan, berlari melebihi kijang."
"Lihatlah tanganmu. Ia bisa memegang benda yang besar hingga yang kecil. Dari yang kasar hingga yang halus. Tanganmu bisa melakukan berbagai hal yang rumit. Tidakkah kau melihat segala keajaiban itu ada pada tubuhmu?"
"Tuhan telah lama memberikanmu keajaiban karya cipta Tuhan. Kau hanya terlalu lama meremehkannya, hingga masalah-masalah kehidupanmu kau sangka lebih besar dari keajaiban tubuhmu untuk mengatasinya."

"Guru, Berpikir atau berbicara untuk menjadi bahagia atau sabar dalam segala keadaan, rasanya begitu mudah. Namun saat masalah datang, semua itu menjadi sulit untuk diwujudkan. Kenapa kesulitan itu mesti ada, Guru?"
"Manu, saat kau menginginkan makanan dengan rasa yang enak, dengan mudah kau memikirkan atau memintanya. Namun, bukankah saat mewujudkan hal itu pun tidak semudah yang kau bayangkan?"
"Dibutuhkan bahan-bahan makanan yang baik dan bumbu yang tepat. Diperlukan pula tukang masak yang berpengalaman. Dan setelah siap tersaji, kau pun mesti memiliki kondisi yang sehat untuk bisa mengunyah dan menikmati rasa lezat makanan itu."
"Gigi geligi yang sehat, lidah dan rongga mulut yang sehat, pencernaan yang sehat, dan berbagai persiapan lainnya, hanya untuk bisa menikmati rasa makanan itu. Namun kenapa situasi dan persiapan rumit seperti itu tidak kau rasakan sulit?"
"Kesulitan ada karena kau lebih memikirkan kesulitannya daripada menjalani dengan ikhlas bersama segala prosesnya."

"Guru, beban batin dan masalah dalam hidup ini tak kuasa lagi kutanggung. Salahkah jika aku pergi saja meninggalkan dunia ini? Toh semua orang akan mati juga. Aku ingin bebas dari segala penderitaan ini."
"Manu, pergi meninggalkan kehidupan ini dengan maksud membebaskan diri dari masalah dan penderitaan batin, adalah pilihan yang sia-sia. Sebab pilihan cara itu justru membawa Jiwamu pergi bersama penderitaan dan masalah-masalahnya."
"Dan saat kesadaran muncul, penyesalan tiada guna lagi bagimu karena kau tak mungkin kembali dalam tubuh yang sama."
"Lebih dari membawa beban penderitaan itu ke alam kematian, kau pun justru meninggalkan masalah dan penderitaan bagi orang-orang yang kau tinggalkan. Lalu dimana guna kematianmu?"
"Jika rumah kehidupanmu dimasuki kegelapan, pergilah ke tempat yang lebih terang. Itu lebih bermanfaat daripada mengikuti bisikan kegelapan dari dalam dirimu."

"Guru, di satu sisi kau mengajarkanku untuk menerima segala dualitas. Namun di sisi lain kau mengajarkanku untuk memilih hanya menjalankan sifat-sifat baik, memilih fokus hanya pada hal-hal indah agar hidup ini terasa indah untuk dijalani. Bukankah itu berarti aku harus menolak hal-hal negatif?"
"Manu, menerima dualitas dan memilih hanya salah satunya, bukanlah berarti kau harus menolak hal yang satunya. Jika kau menolak salah satunya, bagaimana kau akan memilih satu di antara dualitas itu?"
"Menerima dualitas artinya menyadari bahwa kedua hal berbeda dalam kehidupan ini adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Keduanya harus diterima dengan ikhlas tanpa kebencian pada salah satunya. Namun kau harus memilih salah satunya untuk menjadi bagian dari dirimu."
"Setiap pilihan mengandung risiko. Pilihan pada sisi negatif membawa pada efek rasa negatif. Pilihan pada sisi positif membawa dampak positif. Itulah hukum kerja atau Karma, Manu. Maka pilihlah yang satu tanpa membenci yang tidak kau pilih."

"Guru, kenapa perjalanan dalam hidup ini mesti diisi berkah dan bencana? Jika Tuhan maha penyayang, bukankah mestinya hidup ini hanya berlimpah berkah?"
"Manu, setiap peristiwa dalam kehidupan itu sesungguhnya netral dan memang demikian adanya. Persepsi pikiranmu kemudian menamainya berkah dan bencana, sesuai kepentinganmu."
"Coba renungkan pilihan ini, Manu. Manakah yag lebih baik, sehari tanpa kemarau ataukah sehari tanpa hujan? Lewat pertanyaan ini kau akan mengerti bagaimana kemarau dan hujan kemudian kau beri dua penilaian yang berbeda: berkah dan bencana, sesuai kepentinganmu."
"Hanya saat batin seseorang bebas dari kepentingan, saat itu ia bisa melihat netral terhadap sebuah peristiwa."

"Guru, kadang ada orang-orang yang perilakunya kepadaku begitu sulit bahkan tidak mungkin untuk kumaafkan. Apakah itu salah?"
"Manu, jika bagimu Tuhan saja begitu maha pemaaf dan pengampun, bagaimana mungkin kau biarkan dirimu jauh dari sifat-sifat memaafkan?"
"Jika kau sendiri pun seringkali memohon agar kesalahanmu dimaafkan dan diampuni olehNya, bagaimana bisa kau biarkan dirimu lebih tertutup dibanding Tuhan dalam memberi maaf atas kesalahan orang lain?"
"Jiwamu adalah percikan Tuhan. Itu alasan bahwa kau semestinya memiliki sifat-sifat Jiwa yang penuh cinta kasih dan mudah memaafkan orang lain atas kesalahan dan kekhilafan perilaku mereka padamu."
"Ia yang mudah memaafkan, harga dirinyaa tidak akan lebih rendah dari orang yang dimaafkannya. Ia yang mudah meminta maaf, harga dirinya pun tidak lebih rendah dari orang yang memaafkannya. Mudah memberi dan meminta maaf, keduanya adalah cara untuk mengangkat pribadi seseorang menjadi mulia."

"Guru, ajarkan aku cara untuk memahami samudra pengetahuan semesta Tuhan yang tak terbatas itu."
"Manu, sebagaimana samudra menjadi besar karena ia merendahkan dirinya di hadapan sungai-sungai dan danau, maka ia yang ingin memiliki pikiran dan pengetahuan seluas samudra, akan merendahkan hatinya di hadapan sumber pengetahuan dan aliran-aliran pengetahuan yang memasuki kehidupannya."
"Ia akan ikhlas menyatukan segala pengetahuan itu menjadi satu kesatuan pengetahuan semesta. Sebab, pengetahuan universal hanya didapat dengan menyatukan segala versi pengetahuan."

"Guru, engkau selalu mengatakan bahwa penolakan adalah sumber penderitaan dan penerimaan adalah awal kebahagiaan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Manu, saat kau menolak sesuatu, maka kau akan menciptakan pemikiran-pemikiran yang antipati terhadap hal yang kau tolak itu. Antipati akan menghasilkan bibit-bibit kebencian, yang selanjutnya bisa menjadi sumber ketidaknyamanan dalam batinmu. Batin yang tidak nyaman ini kian lama akan menciptakan penderitaan."
"Sedangkan penerimaan terhadap sesuatu akan memunculkan pikiran simpati. Dari pikiran simpati bisa muncul rasa hati yang empati. Simpati dan empati menjadi awal kenyamanan batin. Akhirnya, kenyamanan batin inilah yang akan menciptakan kebahagiaan bagimu."
"Maka amatilah dengan seksama, Manu. Apakah dalam hatimu muncul benih-benih penolakan ataukah penerimaan terhadap sesuatu. Sebab, pilihan sikapmu sendirilah yang kelak menjadi sumber dari penderitaan atau pun kebahagiaanmu sendiri."

"Guru, Saat aku melatih diri dalam kesabaran, selalu saja ada orang-orang dan situasi yang membuat habis kesabaranku. Apa yang mesti kulakukan, Guru?"
"Manu, jangan takut melompat ke dalam air jika kau ingin belajar dan pintar berenang. Jangan takut basah jika kau ingin mandi membersihkan diri."
"Begitu pun saat kau ingin menjadi pribadi yang sabar, jangan menghindar dari hadirnya orang-orang dan situasi yang dikirim alam untuk melatih kesabaranmu."

"Guru, kehidupan ini membuatku putus asa menjalaninya. Bagaimana Tuhan akan menemani dan menguatkanku menghadapi semua masalah ini?"
"Manu, Tuhan ada dimana-mana bahkan dalam setiap napas yang kau hirup. Jika lewat napas itu Tuhan ada dalam dirimu untuk memberi hidup, lalu apa yang mesti kau takutkan?"
"Maka dengan napas itu hidupkanlah tubuhmu dalam kerja, hidupkan pikiranmu dalam pemikiran, dan biarkan Jiwamu hidup dalam semangatnya menjalani kehidupan ini."

"Guru, ajarkan aku menerima pujian dan cemoohan dengan rasa yang sama."
"Manu, saat Jiwa masuk ke dalam tubuh materi, Dia terperangkap dalam dualitas positif-negatif. Segala dualitas menjadi bagian dari dirinya. Itu sebabnya kita memiliki sifat baik dan buruk, kelebihan dan kekurangan."
"Pernah salah pernah benar dalam tindakan. Itulah kesempurnaan pada diri setiap orang, jika kau bisa melihat dan menerimanya dengan cara sama-purna, sama pada akhirnya."
"Dualitas itu pula yang membuat dirimu wajar bila dipuji dan dicemooh, karena kau memiliki kebaikan dan keburukan, kelebihan dan kekurangan."
"Lihatlah pujian sebagai penghargaan atas hal positif yang kau miliki. Karena itu akan memunculkan semangat kebaikan dalam diri. Dan lihatlah cemoohan sebagai pujian atas hal buruk yang masih kau miliki. Karena itu akan menghalangi tumbuhnya sifat yang membawamu pada keangkuhan "
"Dengan cara itu kau akan mengerti bahwa pujian dan cemoohan sama-sama bisa membawamu pada kebaikan di masa depan."

"Guru, masa lalu yang menyakitkan itu telah membuatku trauma menatap masa depan. Bagaimana aku mesti menghadapi hal ini, Guru?"
"Manu, Sang Waktu menciptakan masa lalu bukanlah untuk menjadi penghalang bagi hadirnya masa depan. Masa lalu ada untuk menjadi dasar bagi masa depan yang lebih baik, bukan menjadi lebih buruk."
"Bila masa lalu dipenuhi kegelapan, maka masa depan semestinya hadir dalam kehidupan yang lebih terang, kecuali kau biarkan pikiranmu sendiri terjebak dalam kegelapan masa lalu itu."
"Jika hati dipenuhi kebencian akan penderitaan masa lalu, bagaimana ia akan terbuka untuk kebahagiaan di masa depan?"


"Guru, Saat lidah terasa pahit dan perut tidak nyaman, betapa pun lezatnya makanan, tidak lagi menyenangkan untuk dinikmati. Untuk apa mesti ada kondisi seperti itu dalam tubuh manusia ini, Guru."
"Manu, bila kondisi itu membuatmu tidak nyaman, maka sesungguhnya semesta sedang menitip pelajaran bagimu."
"Bila pikiran dan hatimu kau biarkan terbelenggu oleh praduga yang tidak baik, terjebak dalam rasa curiga oleh asumsi pikiranmu sendiri, maka betapa pun kebaikan sedang dilakukan oleh seseorang atau semesta ini padamu, semua itu tidak akan bisa kau rasakan sebagai hal yang membahagiakan."
"Maka bila dalam segala hal di kehidupan ini membuat batinmu selalu sulit menemukan rasa bahagia dan kegembiraan, periksalah pikiran dan hatimu sendiri. Barangkali ada tabir negatif menutupinya."

"Guru, seringkali ada peristiwa dalam kehidupan ini yang tidak kumengerti kenapa hal itu harus terjadi padaku. Bagaimana sebaiknya aku bersikap atas kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan itu."
"Manu, setiap peristiwa yang menimbulkan tanda tanya dalam pikiranmu, sesungguhnya adalah pelajaran kehidupan yang sengaja dimasukkan dalam skenario hidupmu, agar kau menemukan pesan makna di dalamnya."
"Amati dan pelajarilah agar kau mengerti kenapa hal itu mesti terjadi padamu. Jika kali ini kau sudah menemukan pelajaran karma di dalamnya, maka satu hutang pelajaran kehidupan telah kau pahami."
"Hidup ini adalah ruang dan waktu pembelajaran bagi Jiwamu. Pelajarilah."

"Guru, ajarkan dan berkahilah aku sebuah kekuatan agar aku bisa melakukan suatu keajaiban dalam hidupku."
"Manu, cobalah memaafkan sesuatu yang sebelumnya tak mungkin kau maafkan dalam hidupmu. Saat kau mampu melakukan itu dengan sebuah keikhlasan, maka kau akan merasakan hadirnya berkah kekuatan hati dari Tuhan, yang selanjutnya akan mengalirkan keajaiban-keajaiban dalam hidupmu."

"Guru, jika kehidupan ini hanya ruang dan waktu untuk memainkan peran di bawah arahan Sang Sutradara Agung, lalu apa salahnya Jiwa-Jiwa yang memainkan sisi buruk dan jahat di kehidupan ini?"
"Manu, kehidupan ini sesungguhnya menyediakan berbagai pilihan kesempatan bagi para Jiwa. Ada yang hidup untuk hanya memainkan peran tanpa memahami dirinya. Ada pula yang datang untuk menjalani peran kehidupan sambil mengenali rahasia dirinya. Sebagian lagi memilih sekedar datang di bumi ini untuk belajar mengenal diri tanpa mesti banyak melibatkan diri dalam kehidupan."
"Saat Jiwa ada dalam tubuh tumbuhan atau hewan, seluruh waktunya dihabiskan untuk menjalankan peran alaminya dalam keseimbangan alam. Saat Jiwa ada dalam tubuh manusia, dengan bekal pikiran dan hati itulah mereka memiliki pilihan kesempatan."
"Apakah mereka hanya akan menjadi pemeran dalam keseimbangan alamiah dan terlibat dalam dualitas peran yang ada, atau memilih memainkan peran dualitas sambil bertumbuh dalam kesadaran diri, itu kembali pada kematangan Jiwa itu sendiri."
"Ia yang memilih hanya memainkan peran dualitas kehidupan, ia mesti merelakan dirinya berputar dalam lingkaran Karma-Pahala. Ia yang memainkan peran dualitas sambil menuju kesadaran sejatinya, ia seperti teratai yang tidak basah dan kotor oleh lumpur tempatnya bertumbuh. Tentukanlah pilihanmu, agar tubuh manusia yang kau tempati ini tidak menjadi sia-sia, Manu."

"Guru, Tubuh yang demam ini telah menyakiti seluruh sendi, otot dan kepalaku. Asam arakhidonat yang dihasilkannya begitu mengilukan. Bebaskan aku dari gejala yang menyiksa ini, Guru."
"Manu, saat panas demam pada tubuh itu menyiksamu, kau berusaha keras untuk mendinginkan suhu tubuh agar kepalamu tak terasa sakit lagi. Tapi saat hatimu panas oleh seseorang atau sesuatu dalam kehidupan ini, kenapa kau tidak berusaha menurunkan panas hatimu itu, Manu?"
"Padahal hatimu yang panas itu pun menyakiti kepala dan tubuhmu. Renungkanlah Manu, agar demam tubuhmu tidak sia-sia hadir mengajarimu."

"Guru, semakin tua usia kita, kacamata yang dibutuhkan kebanyakan kacamata plus. Sedangkan makin muda, kacamatanya adalah minus. Apa yang sedang diajarkan oleh mata kita Guru?"
"Begitulah Manu. Tubuhmu sedang mengingatkan agar semakin bertambah umur, makin sering kau menggunakan mata hati untuk melihat hal-hal positif di kehidupan ini. Melihat hal-hal positif pada setiap orang dan pada setiap keadaan. Sebab, di saat remaja sebagian hidup ini seringkali lebih terlihat hal-hal negatifnya."
"Apakah di usiamu kini kau masih lebih mudah melihat sisi negatif daripada sisi positif kehidupan ini, Manu?"

"Guru, ingin rasanya mengetahui seperti apa rasa kebahagiaan sejati itu. Bolehkah aku mengetahui rasa itu, Guru?"
"Manu, saat kau merasakan suatu kebahagiaan yang tak terlukiskan budget kau melihat pancaran mata penuh kebahagiaan pada seseorang yang berhasil kau bahagiakan dengan suatu perbuatan baikmu yang datang dari ketulusan Jiwa, itulah rasa kebahagiaan sejati."
"Sebab, kebahagiaan yang hadir saat ia berhasil membahagiakan Jiwa yang lain lewat ketulusan dari perbuatan baiknya, itulah rasa kebahagiaan Jiwa."

"Guru, ada banyak kekhilafan dan dosa dalam kehidupan yang pernah kujalani. Dengan cara apa aku bisa menjadikan diriku layak untuk menjumpai Tuhan? Aku bukan pula orang suci, bahkan mungkin tak mampu menyucikan diriku dari segala noda kehidupan."
"Manu, seperti saat seorang anak mendatangi Ayah-Ibunya dengan penuh kerinduan, di situlah Ayah-Ibu akan merangkulnya dengan penuh kerinduan dan cinta kasih, seakan tak pernah ada kebaikan atau pun kekhilafan sang anak yang mampu menodai perjumpaan rasa itu, begitulah Tuhan akan memeluk Jiwamu dengan cinta kasih, saat kau mendatangi Tuhan dengan kerinduan sepenuh Jiwa."

"Guru, Betapa pun banyak dan bergunanya suatu nasehat, kenapa itu tidak selalu bisa mengubah seseorang, Guru? Bahkan seringkali nasehat yang baik bisa berujung pada perselisihan."
"Manu, sebanyak-banyak kata kau ucapkan pada seseorang yang sedang tertidur lelap, semua katamu itu akan sirna oleh angin. Hanya saat ia terbangun sendiri atau kau bisa membangunkannya dengan lembut, maka kata-kata atau apa pun yang kau tunjukkan akan mudah dilihatnya."
"Begitulah kesadaran menjadi syarat utama bagi seseorang untuk bisa menerima suatu nasehat. Bila ia belum bangun dan sadar akan kebutuhannya terhadap suatu pengetahuan dalam nasehatmu, maka setiap kata-kata tak akan mampu menyentuh hatinya."
"Bangunkanlah dengan lembut kesadarannya, atau bila kau tidak mampu, sabarlah menunggu hingga ia terbangun sendiri dalam kesadaran itu dan siap menerima masukan darimu."

"Guru, apa salahnya jika aku memiliki dendam pada mereka yang tak pernah menyadari betapa kata-kata dan sikap mereka pernah begitu menyakitkan hatiku."
"Manu, bahkan semua orang yang sakit akan berusaha dengan segala cara untuk menghilangkan penyakit yang bersarang dalam dirinya. Lalu kenapa rasa benci yang menyisakan sakit hati mesti kau pelihara menjadi bara dendam yang terus membakarmu dari dalam?"

" Guru, ajarkan aku jalan untuk bisa menjumpai Tuhan"
"Manu, Tuhan adalah sumber pengetahuan dan cinta kasih. Itu sebabnya Tuhan menyediakan pikiran dan hati sebagai alat bagimu untuk mengantar perjalananmu menjumpai Tuhan."
"Gunakanlah pikiranmu untuk menemukan Tuhan sebagai sumber segala pengetahuan. Saat pikiranmu menemukan Tuhan sebagai pengetahuan yang tak terbatas, kau akan mengerti Tuhan ada dimana-mana sebagai segala ciptaan yang adalah wujud pengetahuan Tuhan."
"Gunakanlah hatimu untuk merindukan perjumpaan rasa dengan cinta kasih Tuhan. Saat hatimu menemukan betapa luasnya cinta kasih Tuhan padamu, kau akan merasakan perjumpaan rasa dengan Tuhan."

"Guru, kenapa begitu sulit mengetahui, mengenal dan menyadari kebenaran sejati itu?"
"Manu, ia yang dibesarkan dengan ajaran yang berisi pembenaran demi pembenaran, yang pikirannya dibatasi oleh konsep-konsep pembenaran yang terbatas, bagaimana ia akan mudah mengenal Kebenaran yang tak terbatas itu?"
"Maka kenalilah dengan cermat setiap pemahaman yang diajarkan padamu. Bila itu membuatmu terbatas dan terikat dalam fanatisme, kau sedang menjauh dari Kebenaran sejati yang tak terbatas itu."

"Guru, salahkah bila saat berdoa aku mengajukan berbagai permintaan pada Tuhan agar diberikan hal-hal duniawi yang kuinginkan? Bukankah semestinya aku hanya melakukan persembahan dalam doa dan tidak meminta apa-apa? Karena katanya mempersembahkan doa demi terkabulnya sebuah harapan, adalah doa yang tidak tulus."
"Manu, apa yang salah ketika yang lebih kecil meminta pada yang lebih besar? Apa yang salah saat yang lebih rendah meminta pada yang lebih tinggi? Bahkan sungai-sungai meminta air dari danau untuk dialirkannya."
"Jika bagimu Tuhan adalah sumber segalanya, lalu apa yang salah saat kau meminta dalam doa-doamu pada Sang Sumber? Bahkan jika kau mempersembahkan seluruh isi alam padaNya, kau mempersembahkan pada pemiliknya sendiri."
"Mintalah padaNya dalam doa-doa. Lalu persembahkan pikiran, kata-kata dan perbuatan yang selaras dengan doa-doamu itu kepadaNya. Dengan begitu akan layak bagimu menerima berkahNya. Sebab, setiap doamu padaNya di luar sana, tak lain adalah doa pada Jiwamu sendiri di dalam."

"Guru, Telah lama aku belajar meditasi, Guru. Mengamati, menyadari, menerima dan mengikhlaskan kemarahan, kesedihan atau emosi negatif lainnya yang pernah muncul dalam diriku. Setelah itu aku menjadi lebih tenang saat mengingat kembali hadirnya emosi tersebut. Namun kenapa ketika aku memasuki lagi masalah yang baru di kehidupanku, emosi-emosi seperti itu tetap saja membuatku gusar? Apakah meditasiku sia-sia, Guru?"
"Manu, jika yang kau amati, terima dan lepaskan dalam meditasimu itu adalah emosi-emosi yang pernah muncul di masa lalu, tentu saja kau hanya akan menjadi lebih tenang terhadap kenangan peristiwa saat emosi-emosi itu muncul. Ketika kau mengalami masalah yang baru, kau akan mudah kembali kepada liarnya emosi."
"Ia yang menjadikan hidup kesehariannya sebagai meditasi itu sendiri, yang selalu mengamati dan menyadari setiap masalah yang muncul dalam hidupnya, lalu hening sejenak untuk merenungkan kebenaran dalam situasi itu, maka dialah yang akan selalu tenang dalam segala keadaan."
"Kehidupan dengan segala permasalahan yang kau hadapi, itulah momen yang paling baik untuk berlatih meditasi, Manu."

"Guru, aku telah meruwat diriku dengan air suci dari berbagai sumber. Tapi kenapa batinku tetap saja seakan ada dalam kegelapan? Aku merasa kekacauan selalu berkecamuk dalam diriku."
"Manu, air akan membersihkan tubuhmu dari kekotoran. Namun kegelapan pikiran dan batinmu akan dibersihkan dan diterangi oleh cahaya pengetahuan. Sedangkan kegelapan yang dirasakan Jiwamu akan dilenyapkan oleh cahaya cinta."
"Maka ruwatlah dirimu dengan air suci, ruwat pikiranmu dengan pengetahuan yang terang dan suci, serta sirami Jiwamu dengan cahaya cinta. Dengan itulah kau akan mendapatkan manfaat ruwatan yang sesungguhnya."

"Guru, Saat aku merasa tidak nyaman dengan keberhasilan yang diraih orang lain, apakah aku tidak berhak memiliki rasa iri dalam hatiku, Guru?"
"Manu, untuk setiap rasa iri yang kau bangun dalam hatimu terhadap keberhasilan atau pencapaian seseorang, saat itu pula kau sedang membangun benih-benih kebencian dan penolakan terhadap suatu keberhasilan yang sama dalam hidupmu."
"Jika kau membenci dan menolak sebuah pencapaian, bagaimana hal yang sama akan memasuki kehidupanmu? Kau boleh iri pada keberhasilan orang lain, jika kau tidak menginginkan keberhasilan-keberhasilan dalam hidupmu. Atau kau boleh ikut berbahagia melihat keberhasilan orang lain, jika kau pun mengharapkan hal yang sama."
"Bayangkan jika seorang kakak membenci apa yang didapatkan seorang adik dari Ibu mereka. Apakah si Ibu akan ikhlas memberikannya hal yang sama? Atau bayangkan jika si kakak bahagia melihat kebahagiaan saudaranya itu, tidakkah si Ibu yang penuh cinta kasih akan memberikannya hal yang sama?"
"Hal yang sama terjadi dalam kehidupan persaudaraan di semesta ini. Ayah-Ibu Semesta akan melakukan hal yang terhadap rasa iri dalam hati setiap anak-anak semestaNya, Manu"

"Guru, aku semakin jenuh dengan kehidupan yang kujalani saat ini. Kenapa kejenuhan seperti itu mesti hadir dalam kehidupan ini?"
"Manu, saat hal-hal dalam hidupmu tak bisa lagi membuatmu larut di dalamnya, tak bisa lagi kau nikmati, kau akan didera rasa jenuh terhadapnya."
"Sesungguhnya bukan hal-hal itu yang telah membosankan dan membuatmu jenuh. Kau hanya tidak menemukan cara lain untuk menikmatinya kembali. Bukankah kau tetap bisa menikmati setiap napasmu, meski kau melakukan hal yang sama sepanjang usiamu?"
"Temukan saja cara baru untuk menikmati hal-hal yang lama itu, maka kejenuhanmu akan berkurang, Manu."

"Guru, benarkah pengetahuan tentang Tuhan itu tak bisa dijelaskan? Dan benarkah rasa perjumpaan dengan Tuhan itu pun tak terjelaskan?"
"Manu, ia yang mengetahui dengan baik dan jelas apa yang dikatakannya, maka ia akan mampu menjelaskan dengan baik dan jelas tentang hal itu."
"Ia yang mengetahui dengan jelas apa yang dirasakannya, maka ia pun akan tahu bagaimana menjelaskan rasa itu dengan lebih baik."

Setiap hari orang-orang mengeluh dan menggerutu sambil menghindari genangan lumpur selutut di dekat pasar.
Hari ini, beramai-ramai mereka justru berendam dalam lumpur itu sembari tangan mereka tampak menggapai-gapai sesuatu di dasar lumpur.
Ooh, ternyata tersiar kabar seorang wanita kaya kejatuhan sekeping intan pagi ini. Dan telah dijanjikan separuh harga bagi yang berhasil menemukannya.
Manu mengamati dari dekat kesibukan orang-orang tersebut, yang saban hari biasanya menggerutui genangan lumpur itu. Hingga ia tersentak saat seciprat lumpur masuk ke dalam telinganya, seakan berbisik padanya;
"Lihatlah Manu. Saat mereka mengetahui ada sesuatu yang berharga di bawah kubangan ini, mereka berhenti menggerutu dan penuh semangat mencoba menemukan benda berharga itu."
"Tidakkah mereka kelak tersadar, bahwa di setiap momen atau peristiwa kehidupan yang selalu mereka keluhkan, ada makna-makna pelajaran yang sangat berharga bagi hidup mereka? Kenapa mereka tidak semangat menemukan makna itu, seperti mereka semangat mencari intan dalam kubanganku hari ini?"

"Guru, Gugurnya Rsi Bhisma, Guru Drona dan Raja Karna, tiga ksatria hebat dan baik namun berpihak pada Korawa, selalu diawali oleh peristiwa percakapan penuh nasehat kebenaran oleh Sri Khrisna kepada mereka. Kenapa mesti demikian, Guru?"
"Manu, usai mendapat wejangan tentang pengetahuan kebenaran sejati oleh Sri Khrisna, barulah ketiga ksatria hebat itu mengalami pencerahan dan kesadaran akan kebenaran dan diri sejati. Setelah mengalami pencerahan itulah mereka bisa menerima kematian dengan ikhlas, tanpa dendam dan kebencian pada kehidupan."
"Begitulah semestinya setiap orang di kehidupan ini, Manu. Sebelum ajal kelak menjemputmu, sudah selayaknya kau membekali diri dengan pengetahuan akan kebenaran sejati. Dengan begitu Jiwamu akan mudah meninggalkan kehidupan bumi ini dengan ikhlas tanpa beban."
"Sudahkan kau mempelajari kebenaran itu sebelum semua terlambat, Manu? Karena Sang Waktu tidak akan memberi tanda pasti kapan saat ajalmu tiba nanti."

"Guru, dimana sesungguhnya kekuatan kata 'syukur' itu? Kenapa kita selalu diajarkan bersyukur?"
"Manu, kata syukur itu seperti kata ucapan terima kasih saat kau diberikan sesuatu oleh orang lain. Hanya saja kata terima kasih atas pemberian Tuhan dan semesta ini diucapkan sebagai kata syukur."
"Bayangkan jika kau berada pada posisi sang pemberi. Manakah yang membuatmu lebih senang memberi; pada mereka yang tulus dan selalu gembira pada setiap pemberianmu, sekecil apa pun yang kau berikan, lalu berucap terima kasih, ataukah pada mereka yang tak pernah berterima kasih dan bahkan tidak menghargai setiap pemberianmu?"
"Jika kau mengerti jawabanmu, kau akan mengerti kenapa Tuhan dan semesta ini lebih suka memberi berkah pada mereka yang mensyukuri setiap rasa yang dialirkan ke dalam kehidupannya."

"Guru, rasanya kekuatan untuk menyakiti itu lebih besar dari kekuatan untuk meminta maaf, apalagi memaafkan. Apa sesungguhnya yang menyebabkan ketimpangan itu?"
"Manu, kau hanya perlu kurang dari sedetik untuk menggores tangan hingga luka berdarah dan menyisakan rasa pedih perih. Namun kau selalu memerlukan waktu bahkan lebih dari seminggu untuk menyempurnakan kesembuhan luka itu."
"Itulah fakta alami pada luka yang ditimbulkan di kulit tubuh. Bisa kau bayangkan bila luka itu mengenai pikiran dan batin. Sebesar-besarnya kata maaf, tidak akan cukup besar untuk benar-benar memberi kesembuhan sempurna tanpa bekas rasa luka di batin."
"Maka sebagaimana kau menghindari batinmu terluka oleh kata-kata atau sikap orang lain, hindari hal yang sama kau lakukan pada orang lain. Sebab ribuan kata maafmu tak akan mudah menyembuhkan."

"Guru, jika agama adalah jalan menuju kebebasan Jiwa, kenapa justru banyak yang terjebak dan melekat pada pemahaman yang terbatas?"
"Manu, agama itu berisi ajaran-ajaran yang membebaskan Jiwa. Persis seperti saat kau ingin berenang bebas di samudra yang luas, maka yang terpenting bukanlah perahu yang kau tumpangi melainkan pelajaran tentang bagaimana bisa berenang tanpa tenggelam di samudra itu."
"Jika perahu itu yang terpenting bagimu, mungkin kau bisa bertahan untuk sementara waktu di atas samudra. Namun begitu badai datang dan menjatuhkanmu ke lautan, kau akan mudah tenggelam jika tidak mempraktekkan ajaran berenang dalam badai di tengah samudra."
"Agama itu serupa perahu. Lalu ajaran-ajaran moral di dalamnya mirip seperti pelajaran berenang dan penyelamatan diri. Dan pengetahuan kesemestaan di dalamnya mirip seperti pengetahuan tentang samudra agar kau bisa menikmati keindahan di dalamnya."
"Jika perahu membuatmu hanya mengapung di atas samudra dalam ruang terbatas, sedangkan pelajaran berenang membuatmu bisa menikmati keindahan samudra, maka renungkanlah Manu, mana yang lebih penting bagimu. Perahu ataukah ajaran dan pengetahuan di dalamnya."

"Guru, salahkah jika aku mengeluarkan kata-kata caci maki, atau apa pun yang mewakili berbagai macam emosi hatiku? Bukankah kotoran emosi itu harus dikeluarkan agar batinku tetap bersih dan sehat?"
"Manu, sebagaimana kotoran tubuh mesti dikeluarkan agar tidak terpendam dan menjadi bibit penyakit, begitu pun kotoran-kotoran pikiran dan emosi hati."
"Namun, bukankah selama ini kau diajarkan untuk membiasakan diri membuang kotoran tubuh di tempat yang sangat pribadi dan tidak ditonton orang banyak?"
"Maka ia yang bijaksana akan memilih sikap dan cara yang sama saat hendak mengeluarkan kotoran pikiran dan batinnya. Ia membuangnya di tempat yang tidak akan mengotori orang lain, agar bibit penyakit dalam kotoran batinnya itu tidak menyebar dan menulari, apalagi menyakiti siapa pun."

"Guru, apakah menerima suka dan duka dalam rasa yang sama itu berarti kita tidak perlu bersedih saat duka hadir, atau bergembira saat bahagia datang?"
"Manu, menerima kedua rasa itu dalam cara yang sama, bukanlah berarti tiada perlu ada kesedihan dan kegembiraan atau pun hidup datar tanpa emosi. Menerima dengan keikhlasan yang sama rasa sedih dan gembira, suka dan duka, untuk segera kembali pada suasana batin yang tenang, itulah maknanya."
"Maka bersedihlah saat duka datang dan bergembiralah saat bahagia datang. Mengalir namun jangan biarkan batinmu lama terjebak di dalam gelombang rasa suka-duka itu."
"Bahkan samudra ciptaan Tuhan pun tak luput dari gelombang dan badai, untuk selanjutnya kembali tenang pada saatnya."

"Guru, katamu di balik bencana tersembunyi berkah. Lalu berkah apa yang bisa kulihat di balik perpisahan oleh kematian ini? Bagaimana aku bisa melepas kesedihan ini?"
"Manu, bersedihlah jika kau harus bersedih. Ijinkan batinmu mengalir bersama setiap rasa. Mengalirlah agar setiap rasa itu tidak menggenang."
"Jika menggenang di dalam, ia menjadi kesedihan mendalam. Jika menggenang di luar, ia menjadi tangis yang tak berkesudahan. Biarkan ia mengalir agar ia hilang sebagaimana ia muncul."
"Saat mata hatimu kembali jernih oleh air mata yang membersihkannya, lihatlah berkah tersembunyi di balik kematian itu."
"Bagi Jiwa yang telah tuntas memahami pelajaran kehidupan dan kematian, maka apa pun jalan pulang yang dipilihnya, itu adalah momen kebebasan bagi Jiwanya. Bebas dari segala ikatan suka-duka oleh tubuh ini."
"Bagi Jiwa-Jiwa yang ditinggalkan di kehidupan bumi, momen kematian menyisakan banyak pelajaran. Selamilah pelajaran itu, karena berkah kematian ada di balik pembelajaran hidup yang tersisa."

"Guru, jika takdir memang tak bisa diubah, lalu untuk apa aku harus berusaha memperbaiki keadaan?"
"Manu, berusaha memperbaiki keadaan yang kerap disebut sebagai nasib, hingga akhirnya terbukti bahwa ternyata itu sudah merupakan sebuah takdir, adalah pilihan sikap mereka yang bijak."
"Jadi, tetaplah berusaha Manu. Karena kau tak akan pernah tahu dengan mudah yang mana nasib dan takdir, hingga kau sampai pada kenyataannya di masa depan."

"Guru, maafkan aku. Ada saatnya aku harus menyerah pada keadaan yang tak bisa kuubah dan menjadi putus harapan. Bagaimana kini aku bisa mulai membangun harapan lagi pada kenyataan yang tak akan berubah itu?"
"Manu, bila kenyataan yang tidak sesuai harapan itu tidak bisa kau ubah agar menjadi sesuai harapanmu, maka mulailah berharap agar kau bisa menerima kenyataan itu apa adanya."
"Kebahagiaan tidak hanya tercipta karena suatu kenyataan itu sudah sesuai harapan. Menerima kenyataan dengan ikhlas apa adanya, adalah juga sebuah sumber kebahagiaan."
"Sebab sesungguhnya, rasa yang muncul saat kenyataan itu sesuai dengan harapan, hanyalah rasa senang. Ia tidak abadi. Kesenangan itu bersumber dari hal-hal diluar diri. Sedangkan rasa kebahagiaan itu bersumber dari Jiwamu sendiri."

"Guru, aku tidak paham benar apa sesungguhnya ketulusan, kepasrahan, kesabaran dan keikhlasan itu. Manakah yang seharusnya didahulukan dalam bertindak? Jika ketulusan adalah melakukan sesuatu tanpa memikirkan hasil, bagaimana mungkin itu dilakukan? Sebab ketika kita melakukan sesuatu, pastilah karena kita menginginkan sebuah hasil."
"Manu, saat seorang pemanah sejati membidikkan panahnya ke sasaran, ia sungguh-sungguh fokus pada setiap gerakan tubuhnya. Ia merentangkan busur sedemikian rupa agar tepat mengantar anak panah ke sasaran. Ia fokus pada kuda-kuda kakinya. Fokus pada perhitungan arah panah. Ia fokus pada segala tindakan yang diperlukan untuk mencapai target."
"Fokus pada kerja itu sendiri agar menjadi usaha yang maksimal, itulah ketulusan. Ia fokus pada tiap tahap kerja yang dilakukan, tapi tidak pada rasa yang terletak pada hasil. Mereka yang bekerja denan memfokuskan pikiran pada rasa akan hasil, mereka mudah terjebak pada kebahagiaan oleh keberhasilan atau kesedihan oleh kegagalan, padahal hasil itu sendiri sama sekali belum terjadi. Terjebak pada rasa hasil yang belum tercapai itu akan membuatmu tidak lagi fokus pada kerjamu saat ini."
"Setelah semua tahap kerja berjalan dengan baik, lalu lepaskan anak panah itu dan biarkan ia mencapai sendiri targetnya. Mengalir bersama kehendak alam atas proses selanjutnya setelah usaha maksimal kau kerjakan, itulah kepasrahan."
"Seberapa pun waktu yang diperlukan hingga kerjamu mencapai hasilnya, itulah ujian kesabaran. Dan kelak ketika hasil telah ditunjukkan, maka penerimaan dengan cara yang sama terhadap kegagalan dan keberhasilan pencapaian , itulah keikhlasan, Manu. Lalu kembalilah pada ujian kesabaran untuk memulai prosesnya dari awal, hingga hasil yang kau harapkan itu bisa terjadi dengan baik."

"Guru, jika segala hal dihadirkan di bumi ini untuk sebuah tujuan yang bermanfaat, lalu apa guna hadirnya orang-orang yang suka memfitnah?"
"Manu, seseorang disebut tukang fitnah karena ia menyampaikan sesuatu yang tidak benar. Namun mereka yang percaya pada fitnah adalah mereka yang tidak tahu kebenaran. Sebab, mereka terlalu mudah percaya pada pembenaran yang didengarnya tentang sesuatu atau seseorang."
"Maka mereka yang suka memfitnah sesungguhnya hadir untuk mengajarimu agar tidak terlalu mudah percaya pada satu sisi informasi. Saat kau mempercayai sesuatu hanya dari satu sisi, disitu kau tidak akan menyadari apakah kau sedang mendengar suatu fitnah ataukah suatu kebenaran. Berhati-hatilah."

"Guru, betapa pun keras Khrisna, Bhisma, Guru Drona dan Widura menasehati Duryudana agar menghindari perang dengan Pandawa, bahkan dibalik rasa gentarnya pada Arjuna, Duryudana tetap keras kepala melanjutkan perang. Apa yang sedang terjadi disitu, Guru?"
"Manu, itulah pelajaran tentang takdir. Peperangan Mahabrata adalah takdir yang mesti terjadi. Namun disitu terselip pesan bahwa betapa pun takdir telah ditentukan, segala usaha mesti tetap dilakukan secara maksimal."
"Sebab kau tak akan pernah tahu rahasia skenario semesta, hingga kenyataan membuktikan dirinya. Apakah itu skenario takdir yang tak bisa diubah, ataukah skenario nasib yang masih bisa diubah. Maka tetaplah berusaha maksimal, karena kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi."
  
"Guru, bagaimana mungkin aku bisa belajar spiritual demi membebaskan diri dari kemelekatan duniawi? Sebab dalam kehidupanku ini masih diperlukan hal-hal duniawi dan tidak mungkin aku membenci semua itu agar terbebas darinya."
"Manu, belajar membebaskan diri dari kemelekatan duniawi dengan membenci semua hal-hal duniawi, bukan jalan yang bijak. Karena justru kebencian itulah yang membuat pikiranmu tetap melekat padanya meski kau tidak memilikinya. Begitu pun kecintaan yang berlebihan pada hal-hal duniawi akan membuatmu melekat padanya."
"Cinta berlebihan pada apa yang kau miliki, atau benci berlebihan pada apa yang tidak kau miliki, adalah sumber kemelekatan duniawi itu sendiri."
"Jika kau sedang menuntun seekor sapi pada talinya, peganglah tali itu tapi jangan mengikat tanganmu pada tali itu. Kelak jika sapi itu menjadi liar dan berusaha menyeretmu kemana-mana, kau akan mudah melepasnya. Seperti itulah hendaknya kau memegang apa yang kau miliki, tapi segera lepas bila mereka mulai menyeretmu pada kemelekatan yang kelak menghambat Jiwamu pulang ke alam kematian."

"Guru, siapakah kelima anak Drupadi bersama Pandawa itu di dalam diri kita? Dan kenapa mereka pun harus gugur demi tegaknya kebenaran?"
"Manu, jika Drupadi adalah tubuhmu, Yudistira adalah hati yang bijaksana, Bima adalah simbol kekuatan energi, Arjuna adalah pikiran serta Nakula-Sahadewa adalah dualitas dalam diri yang saling melengkapi."
"Maka anak-anak yang lahir dari Drupadi dengan kelima Pandawa adalah simbolis dari kerja tubuh yang kau gunakan untuk berkarma di kehidupan ini dengan penuh bijaksana, penuh semangat dan tekad yang kuat. Juga dikendalikan dengan penuh kecerdasan pikiran serta keseimbangan dualitas yang saling melengkapi."
"Pada akhirnya semua itu pun akan lenyap setelah memainkan peran mereka dalam menegakkan kebenaran tugas kehidupanmu, sebagai persembahan sempurna bagi siklus semesta ini."

"Guru, saat kita belajar sabar menghadapi sikap orang-orang yang menyakiti kita, kenapa mereka justru bertambah gencar berusaha menyakiti kita hingga kesabaran kita pun terasa terkikis pelan-pelan?"
"Manu, kesabaran adalah perisai hati yang mampu menahan segala serangan yang menyakitkan lewat kata-kata, sikap atau perilaku."
"Itu sebabnya ketika kau menunjukkan kesabaran yang kian kuat dan teguh untuk tidak melawan, maka mereka yang berniat menyakitimu akan kian penasaran karena usaha mereka menjadi sia-sia untuk menyakitimu."
"Jika kau tetap teguh dalam kesabaran, maka lama-lama mereka akan menyerah. Namun jika kau yang lebih dulu menyerah dan merasa tersakiti, lalu mulai menunjukkan sikap tersakiti, mereka akan merasa berhasil dalam usahanya. Mereka tidak akan berhenti oleh keberhasilan itu, melainkan kian senang karena telah menemukan kelemahan hatimu."

"Guru, apa yang menjadi penyebab begitu banyaknya masalah yang sulit ditemukan solusinya?"
"Manu, kebanyakan orang ketika mengalami masalah akan memilih untuk menghabiskan energi mereka dalam perdebatan demi mencari dan memutuskan siapa yang bersalah dalam situasi tersebut."
"Akibatnya tentu saja akan lebih banyak energi yang terbuang sia-sia demi mencari pembenaran masing-masing agar tidak tersudutkan sebagai pihak yang bersalah."
"Bahkan ketika salah satu pihak sudah diputuskan sebagai pihak yang salah dan harus menanggung tugas memperbaiki keadaan, energi mereka sudah tidak cukup lagi untuk memikirkan dan menemukan solusi dari permasalahan tersebut, apalagi untuk bekerja memperbaikinya."
"Namun bila saja semua pihak lebih memilih menggunakan energi yang ada dengan bijak, maka menemukan solusi dan memperbaiki keadaan akan menjadi lebih mudah."

"Guru, kenapa rasa kebahagiaan di dunia ini begitu mudah berlalu?"
"Manu, sumber kebahagiaan batin itu ada di luar dan di dalam diri. Jika kau memilih kebahagiaan batin yang diciptakan oleh hal-hal diluar diri, maka kau akan membangun batasan-batasan kondisi yang kau anggap akan membahagiakanmu. Itulah kebahagiaan bersyarat. Kau akan berkata, "aku akan bahagia jika..."
"Saat kondisi itu tidak sesuai harapanmu, kau akan mudah jatuh kembali dalam rasa kekecewaan. Inilah yang mudah melenyapkan rasa bahagia yang pernah hadir itu."
"Namun jika kau mampu menemukan sumber kebahagiaan dalam dirimu sendiri, kau akan berkata, "Aku bahagia dalam segala keadaan."
"Dengan cara itu, batinmu akan membantumu menemukan celah-celah keadaan yang bisa membuatmu tetap bisa merasa bersyukur dan bahagia, meski itu dalam suasana yang tampak tidak menyenangkan."

"Guru, bagaimana cara menyikapi agar aku mudah memaafkan orang yang menyakiti hatiku?"
"Manu, bayangkan saat tubuhmu dilukai oleh seorang dokter ahli bedah. Bukan saja kau menerima rasa sakit itu, namun kau bahkan ikhlas membayar dan berterima kasih atas tindakan dokter melukaimu. Itu karena kau melihat ada upaya penyembuhan dibalik luka yang dilakukan padamu itu."
"Begitu pun jika kau mampu melihat bahwa setiap kejadian yang melukai hatimu oleh seseorang, ternyata ada skenario penyembuhan luka masa lalu dalam Jiwamu, maka kau akan bisa menerima dan mudah memaafkan."
"Setiap hal buruk yang pernah kau lakukan di kehidupan masa lalu, menjadi penyesalan yang melukai Jiwamu. Lalu kau diijinkan lahir kembali untuk menebus rasa sakit itu dengan menerima rasa sakit saat ini sebagai pahala karma masa lalu."

"Guru, kenapa pelajaran dan ujian kehidupan ini mesti kulalui dengan penuh penderitaan? Bukankah semestinya semesta memberiku pelajaran dengan cara yang menyenangkan?"
"Manu, setiap rasa dalam pelajaran itu adalah bagian dari pelajaran rasa kehidupan. Seperti rasa dalam makanan yang meliputi asin, manis, pahit, pedas, asem dan sebagainya, kau pun harus menerima semua rasa itu apa adanya sebagai segala rasa yang ada dalam makanan."
"Begitu pun rasa dalam pelajaran dan ujian kehidupan ini. Ada rasa suka-duka, benci-cinta, serta segala rasa hati akibat racikan emosi yang muncul dari persepsi pikiranmu sendiri."
"Nikmati semua rasa itu dan terima mereka adalah bagian dari rasa kehidupan. Semua rasa itu tidak abadi, namun pelajaran yang ada dibalik rasa itulah yang abadi dan penting bagi pertumbuhan Jiwamu. Seperti halnya semua rasa makanan hanya bertahan dalam mulut, namun zat-zat nutrisinyalah yang penting bagi pertumbuhan tubuhmu."

"Guru, setelah 12 tahun diasingkan, lalu pada tahun ke-13 para Pandawa diharuskan menyamar agar tidak diketahui siapa pun jika tidak mau mengulang lagi masa pengasingan 12 tahunnya. Apa maksudnya itu Guru?"
"Manu, 12 tahun itu adalah masa belajar segala hal bagi Pandawa dalam dirimu. Belajar mencapai kecerdasan pikiran (Arjuna), belajar kesabaran dan keteguhan hati (Yudistira), belajar menggunakan tenaga (Bima) dengan baik, belajar menggunakan segala dualitas (Nakula-Sahadewa) dalam diri."
"Lewat segala masa pembelajaran itu, kau harus belajar menyembunyikan segala kemampuanmu itu. Belajar "menyamar" dalam kerendahan hati, mengatasi hasrat kesombongan yang muncul dari dalam."
"Belajar menjadi tersembunyi, belajar rendah hati inilah kesulitan terbesar seorang pembelajar, Manu. Jika kau gagal, kau mesti kembali mengulang masa pembelajaran itu."

"Guru, hanya dengan menyesap nikmatnya sebutir beras, Khrisna mampu membuat para Rsi ikut terpuaskan rasa laparnya padahal Pandawa tidak memberi mereka suguhan apa pun. Kenapa itu bisa terjadi?"
"Manu, itulah pelajaran tentang menyatunya kesejatian seluruh Jiwa yang ada pada setiap orang. Saat satu Jiwa yang telah mengalami kesadaran semesta membagi kepuasan batin dan tubuhnya kepada mereka yang diharapkannya mengalami hal yang sama, maka itu pun akan terjadi."
"Begitu pun saat seorang Guru membagikan percikan kesadaran semestanya pada mereka yang dia inginkan untuk mengalami hal yang sama, maka tanpa pernah dimengerti oleh murid-muridnya, rasa kesadaran itu pun akan dialami oleh mereka yang dekat dengan Sang Guru itu."

"Guru, dimana hilangnya sifat-sifat pelindung dari para ksatria Pandawa? Saat istrinya sendiri dilecehkan dan dihina sedemikian rupa oleh Korawa, tepat di depan tatapan mereka dan mereka hanya bisa terdiam."
"Manu, begitulah sifat-sifat baik dalam dirimu, hati yang teguh dalam kejujuran, pikiran yang cerdas, tenaga yang kuat, semua tidak akan berdaya manakala ego-ego negatif Korawa telah menguasai dan memperbudak sifat Pandawa dalam dirimu. Drupadi atau tubuhmu hanya akan menjadi budak dari sifat-sifat negatif itu."

"Guru, kenapa saat seseorang kian menua, pikiran mereka mulai pikun?"
"Manu, itulah cara alam untuk membuat pikiran sadar manusia perlahan melupakan segala beban suka-duka kehidupan yang kelak bisa menghalangi perjalanan Jiwanya usai dijemput kematian. Jika kau rajin berlatih ikhlas melepas segala suka duka kehidupan yang telah berlalu, maka kelak kepulangan Jiwamu ke rumah sejatinya akan lebih mudah dan membahagiakan."

"Guru, kenapa hidupku selalu dikunjungi oleh masalah dan ketidaknyamanan? Bahkan masa laluku juga begitu sering disakiti dan menderita. Apakah aku akan terus menderita?"
"Manu, ia yang batinnya ikhlas melepas segala kenangan buruk masa lalu, membebaskan dirinya dari dendam, kemarahan dan rasa sakit atas peristiwa yang telah berlalu, tak ubahnya seseorang yang berani membersihkan kaca lampu hatinya dari kotoran negatif, hingga cahaya nuraninya memancar keluar untuk membawanya pada kehidupan yang lebih terang."
"Dan sebagaimana laron-laron beterbangan mendekati cahaya lampu, begitulah berkah kehidupan akan mendekati ia yang cahaya nuraninya telah terang di dalam."

"Guru, hidup ini memberi pilihan yang begitu banyak. Jika apa yang kupilih ternyata membawa banyak masalah karena halangan-halangan yang datang dari orang lain, apa yang harus kulakukan pada mereka?"
"Manu, jika kau memilih pergi ke hutan, jangan salahkan bila disana ada banyak binatang buas, pohon besar dan semak-semak berduri. Mereka sudah ada disana sebelum kau memilih masuk ke tempat itu."
"Begitu pun setiap jalan yang akan atau telah kau pilih. Jika disana ada banyak orang yang menghalangi perjalananmu, atau banyak menciptakan penderitaan bagimu, itu adalah pilihanmu sendiri. Mereka seperti itu bukan karena kau memilih tempat tersebut, tapi mereka sudah disana sebelumnya."

"Maka berhenti menyalahkan orang lain atas risiko suka duka di perjalanan yang kau pilih, adalah sikap yang lebih bijak. Menyalahkan orang lain atau dirimu sendiri, hanya akan menghabiskan energimu yang tersisa. Gunakan saja energi itu untuk memikirkan cara melewati dan mencapai kesuksesan di jalan pilihanmu itu, maka disitu kau akan mengerti, ada Tuhan bersamamu."


"Guru, dengan cara memisahkan kedua belahan tubuh Jarasanda, Bima mampu membunuh raja sakti yang tak akan mati selama tubuhnya bisa disatukan kembali itu. Ajarkan aku maknanya, Guru?"
"Manu, ia yang mampu menyatukan segala dualitas dalam dirinya, akan menjadi pribadi yang teguh dan tak tersakiti. Selama seseorang tidak bisa menerima dualitas dirinya dengan cara yang sama, lalu menyatukan keduanya menjadi kekuatan dan kebijaksanaan, ia akan dihancurkan oleh guncangan batinnya sendiri."

"Guru, apakah yang harus kulakukan untuk menghilangkan kesedihan atau kemarahan yang menyesakkan batin ini? Apakah tangis dan meluapkan kemarahan itu bermanfaat?"
"Manu, tangis akan melepaskan beban kesedihanmu, tapi tidak menghilangkan penyebab kesedihan tersebut. Marah akan melepaskan beban emosimu tapi tidak akan menyelesaikan masalah penyebab kemarahanmu. Pahamilah sumber kesedihan dan kemarahanmu, lalu atasi masalahnya. Saat itulah semua akan berlalu menjadi biasa saja bagi batinmu."

"Guru, saat ini begitu banyak kekerasan atas nama agama terjadi. Apa yang salah dengan semua itu?"
"Manu, agama diturunkan untuk mengajari manusia mengendalikan sifat-sifat keras dalam dirinya, agar ia kembali menjadi pribadi yang berjiwa lembut dan penuh cinta kasih. Agama ada untuk menjadikan manusia bersifat malaikat, bukan mengubahnya menjadi kesetanan."
"Maka jika ada yang melakukan kekerasan atas nama agama, itu bukan berasal dari kebenaran ajaran agama, melainkan dari pembenarannya sendiri dalam memahami kesucian ajaran agama."
"Agama itu ajaran suci, kitabnya disebut kitab suci, guru-gurunya adalah orang suci. Ritualnya membawa umat menuju kesucian. Maka jika perilaku mereka jauh dari sifat-sifat kesucian, itu pertanda mereka tidak mengamalkan kebenaran dan kesucian ajaran agamanya."

"Guru, kenapa Sathi atau Parwati mesti berusaha menikah dengan Siwa Mahadewa? Kenapa pula Sathi atau Parwati mesti menjadi manusia dan ditakdirkan menikahi Dewa?"
"Manu, Sathi/Parwati adalah simbol kesaktian atau kekuatan batin bawah sadar dalam diri manusia. Sedangkan Siwa adalah simbol kebijaksanaan atau Kecerdasan Atas Sadar."
"Keduanya layak disatukan, karena kebijaksanaan tanpa kekuatan akan menjadi lumpuh, dan kekuatan tanpa kebijaksanaan akan membuat manusia mudah membabi-buta."
"Tubuh manusia adalah simbol materi semesta. Sathi/Parwati adalah simbol kekuatan, kesaktian atau energi alam semesta. Dan Siwa adalah simbol Kecerdasan Semesta Tak Terbatas."
"Sathi/Parwati mengambil wujud manusia karena begitulah energi semesta melekat pada setiap unsur materi semesta. Ketika ketiga unsur semesta itu menyatu; Materi, Energi dan Kecerdasan Semesta Tak Terbatas, maka dari situ barulah bisa lahir kehidupan."
"Karena saat tubuh materi mahluk hidup telah bergabung dengan kekuatan atau energi (Sathi/Parwati), lalu diberi Jiwa (Siwa), disitulah kehidupan dimulai."

"Guru, seringkali saat kita berniat mengubah seseorang agar menjadi baik seperti harapan, justru membuat kita stres. Apa yang harus kulakukan?"
"Manu, bahkan jika kau berhasil mengubah satu kebiasaan buruk seseorang, kau akan ketagihan untuk mengubah lebih banyak lagi kebiasaan buruk orang itu. Dan itu sesuatu yang bahkan mustahil dilakukan. Apalagi jika kau berniat mengubah lebih banyak orang. Jika kau gagal mengubah orang menjadi baik sesuai harapanmu, maka cobalah belajar untuk menerima orang itu apa adanya. Saat itu kau akan mengerti, bahkan untuk mengubah dirimu sendiri agar bisa menerima seseorang apa adanya, itu pun pekerjaan yang teramat sulit, apalagi mengubah orang tersebut."

"Guru, kenapa saat menghadapi suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, batin ini lebih mudah menyalahkan orang lain?"
"Manu, saat seseorang masih dibimbing oleh pembenaran dalam dirinya, maka ia cenderung menyalahkan orang lain. Ketika ia mulai dituntun oleh Kebenaran di dalam, ia mulai mengamati kesalahannya sendiri. Dan saat ia sudah melihat kebenaran yang utuh, ia berhenti menyalahkan siapa pun dan lebih memilih melihat makna di balik setiap peristiwa."

"Guru, bagaimana kita membedakan orang yang sudah melihat Kebenaran dengan mereka yang baru melihat pembenaran?"
"Manu, ia yang sudah melihat kebenaran akan melihat kebenaran itu dimana-mana sebagai satu keutuhan sempurna. Ia akan berhenti saling menyalahkan."
"Sedangkan ia yang masih terjebak pada pembenaran, akan melihat kebenaran secara sepenggal-sepenggal, seperti orang-orang buta yang menceritakan wujud Tuhan. Pikiran dan batinnya dipenuhi niat untuk saling menyalahkan."

"Guru, kenapa kekalahan dalam hidup ini selalu terasa menyakitkan?"
"Manu, ia yang berjuang demi sebuah hasil, akan mudah terjebak dalam kekecewaan ketika hasil tidak sesuai harapannya. Namun ia yang berjuang tanpa kepentingan dan hanya demi pembelajaran bagi dirinya, ia tak akan mudah jatuh dalam kekecewaan pada apa pun hasil yang terjadi."

"Guru, kenapa hidup ini begitu kontradiksi? Mereka yang mencari kebahagiaan dengan jalan kebaikan, selalu sulit dan lama mencapai harapan itu. Sedangkan mereka yang ingin meraih bahagia lewat jalan-jalan buruk, selalu lebih mudah dan cepat meraihnya. Dimanakah letak keadilan Tuhan?"
"Manu, mereka yang mencari kebahagiaan lewat jalan-jalan kegelapan, tidak akan bisa menikmati kebahagiaannya sepenuh Jiwa, karena situasi disana diliputi oleh kegelapan. Sedangkan mereka yang mencari bahagia lewat jalan terang, mereka melihat keindahan sepanjang perjalanan dan menemukan kebahagiaan Jiwa di akhir tujuannya. Hidup memberimu pilihan, boleh menderita di awal untuk meraih bahagia di akhirnya. Atau memilih jalan bahagia di awal dan menderita pada akhirnya. Keduanya hadir bergiliran, Manu."

"Guru, pesan semesta apakah sesungguhnya yang sedang Tuhan tunjukkan di Gaza? Bukankah Tuhan Maha Esa dan mereka sesungguhnya memuja Tuhan yang satu itu meski lewat cara dan jalan berbeda. Kenapa Tuhan biarkan mereka bertikai dan saling menghancurkan?"
"Manu, saat kekerasan hanya menyisakan kehancuran. Saat kebencian hanya menyisakan dendam abadi. Saat pertikaian dan peperangan begitu nyata hanya menyisakan kepedihan dalam kalah atau pun menang. Saat kebutuhan akan pengakuan diri, bangsa dan agama nyatanya hanya menyisakan kehancuran. Lihatlah olehmu, Manu. Tetap saja tidak banyak hati yang beralih pada kedamaian. Tetap saja memilih menghilangkan kebencian dengan kebencian, kemarahan dengan kemarahan, kehancuran dengan penghancuran. Selama pelajaran semesta yang sedemikian mudah itu tak disadari maknanya, selama itu pesan-pesan semesta akan dihadirkan lewat pelajaran yang sama."
"Kapan saja manusia memahami bahwa agama hadir untuk mendamaikan pikiran dan hati, mendamaikan bumi, saat itulah pelajaran semesta lewat kehancuran itu akan terhenti."

"Guru, setiap kali saya mencoba menasehati orang atas kelakukannya yang salah, selalu malah terjadi perdebatan dan pertengkaran antara kami. Kenapa demikian jadinya, Guru?"
"Manu, memberi atau pun menerima nasehat keduanya membutuhkan proses pembelajaran. Jika seseorang belum belajar menerima nasehat, maka batinnya akan merasa digurui. Jika orang belum belajar memberi nasehat, maka ia akan tampak menggurui. Karena itu, jika masih terjadi perdebatan ketika kau menasehati, ada dua kemungkinan yang ada. Salah satu belum belajar memberi atau menerima nasehat."

"Guru, begitu banyak hal di kehidupan ini yang tidak menyenangkan untuk didengar dan dilihat. Ajarkan padaku bagaimana agar aku bisa selalu tenang dalam rasa yang sama terhadap apa yang kulihat dan kudengar di kehidupan ini."
"Manu, segala hal di kehidupan ini sesungguhnya bersifat netral dan apa adanya. Ketidaksukaan padanya akan membuatmu menolak suatu hal dan menciptakan rasa senang atau tidak senang di batinmu terhadapnya. Cobalah pejamkan matamu selama mungkin hingga kau rindu untuk bisa melihat apa pun di kehidupan ini. Cobalah tulikan telingamu hingga kau rindu untuk bisa mendengar apa pun suara di kehidupan ini. Saat kerinduan akan penglihatan dan pendengaran itu muncul, kau akan bisa bersyukur pada segala hal yang bisa kau lihat dan kau dengar apa adanya."

"Guru, dengan pikiranku yang terbatas ini, di tengah banyaknya kebutuhan duniawi yang harus kupenuhi, bagaimana aku bisa menyeimbangkan pemikiranku untuk bisa meraih harapan hidup jasmani dan rohaniku?"
"Manu, pikiran sadarmu itu dibekali kecerdasan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan. Ia juga ditemani oleh pikiran bawah sadar yang dengan kecerdasan dan keajaibannya mampu membantumu mewujudkan harapan hidup duniawimu. Ia juga ditemani kecerdasan pikiran atas sadar yang akan membimbingmu dari dalam menuju pengetahuan dan kecerdasan spiritual yang mematangkan Jiwamu. Maka rajin-rajinlah berkomunikasi secara tepat dengan kecerdasan bawah sadar untuk mencapai kebahagiaan hidup duniawi, dan rajin pula menghubungi kecerdasan atas sadarmu agar kau dialiri pesan-pesan penuntun kebaikan dan kesadaran bagi Jiwamu."
"Guru, jika Tuhan adalah Sang Sumber darimana aku berasal, juga maha pencipta dan maha pemelihara, lalu dimana dan bagaimana aku mesti menjumpai Tuhan untuk bisa Memuja dan menghormati Tuhan dalam kehidupan ini?"
"Manu, hormatilah Ayah dan Ibumu karena dari merekalah asal yang bisa kau jumpai. Tubuhmu berasal dari bumi dan air, hargai dan hormatilah. Energi hidupmu berasal dari cahaya matahari dan udara, hormati dan hargailah itu. Mereka yang memelihara hidupmu dengan makanan, yang memeliharamu dengan minuman, yang menjaga hidupmu dalam kesehatan dan kenyamanan, hargai dan hormatilah mereka. Jika kau mengerti bahwa Tuhan adalah sumber pengetahuan, maka hormatilah mereka yang memberimu pengetahuan dalam wujud apa pun. Tuhan ada dalam kehidupan ini sebagai sumber dari segala yang memenuhi kebutuhanmu. Mereka semua adalah wujud-wujud duniawi Tuhan yang dalam kesejatian Tuhan tak berwujud. Itulah cara mudah bagimu menjumpai dan menghormati Tuhan, lewat segala karya cipta Tuhan."

"Guru, beberapa hari ini aku tidak sempat berdoa dan memuja menghormati Tuhan. Berdosakah aku karena kelalaianku itu? Lalu bagaimana aku mesti menebusnya?"
"Manu, tidak lebih berharga doa dan puja hormatmu sepanjang waktu kepada Tuhan, daripada sikap dan perilakumu yang penuh hormat kepada setiap orang serta semua mahluk yang adalah ciptaan Tuhan dan juga ada Dia di dalamnya sebagai Sang Jiwa. Jika dosa itu ada, maka tidak lebih berdosa ketika kau menyakiti orang dan mahluk hidup dengan alasan apa pun, daripada kelalaianmu dalam memuja Dia yang ada diluar diri mahluk-mahlukNya."

"Guru, setiap agama meyakini Tuhan itu hanya satu. Tiada mendua, tiada yang lainnya. Tapi mengapa begitu banyak umat yang memiliki sikap dan perilaku berbeda, seakan mengartikan bahwa Tuhan yang satu itu adalah Tuhannya yang nomor satu, bukan nomor dua? Bagaimana aku mesti belajar melihat Tuhan yang satu itu dalam berbagai nama dan persepsi pikiran?"
"Manu, lihatlah bumi yang satu ini menjadi tempat berpijak segala manusia dan mahluk hidup. Mereka yang berpijak di atas sawah, yang berdiri di atas pasir pantai, yang berenang di laut, yang berdiri di puncak gunung atau berbaring di dasar jurang, semua akan mengerti bahwa mereka berpijak pada bumi yang sama, meski tempat mereka berpijak itu nyata berbeda. Tidak ada yang mempertengkarkan apalagi bertikai untuk membuktikan bahwa merekalah yang benar-benar berpijak di bumi yang satu itu. Kenapa kau tidak belajar melihat dengan cara yang sama, bahwa kalian nyata-nyata berlindung pada Tuhan Semesta yang satu dan sama, meski kalian berdiri di bawah kubah langit yang berbeda?"

"Guru, bagaimana harus ku atasi dan ku hilangkan rasa takut yang begitu menyiksa menjadi kecemasan ini?"
"Manu, tak ada sampah yang bisa hilang tanpa kau temukan untuk kemudian kau bersihkan. Begitu pun penghalang pikiran yang berwujud rasa takut dan cemas. Kau tidak akan bisa mengatasinya jika kau tidak berani menghadapinya. Amati rasa takut dan cemasmu itu, maka kau akan mengerti bahwa mereka tidak ada diluar diri, melainkan dalam dirimu sendiri. Saat kau sudah menghadapi mereka, diamlah dan tunggu apa yang terjadi. Kau akan melihat bahwa sesungguhnya yang kau cemaskan itu adalah sesuatu yang tak pasti terjadi."
  
“ Guru, Arjuna tidak mau lagi meladeni tantangan Karna untuk beradu kesaktian karena matahari sudah beranjak tenggelam.” “Apakah kegelapan melemahkanmu, wahai Arjuna?", tanya Karna. “Tidak. Tak ada kegelapan yang mampu melemahkanku. Tapi aku tidak mau bertarung dalam kegelapan, karena itu bukan sifat ksatria mencari kelemahan dalam kegelapan", jawab Arjuna.
"Guru, kenapa Arjuna menjawab demikian?"
"Manu, Arjuna sedang mengingatkanmu bahwa dalam keadaan batin yang sedang diselimuti kegelapan emosi, jangan biarkan pikiranmu melibatkan diri karena akan muncul pembenaran-pembenaran untuk memenangkan bisikan-bisikan ego dalam diri. Ia juga mengingatkanmu bahwa kegelapan hidup yang hadir sebagai penderitaan, jangan pernah membuat lemah kecerdasan pikiranmu dalam mencari jalan keluar."

"Guru, terkadang aku begitu ingin memberi pelajaran pada orang yang sangat menyinggung perasaanku, agar ia tahu kesalahannya. Apakah ini sikap yang salah?"
"Manu, setiap hal yang dilakukan untuk tujuan kebaikan adalah hal yang baik jika dilakukan dengan baik dan mencapai kebaikan yang diharapkan. Berbeda jika sebuah tujuan baik dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik, seringkali itu menyisakan permasalahan yang juga tidak baik. Nah, pastikanlah bahwa niat baikmu untuk memperbaiki seseorang itu benar-benar bukan didasari oleh emosi negatif. Sebab setiap emosi negatif itu serupa percikan api di padang rumput yang kering."

"Guru, aku tahu diriku bukan manusia sempurna. Tapi kenapa aku mesti dihina pula? Bagaimana aku mesti bersikap menghadapi hinaan seperti itu?"
"Manu, jika kau menyadari bahwa dirimu tidak sempurna, maka apa yang salah ketika kau dihina? Bahkan Dia Yang Maha Sempurna pun sering dilecehkan oleh manusia, apalagi dirimu yang bagimu memang tidak sempurna itu. Jika kau menolak hinaan itu, kau akan mulai benci. Jika kau benci, kau akan marah dan melawan. Hasilnya adalah kehancuran besar hanya karena kata-kata yang kau tolak sebagai penghinaan itu. Namun jika kau diam oleh penghinaan itu dan dia terus menghinamu, apakah kau kira dirimu akan berubah menjadi hina? Bahkan sesungguhnya ia yang kerap mengeluarkan kata-kata hinaan itulah yang justru isi kepalanya dipenuhi hinaan yang tak kuasa ditampungnya. Ijinkan saja ia menguranginya lewat kata-kata agar pikirannya makin lama menjadi kian bersih, Manu."

Guru, Meski hijaunya padang rumput itu begitu luas terhampar, rusa-rusa yang merumput disana tetap terlihat waspada, begitu banyaknya rumput segar di depan rusa-rusa itu, kenapa rusa-rusa itu tampak tidak tenang menikmatinya? Bukankah tiada rasa kelaparan yang layak rusa-rusa itu cemaskan lagi?"
"Manu, meski semua berkah kehidupan ini hadir berlimpah bagi rusa-rusa itu, kewaspadaan tak layak rusa-rusa itu abaikan karena para pemangsa selalu siap membuat sia-sia segala berkah hidup di depan rusa-rusa itu. Begitu pun denganmu, Manu. Saat kau mendapatkan berkah hidup yang berkelimpahan, jangan abaikan kewaspadaan. Sebab dalam hidupmu pun banyak pemangsa yang akan membuat berkah itu menjadi sia-sia. Bisikan-bisikan keinginan duniawi dalam dirimu bisa menjadi pemangsa yang lebih kejam daripada penipu di luar dirimu. Sifat kikir, kesombongan, keangkuhan oleh rasa keberlimpahan itu bisa memangsa bahkan membunuh sifat-sifat welas asih Jiwamu. Dan sia-sialah berkah itu karena kau menjadi pribadi yang mati dalam sifat simpati dan empati."
  
"Guru, menghadapi orang-orang yang sikap dan tindakannya padaku begitu menjengkelkan, salahkah bila aku marah? Sebab jika aku tidak marah, batinku yang sakit. Namun jika aku marah, dia yang tersakiti. Apa pilihan sikap terbaik yang mesti kupakai?"
"Manu, kemarahan bukanlah hal yang selalu buruk. Namun ia menjadi buruk jika disalurkan dengan menggunakan kata-kata dan sikap yang buruk. Kemarahan itu menjadi bermanfaat baik untuk menyadarkan jika kau menggunakan kata-kata, sikap dan tindakan yang juga baik. Tidak saja berbuat baik itu memerlukan latihan agar menjadi ikhlas dalam kebaikan, menyampaikan kemarahan pun butuh belajar dan latihan, karena kemarahan itu energi yang besar, Manu. Ia akan sia-sia jika kau menyia-nyiakan energi yang bertujuan baik itu."

"Guru, ajarkan aku bagaimana agar kelak bisa melepas tubuh ini dengan ikhlas ketika tiba saatnya kembali."
"Manu, kau tak pernah ingat tubuh-tubuh yang pernah kau tempati di kehidupan terdahulu. Tidak pula kau tahu tubuh apa yang akan kau tempati kelak. Begitulah tubuhmu saat ini pun akan kau lupakan juga ketika kau telah memiliki kehidupan baru setelah melewati kematian nanti. Jika semua tubuh yang pernah kau tempati itu akhirnya kau lupakan, lalu apa yang sulit untuk melepas tubuhmu ini ketika kematian itu tiba?"

"Guru, kenapa begitu sulit menerima kata-kata atau sikap yang menyakitkan batin ini? Apa sesungguhnya yang menciptakan rasa sakit di batin ini agar aku bisa mengatasinya?"
"Manu, sesungguhnya tidaklah sulit menerima hal itu. Karena ketika kau merasa tersakiti oleh kata-kata atau sikap seseorang, itu pertanda bahwa kau sudah menerimanya. Hanya saja kau menerimanya sebagai sesuatu yang menyakitkan. Rasa sakit itu muncul karena kau menganggap kata-kata atau sikap itu akan merugikanmu. Kapan kau melihat keuntungan disana, kau akan berhenti merasa tersakiti oleh kata-kata atau sikap apa pun yang biasanya terasa menyakitkan bagi batinmu."

"Guru, jika Tuhan lah yang menciptakan seluruh unsur dan materi alam semesta ini, lalu siapakah yang menciptakan Tuhan?"
"Manu, Tuhan tidak diciptakan dan juga tidak dilahirkan. Tuhan ada dari apa yang sebelumnya ada. Tuhan adalah keberadaan yang abadi bersama segenap semesta Tuhan."
"Tapi, bukankah selalu ada awal dan akhir? Lalu, tidakkah ada awal sebelum akhirnya Tuhan ada?"
"Segala yang berawal memang akan berakhir. Namun Tuhan adalah awal dari semua yang ada dan menjadi akhir dari semuanya. Tuhan adalah awal sekaligus akhir dari segalanya, darimana semuanya kembali berawal."
"Jika semua pada akhirnya akan kembali ke titik awal, lalu untuk apa mesti ada kehidupan?"
"Kehidupan ini ada agar awal itu bisa berproses menuju akhir yang juga menjadi titik awal bagi proses berikutnya. Itulah keabadian siklus kehidupan dalam semesta Tuhan yang tak terbatas, Manu."
"Apakah yang menggerakkan seluruh kehidupan ini bisa berjalan dari awal menuju akhir dan kembali berawal?"
"Dualitas, Manu. Keberadaan segala dualitas semesta itulah yang menciptakan gerak dan kehidupan. Keniscayaan akan tercapainya keseimbangan dualitas itulah yang terus menggerakkan segala isi semesta ini hingga tercipta kehidupan."
"Apa yang terjadi ketika segala dualitas itu sudah seimbang?"
"Itulah titik awal dan akhir dari semesta ini, dengan mana Tuhan memulai menciptakan ketidakseimbangan agar berproses kembali mencapai keseimbangan semestanya."

"Guru, salahkah jika aku mencari Tuhan meski aku tahu Tuhan sudah ada dimana-mana? Dan bila pencarian itu bukan sebuah cara yang salah, bagaimana aku mencari dan menemukan Tuhan yang tak berwujud itu?"
"Manu, carilah Tuhan dengan tubuh, pikiran atau Jiwamu."
"Ia yang mencari Tuhan dengan tubuhnya, akan menjalankan peran dan tugas kehidupannya dengan tekun dan ikhlas. Saat berjumpa dengan Tuhan, ia akan larut dalam kerja yang penuh cinta kasih."
"Ia yang mencari Tuhan dengan pikirannya akan tekun dan cermat mengamati setiap pengetahuan yang  Tuhan simpan dalam segala sisi kehidupan. Saat ia berjumpa dengan Tuhan, ia memahami Tuhan sebagai inti segala pengetahuan semesta dan larut dalam pencerahan oleh pengetahuan itu."
"Ia yang mencari Tuhan dengan Jiwa, ia akan menjalani kehidupan ini dalam penerimaan akan segala rasa. Saat Jiwanya berjumpa rasa dengan Tuhan, ia akan larut dalam keheningan dan kesadaran akan kesemestaan Tuhan."
"Begitulah Manu, semua jalan itu adalah pilihan bagimu. Tentukan jalan mana yang membawamu pada perjumpaan yang kau rindukan itu."

"Guru, dalam usaha mencari kebenaran sejati atau bertemu dengan Tuhan yang sejati, bagaimana aku membedakannya dengan yang bukan sejati?"
"Manu, rasa yang muncul dalam perjumpaan itulah yang menumbuhkan keyakinan akan perjumpaan dengan kesejatian. Seperti dahaga yang berjumpa air, seperti lapar yang berjumpa makanan, seperti lelah yang bertemu tidur, bagai ikan yang bertemu air, bagai burung yang berjumpa angkasa, begitulah rasa perjumpaan dengan yang sejati."

"Guru, jika Tuhan adalah sumber kebenaran dan Tuhan ada dimana-mana melampaui ruang dan waktu, lalu kenapa kebenaran mesti muncul atau menang pada akhirnya, bukan di awalnya?"
"Manu, jika kebenaran itu ada di awal, lalu bagaimana kau bisa mengerti dengan kesalahan lalu belajar pada kesalahan itu?"

“Guru, Seringkali hujan deras disertai angin badai akan berlalu lebih cepat daripada hujan gerimis yang meneteskan airnya sedikit demi sedikit. Seakan langit sedang menenangkan batin yang tergerus oleh bertubi-tubinya penderitaan”.
"Begitulah Manu, badai kegelapan, duka dan penderitaan yang hadir bertubi-tubi dalam hidupmu akan cepat menuntaskan hutang pahala karmamu di bumi ini, daripada derita kehidupan yang hadir sedikit demi sedikit, namun sepanjang hayat akan terus menyisakan pahala karma bagi kehidupanmu berikutnya."

"Guru, saat aku terjebak dilema dalam memilih, bagaimana aku tahu mana pilihan yang benar atau salah?"
"Manu, sesungguhnya di kehidupan ini tidak ada pilihan yang benar atau salah, karena betapa pun salahnya bagimu sebuah pilihan, egomu pasti akan menciptakan pembenaran atas apa yang sudah kau pilih. Sesungguhnya yang ada hanyalah pilihan yang tepat atau keliru, sesuai dengan apa akibat yang kau inginkan atau kau hindari. Apa pun yang dirasakan orang akibat dari pilihanmu, maka kelak kau akan merasakan hal serupa sebagai akibat dari pilihan yang sama oleh orang lainnya."

"Guru, kehidupan ini sepertinya sudah dipenuhi kekacauan dan penderitaan. Sekali ini, hadirkanlah Tuhan disini memberi pesan kekuatan bagiku dalam menghadapi kenyataan hidup ini."
"Manu, setiap rasa sakit yang kau alami adalah pelajaran karma agar kau mengerti rasa sakit yang pernah kau berikan pada siapa pun di masa lalu. Dan untuk setiap rasa bahagia yang kau terima hari ini, itu adalah pahala karma atas rasa bahagia yang pernah kau berikan pada siapa pun di masa lalu."
"Berhentilah mengeluh dalam setiap keadaan hidupmu, Manu. Karena itu akan menghalangi kecerdasan dalam dirimu untuk mengatasi setiap masalah, seperti sebongkah batu yang menyumbat aliran air jernih yang datang dari danau."
"Tuhan selalu ada bersama kalian, Manu. Bebaskan dirimu dari rasa cemas menghadapi kehidupan ini. Jika bagimu Tuhan adalah energi, maka Tuhan adalah energi yang selalu ada memberi kekuatan bagi tubuhmu lewat makanan. Tuhan adalah energi pengetahuan yang menguatkan pikiranmu untuk menyusun segala langkah. Dan Tuhan adalah energi cinta kasih yang menguatkan Jiwamu untuk menjalani peran kehidupan ini."
"Manu, jika Tuhan adalah Sang Pemberi Kehidupan bagimu, maka pejamkan matamu saat ini juga. Lalu rasakan setiap aliran napas kehidupan yang memasuki tubuhmu. Jika kau menyadarinya, itulah Tuhan yang sedang memasuki dirimu dan memberi energi kehidupan bagimu. Itulah cara Tuhan selalu ada bersamamu di kehidupan ini. Bangkitlah. Apalagi yang mesti kau cemaskan."

"Guru, konon Tuhan tak pernah tidur. Bagaimana Tuhan bisa selalu kuat dan hidup abadi tanpa tidur?"
"Manu, tentu saja sulit bagimu memahami bagaimana Tuhan bisa tidak tidur sepanjang jaman, bila dalam pemahamanmu Tuhan adalah sosok mahluk hidup sepertimu. Selama kau masih memahami Tuhan sebagai mahluk hidup, kau akan bertanya apakah Tuhan laki-laki atau wanita. Apakah Tuhan tua atau muda, apakah Tuhan berukur manusia besar atau kecil. Namun kelak saat kau memahami kesejatian Tuhan yang tak berwujud, kau akan mengerti sepenuhnya tentang diri Tuhan."

"Guru, kenapa Tuhan menciptakan segala mahluk yang berbeda di bumi ini? Agama-agama berbeda, suku berbeda, negara berbeda, dan berbagai perbedaan lainnya."
"Manu, Tuhan menciptakan perbedaan agar kalian belajar hidup bersama dalam perbedaan itu dan bukan hidup bertikai dalam kebersamaan. Jika Tuhan menciptakan segala yang sama, maka Tuhan bukanlah Sang Maha Pencipta. Dan bayangkanlah apa yang terjadi jika Tuhan menciptakan segala-galanya sama. Dengan itu kau akan mengerti kenapa Tuhan menciptakan berbagai perbedaan."

"Guru, jika Tuhan memang tak terjelaskan dan tak terpikirkan, lalu untuk apa Tuhan berkahi kami potensi pikiran yang cerdas melampaui kemampuan mahluk hidup lainnya ?"
"Manu, Jiwamu Tuhan ijinkan lahir dalam tubuh manusia yang memiliki potensi kecerdasan pikiran, agar kau terus menumbuhkan bibit kecerdasan itu. Dengan demikian, kelak kau bisa mengenal dan memahami kesemestaan Tuhan dengan kecerdasanmu, hingga tidak ada lagi penjelasan yang kau perlukan untuk meyakini bahwa Tuhan memang ada sebagai Kecerdasan Semesta Yang Tak Terbatas."
  
"Guru, untuk dosa yang pernah kulakukan, apakah benar Tuhan akan mengganjarnya dengan hukuman abadi di neraka?"
"Manu, rasa pedas itu akan tetap kau rasakan jika kau terlanjur memakan cabai. Rasa itu akan berlangsung lama sesuai banyaknya cabai yang kau kunyah. Namun jika setelah itu kau berganti mengunyah gula, maka rasa manis gula itu akan menutupinya. Begitu pun dosa akan memberimu rasa tersiksa batin yang kau sebut neraka. Lamanya tergantung banyak tidaknya rasa penyesalan yang muncul untuk setiap kekeliruan yang pernah kau lakukan saat kehidupan. Jika kau memperbanyak menggantinya dengan perilaku cinta kasih, maka rasa penyesalan itu akan cepat berlalu, tergantikan oleh rasa kepuasan dan kebahagiaan."

Dibalut batin yang penuh kesedihan, Manu menatap air yang membanjiri kota dan desa, mencoba melihat makna di baliknya. Tiba-tiba seekor angsa lewat berenang di depannya sambil bersuara, seperti sedang membantunya menemukan makna dibalik bencana banjir itu.
"Manu, lihatlah air itu. Ia datang dari hujan di gunung untuk mengalirkan unsur-unsur disana demi menyuburkan lembah. Sungguhlah air itu penuh berkah. Ia akan mengalir lewat sungai, menyebar ke sawah-sawah dan ladang untuk membagi berkah kesuburan dari gunung. Namun saat air penuh berkah itu berlimpah-limpah dialirkan ke lembah, hingga sungai-sungai tak lagi mampu menampung aliran berkah itu, disitulah ia menjadi banjir yang kau sebut sebagai bencana, bukan banjir berkah. Lihatlah, berkah yang berlimpah pun bisa tampak sebagai bencana, jika kau tak bisa mengalirkannya dengan baik."
Manu hanya terdiam, merenung dan mengenang kembali betapa banyak berkah berlimpah lainnya yang terlihat sebagai bencana baginya.

"Guru, sampai kapan bencana demi bencana ini akan berlalu?"
"Bencana itu akan berlalu tepat ketika kau melihat berkah pembelajaran semesta di baliknya, Manu."

"Guru, benarkah bahwa hanya orang bodoh yang membicarakan tentang Tuhan? Karena konon yang bicara itu tidak tahu dan yang tahu itu tidak bicara. Lalu bagaimana kita tahu tentang Tuhan jika kita tidak pernah membicarakan atau diajarkan tentangNya?"
"Benar Manu. Hanya orang bodoh yang membicarakan tentang Tuhan, karena dengan itulah kebodohannya akan diterangi oleh pengetahuan tentangNya. Saat kau sudah tahu tentangNya dan bertemu dengan orang yang juga sudah tahu, disitulah mereka yang tahu tidak akan lagi membicarakan apa yang sudah sama-sama mereka ketahui. Nah, jika kau belum benar-benar tahu tentang Tuhan, jadilah orang bodoh yang haus akan pengetahuan tentangNya. Jika kau tidak tahu namun tidak mau membicarakanNya karena takut disebut bodoh, maka kau tak akan pernah tahu kebenaranNya."

"Guru, ada orang-orang kaya yang Tuhan biarkan bangkrut, ada juga orang-orang miskin yang Tuhan ijinkan berkembang menjadi kaya. Sebaliknya, ada orang kaya yang Tuhan bantu bertambah kaya dan orang miskin Tuhan biarkan hidup makin menderita dalam kemiskinan. Sebenarnya bagaimana Tuhan memilih siapa yang akan Tuhan bantu dalam kehidupan ?"
"Manu, Tuhan dan semesta ini membantu tanpa menghakimi siapa yang pantas dibantu atau siapa yang tidak pantas. Semesta membantu mereka yang membantu dirinya sendiri untuk berjalan ke arah kebahagiaan. Maka belajarlah membantu orang tanpa menghakimi mereka, Manu."

"Guru, kenapa orang-orang mesti membenci bahkan memusuhiku hanya gara-gara aku memberitahukan ide-ideku demi kebaikan mereka? Kenapa ide kebaikan mesti begitu susah menciptakan kebaikan?"
"Manu, setiap ide yang baik jika dijalankan dengan baik tentu akan menciptakan kebaikan. Namun ide itu baru akan dijalankan jika sudah bisa diterima bersama. Jika ide kebaikan itu masih ditolak, bukan berarti idemu itu buruk. Mungkin caramu menyampaikannya yang belum mampu membuat mereka menerima dengan baik ide yang kau tawarkan itu. Ide yang baik, demi keadaan yang lebih baik, mestilah disampaikan dengan cara yang baik agar diterima dengan pikiran dan hati yang baik pula. Saat semua proses itu berjalan dengan baik, pastilah akan menghasilkan kebaikan. Jika ide baikmu itu justru menciptakan pertikaian pikiran dan perasaan, jangan lupa, perhatikan kembali caramu menyampaikannya. Mungkin disitu letak kekeliruannya."

"Guru, aku ingin merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupku. Ajarkan aku ciri-ciri kehadiran Tuhan?"
"Manu, untuk setiap pikiranmu yang tulus tentang Tuhan, untuk setiap kata-kata yang kau ucapkan sepenuh cinta kasih Jiwamu, dan untuk setiap tindakan kebaikan yang kau lakukan dengan cinta kasih, ketika semua itu mengalirkan air mata yang tidak kau mengerti dengan pikiranmu yang terbatas, karena itu bukan air mata kesedihan atau pun kebahagiaan pikiranmu, itulah ciri saat kehadiran Tuhan menyentuh kepekaan Jiwamu dengan cinta kasih semesta Tuhan."

"Guru, kenapa begitu sulit membuat orang itu memahami diriku? Selalu saja aku yang diminta memahami dirinya. Bagaimana menghadapi orang seperti ini?"
"Manu, sesulit kau membuat orang lain memahamimu, sesulit itulah baginya membuat dirimu memahaminya. Selama masing-masing dari kalian hanya ingin dipahami, selama itu kalian tidak akan mudah saling memahami. Mulailah memahaminya, maka kau akan tahu mengapa sulit bagimu membuatnya memahamimu."

"Guru, saat batinku lelah menghadapi masalah-masalah dalam hidup ini, apa yang harus kulakukan.?"
"Manu, duduklah istirahat sejenak. Pejamkan matamu dan sunggingkan senyummu dengan tenang. Amati apa pun yang muncul dalam pikiran. Tetap tersenyum pada semua ingatan yang muncul. Meski kau tidak mengerti kenapa harus tersenyum pada mereka, nanti senyum itu sendiri akan membuatmu mengerti dan menerima semua peristiwa suka-duka kehidupan dengan ikhlas."

"Guru, di jaman ini? Menjadi orang jahat ternyata jauh lebih mudah sukses dan berhasil secara materi dibanding menjadi orang baik. Bagaimana kami bisa bertahan di jalan kebaikan?"
"Manu, seperti perguliran siang dan malam, begitulah berkah dan bencana datang bergantian seiring waktu. Kejahatan memang di awal seakan membawa berkah, tapi di ujung waktunya akan dihampiri bencana. Kebaikan seakan ditemani bencana dan kesulitan di awalnya, tapi di ujungnya akan disirami berkah. Kau boleh memilih mendapatkan berkah di awal namun di ujungnya ada bencana, atau sebaliknya mendapat bencana dulu sebelum akhirnya mendapat berkah."

"Guru, dengan terbatasnya kemampuan tubuh yang Tuhan ciptakan untukku ini, kenapa justru Tuhan ijinkan aku memiliki keinginan pikiran yang tak terbatas?"

"Manu, dengan cara itulah semesta sedang menjaga pikiranmu agar tidak lebih mudah melekat pada tubuh yang terbatas itu, namun memilih untuk lebih melekat pada Jiwamu yang tak terbatas. Betapa pun, kelak tubuh itu harus kau tinggalkan juga usai tugasnya mengantarmu menjalani proses pembelajaran diri di bumi ini. Kemelekatan pada tubuh akan menghambat Jiwamu pulang kepada Tuhan."

"Guru, kenapa aku dan orang-orang di bumi ini ada yang begitu sensisif dan mudah tersinggung, marah pada hal-hal yang mestinya sepele? Bagaimana menghadapi mereka yang peka seperti itu?"
"Manu, ingatlah saat tubuhmu terluka atau sakit, bahkan sentuhan lembut pun kadang menyebabkanmu bereaksi keras menghindar. Begitulah saat batin seseorang pernah terluka oleh sebuah pengalaman yang menyakitkan, ia akan mudah tersinggung saat ingatan itu disentuh kembali dengan kata-kata, sikap apalagi tindakan. Ketersinggungan adalah pertanda luka batin yang belum tersembuhkan. Jika kau menghadapi dirimu atau orang lain yang mudah tersinggung, berhentilah membencinya tapi berilah perhatian dan cinta kasih yang merawat dan membantu penyembuhan luka itu."

Guru, bagaimana cara menghadapi orang yang suka berbohong dan membuat alasan untuk pembenaran
“Manu, Untuk menghadapi mereka yang suka berbohong, kita hanya perlu hati-hati terhadapnya tanpa memandang negatif pada orang tersebut. Menjadi pembohong adalah haknya, tidak ada yang perlu diubah, akan ada saatnya dia memasuki kesadaran diri dan berhenti menjadi pembohong. Untuk itu terima saja dengan ikhlas.

"Guru, saat ini aku berada jauh dari rumah, tapi rasanya tetap bahagia seperti sedang di rumah sendiri. Apa sesungguhnya yang terjadi? "
"Manu, rumah kebahagiaan dan kedamaian yang sesungguhnya itu ada dalam batinmu sendiri. Jika kau sudah menemukan rumahmu itu, tidak akan ada ruang dan waktu yang bisa menghilangkan rasa itu, karena kau akan tetap memiliki tempat yang cepat untuk kembali bernaung di dalam suasananya. Seperti kura-kura dan rumah cangkangnya."

"Guru, kenapa di kehidupan ini mesti Tuhan ciptakan kaya dan miskin? Sungguh menderita hidup dalam kemiskinan."
"Manu, orang-orang miskin bekerja untuk menghidupi orang-orang kaya, dan tanpa kau sadari orang-orang kaya itu bekerja untuk memberi hidup pada orang-orang yang lebih miskin darinya. Kemiskinan menimbulkan penderitaan dalam kekurangan, kekayaan pun menciptakan penderitaan dalam kemelekatannya. Namun ia yang telah ada dalam kebebasan Jiwa, kemiskinan dan kekayaan memberi makna yang sama."

"Guru, berkahilah aku agar bisa menjadi orang penting di dunia ini. Saat ini aku tidak punya apa pun untuk kubanggakan."
"Manu, setiap diri kalian adalah penting bagi semesta ini. Semua diri kalian adalah penting bagi Tuhan. Jika kau tidak penting untuk Tuhan, maka kau tidak akan Tuhan ciptakan untuk ada di dunia ini. Maka jalanilah hidupmu seperti layaknya orang-orang penting. Hargai dirimu sebagai orang penting. Hargai siapa pun, hargai apa pun, karena semuanya sama penting bagi Tuhan dan bagi semesta ini. Bangkitlah kini sebagai orang penting yang berharga, apa pun adanya dirimu."

"Guru, betapa sulit rasanya mengubah orang lain agar tidak lagi memandang negatif atau hanya melihat kelemahan dan kekuranganku. Apa yang harus kulakukan menghadapi pandangan mereka yang menyakitkan itu?"
"Manu, setiap orang Tuhan ciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan setiap orang memiliki hak untuk memilih melihat kelebihan ataukah kekurangan orang lainnya. Kau tidak bisa memaksa mereka untuk memilih melihat sisi positif atau kelebihanmu. Tapi kau bisa belajar untuk menerima bahwa itulah pilihan mereka dalam menilaimu. Jika mereka hanya melihat kelemahan atau sisi negatifmu, mereka sedang pada sisi dirimu yang itu. Sebaliknya, jika mereka memilih melihat sisi positif dan kelebihanmu, sisi itulah yang ingin mereka pelajari. Bebaskan mereka memilih, maka kau akan terbebas dari rasa gusar oleh penilaian mereka."

"Guru, hidup ini seringkali terlalu berat untuk dijalani suka dukanya dan kematian pun selalu begitu menakutkan untuk dihadapi. Bagaimana aku bisa tenang menjalani hidup dan menghadapi kematian itu?"
"Manu, hidup adalah saat bagimu untuk menikmati permainan di bumi dan kematian adalah saatmu untuk pulang ke rumah Jiwamu yang damai membahagiakan. Tuhan selalu ada menemanimu dalam suka duka kehidupan, dan Tuhan selalu ada menantimu saat pulang dalam kematian. Tuhan hanya tidak menyadari Tuhan selalu ada bagimu dan tidak mengira Tuhan selalu menantimu saat Jiwamu pulang kelak. Maka, apakah lagi yang mesti kau takutkan, Manu?"

"Guru, kenapa Tuhan isi batinku dengan rasa takut, marah, benci dan sedih? Semua rasa itu begitu menyiksa. Lenyapkanlah semua itu dari batinku."
"Manu, Tuhan memberi kau rasa takut bukan untuk menjadikanmu penakut, tapi untuk membuatmu menjadi pemberani dengan mengatasi rasa takut itu.
Tuhan memberi kau rasa marah bukan untuk menjadikanmu pemarah, tapi agar kau belajar menjadi penyabar dengan berlatih mengendalikan kemarahan itu.
Tuhan memberi kau rasa benci bukan untuk membentukmu menjadi pendendam, melainkan menjadikanmu pribadi penuh cinta kasih setelah kau pelajari kebencianmu.
Dan Tuhan memberi kau rasa sedih bukan untuk membuatmu menjadi putus asa pada kehidupan, tapi agar kau belajar selalu bisa bangkit menjadi pribadi yang tegar dalam segala keadaan.
Temukan kebaikan dibalik setiap hal yang kau kira buruk, kau akan mengerti arti cinta kasih Tuhan."

"Guru, kami selalu berdoa pada Tuhan saat melakukan usaha demi meraih harapan kami. Tapi kenapa kenyataan selalu Tuhan biarkan tidak sesuai dengan harapan kami?"
"Manu, jika kenyataan itu bagimu selalu tidak sesuai harapan, itu karena kau memilih berhenti di saat harapan itu belum tercapai. Ia yang memilih untuk sabar dan tetap bangkit berjuang, suatu ketika Sang Waktu akan membawa harapan itu pada kenyataannya."

"Guru, manakah yang lebih penting di kehidupan ini menjadi orang pintar ataukah orang baik?"
"Manu, menjadi orang pintar itu adalah pilihan yang baik. Menjadi orang baik, adalah pilihan yang pintar."
  
"Guru, kenapa begitu sulit melupakan kenangan buruk yang dilakukan orang lain padaku? Apa yang mesti kupikirkan agar aku bisa melupakan hal itu?"
"Manu, belajar melupakan apa yang kau ingat, sama sulitnya dengan belajar mengingat apa yang sudah kau lupakan. Maka belajarlah untuk hanya mengingat apa yang tak ingin kau lupakan, itu akan membuatmu lebih tenang dan bahagia."

"Guru, dalam kuasa Tuhan yang tak terbatas, dimana segala keinginan Tuhan pasti terjadi, kenapa tidak Tuhan penuhi saja setiap doa anak-anak semesta Tuhan. Kenapa Tuhan tidak melibatkan diri dalam pergolakan suka-duka kami?"
"Manu, karena kuasa tak terbatas dan segala yang Tuhan inginkan pasti terjadi itulah sebabnya Tuhan membebaskan diri dari segala keinginan. Karena keinginan Tuhan akan menjadi kehendak, dan kehendak itu akan menjadi kenyataan. Tuhan tidak melibatkan diri secara ketat dengan kehidupan kalian, agar kalian memiliki kebebasan dalam berproses. Tuhan telah menyediakan proses dalam kehidupan kalian, agar hanya ia yang benar-benar berharap dan berusaha mencapai harapan itu yang akan sampai di tujuannya. Jika dengan kuasa itu Tuhan memenuhi segala doa dan keinginan kalian, bayangkan kekacauan yang akan terjadi di duniamu karena keinginan satu orang saja dari kalian sudah begitu banyak dan selalu berubah begitu cepatnya. "

"Guru, Aku berdoa kepada Tuhan untuk maafkan aku atas segala kesalahan dan hal-hal buruk yang pernah kulakukan."
"Manu, Tuhan tidak pernah menyalahkan kalian atas apa pun yang kalian lakukan. Batinmu adalah tempat suci Tuhan dalam dirimu. Lewat apa pun yang kau persembahkan ke tempat suci itu, Tuhan memberimu pahala. Saat kau persembahkan hal-hal negatif ke dalam batinmu dan batin siapa pun, kelak Tuhan memberkahimu dengan rasa dukacita. Saat kau persembahkan hal-hal baik, Tuhan memberkahimu dengan sukacita. Maka pastikanlah persembahanmu ke dalam batinmu, agar kau diberkahi apa yang kau harapkan, Manu."

"Guru, jika Tuhan maha pelindung, kenapa Tuhan biarkan tindakan-tindakan kekerasan terjadi diantara sesama manusia, bahkan diantara mereka yg beragama? Kenapa tidak Tuhan sadarkan mereka tentang cinta kasih, padahal Tuhan adalah sumber cinta kasih semesta."
"Manu, mengalami kesadaran adalah tugasmu sendiri dan Tuhan hanya berperan menuntun jalanmu ke arah yang kau tuju. Tuhan menyediakan proses dalam skenario semesta ini untuk membawamu menuju kesadaran semestamu. Namun kau sendirilah yang berhak memutuskan, kapan kau akan berjalan ke arah cinta kasih itu dalam tuntunan Tuhan. Tentukanlah tujuan hidupmu, pilihlah jalanmu, maka Tuhan akan menuntunmu. Tugasmu bukan mengubah orang lain menjadi lebih baik, namun lebih untuk mengubah dirimu sendiri menjadi lebih baik."

“Guru, lihatlah rumput dan dedaunan kering itu segera saja terbakar oleh bara di sepuntung rokok yang ditinggal oleh para pelancong di gurun.
"Manu, seperti itulah batinmu jika kering dari sifat empati dan cinta kasih. Ia akan mudah terbakar oleh sikap atau kata-kata provokasi sekecil apa pun. Segera sirami batinmu dengan kesejukan dan jernihnya kesadaran, Sebelum kau dihancurkan oleh bara emosi yang dihembuskan oleh angin isu di sisi dunia yang kian kering dari kesadaran cinta kasih ini."


“Guru, Burung Derkuku itu tampak bingung di depan dapur. Tampaknya ia terlepas dari sangkarnya karena pintu sangkar tak sengaja terbuka. Saat didekati, ia hanya mencoba menghindar tapi tidak terbang.
“kenapa burung Derkuku itu bingung dan tidak terbang saja merayakan kebebasan?"
"Manu, burung Derkuku itu terbiasa terpenjara dalam sangkar. Karena itulah burung Derkuku itu bingung harus terbang kemana. Begitulah jika batinmu biasa terjebak dalam penjara kemarahan, kesedihan, kecemasan atau sangkar emosi negatif lainnya. Saat kau terbebas, kau akan bingung dan mudah kembali terjebak dalam emosi-emosi negatif itu lagi."

“Guru, meski burung merpati pun sering bertikai diantara mereka, tetapi manusia menjadikannya simbol perdamaian. Mengapa burung merpati layak dijadikan simbol perdamaian?"
"Manu, burung merpati selalu bisa terbang kembali ke rumahnya dimana mereka selalu merasa damai. Manusia adalah Jiwa-Jiwa damai yang lahir di dunia penuh pertikaian di luar dan dalam diri ini. Manu, Pulanglah kembali ke rumah Jiwa di dalam, disana ada kedamaian. Itulah kesejatian sifat Jiwa, penuh kedamaian. Jika burung merpati saja selalu bisa pulang ke rumah mereka yang damai, kau pun pasti bisa menemukan rumah kedamaianmu dalam diri."

"Guru, aku berdoa kepada Tuhan untuk memaafkan kesalahan pikiran, kata dan tindakanku selama ini, dan ajarkan padaku cara untuk tidak melakukan kesalahan lagi."
"Manu, sesungguhnya tidaklah ada yang salah pada pikiranmu. Pikiran tiap manusia itu murni. Dia hanya bertanya dan mencari jawaban atas masalah kehidupan yang dihadapinya. Bisikan-bisikan yang muncul dalam benakmu itu yang bersifat salah-benar atau baik-buruk, sesuai dengan aturan yang kalian sepakati di kehidupan kalian di bumi. Saat pikiran kalian mengikuti bisikan dalam diri yang bersifat salah atau buruk itulah, maka kesalahan dan keburukan telah mulai menjadi nyata sebagai pribadimu. Belajarlah untuk memilih bisikan yang patut diikuti sesuai norma kehidupanmu, dengan begitu kau akan terbebas dari sifat buruk dan salah. Di hadapan semesta Tuhan tak ada salah-benar atau baik-buruk. Yang ada hanya sebab dan akibat, pilihan dan konsekuensi. Berhati-hatilah memilih apa yang tidak aku inginkan akibatnya."

"Guru, apa sejatinya tujuan semesta menciptakan berbagai peristiwa suka duka dalam kehidupan kami?"
"Manu, setiap peristiwa yang kau alami di kehidupan ini, adalah kepingan-kepingan puzzles. Siapa saja rajin mengamati dan menerima kepingan-kepingan itu dengan ikhlas, lalu menyatukannya dalam formasi makna yang tepat, dia akan berhasil melihat dirinya serta makna kehidupannya secara utuh dan sempurna."

"Guru, saat aku sedang belajar untuk berbahagia melihat orang lain bahagia, kenapa mesti Tuhan pertemukan aku dengan orang-orang yang malah senang menyakiti perasaanku?"
"Manu, jika kau memang ingin belajar berbahagia melihat orang lain bahagia, maka belajarlah melihat betapa bahagianya orang yang senang menyakitimu itu, saat ia merasa berhasil menyakiti perasaanmu. Ada banyak orang berbahagia dengan kebaikanmu dalam bentuk pemberian, ada banyak pula orang yang bahagia lewat keikhlasanmu menerima rasa sakit hati yg mencoba dikirimkannya lewat sikap dan kata-kata menyakitkan. Saat kau bisa membahagiakan kedua jenis orang itu, saat itulah kau benar-benar belajar bahagia atas kebahagiaan orang lain."

"Guru, jika kami semua adalah anak-anak semesta yang Tuhan kasihi, kenapa Tuhan biarkan ada Jiwa yang lahir dalam tubuh manusia yang terperangkap kemiskinan, sakit dan penderitaan. Di sisi lain ada Jiwa yang Tuhan ijinkan lahir dalam keluarga yang kaya dan bahagia?"
"Manu, mereka yang lahir dalam kemiskinan, sakit dan penderitaan hidup, adalah para Jiwa yang memilih lahir dalam kondisi seperti itu untuk belajar ikhlas menerima semua rasa duka kehidupan. Sedangkan yang lahir dan berhasil menjadi kaya dan bahagia, adalah para Jiwa yang kini memilih belajar untuk bisa ikhlas melepas semua kepemilikan yang dulu belum belajar mereka lepas dengan ikhlas di bumi ini. Maka jika hidupmu ada dalam penderitaan saat ini, sudahkah kau belajar untuk ikhlas menerimanya? Jika kini kau ada sebagai manusia yang kaya dan bahagia, sudahkah kau belajar melepas semua itu dengan ikhlas. Karena hidup adalah proses untuk belajar ikhlas menerima apa yang dulu dibenci dan ikhlas melepas yang dulu begitu disukai."

“Guru, hari ini bangsa Indonesia bernyanyi riang merayakan momen kemerdekaan dari belenggu penjajahan asing, burung kutilang dalam sangkar itu seakan ikut bernyanyi riang meski dirinya sendiri masih terbelenggu disana. Mengapa burung kutilang itu bernyanyi dalam sangkar penjara itu guru?"
"Manu, makna kemerdekaan Jiwa-raga itu bukanlah semata-mata kebebasan saat kau bisa berada diluar penjara fisik. Saat batinmu masih menderita karena terjajah oleh kebencian, kemarahan, kesedihan, rasa takut dan kecemasan pikiranmu sendiri, itu bukanlah kemerdekaan sejati. Bebaskan dirimu dari semua penjajah dalam diri yg selalu membuatmu menderita di kehidupan ini. Itulah kebebasan hakikimu. Penjara dalam diri lebih menyiksa daripada penjara di luar diri, Manu."

“Guru, dengan tenang perkutut itu bertengger di atas kawat berduri tanpa takut terluka oleh duri tajam yang mengancam di pijakannya. Betapa tenangnya perkutut itu hinggap disana, Tidakkah perkutut itu takut tertusuk oleh kawat ranjau itu?"
"Manu, ketenangan selalu lebih mudah menyelamatkanmu dari bahaya yang lebih buruk. Begitu pun dalam perjalanan kehidupan yang penuh ancaman ranjau-ranjau negatif dari dalam dan dari luar diri ini, selama kau bisa memelihara ketenangan batin dan pikiranmu, kau akan bisa sampai dengan selamat di tujuan Jiwamu, Manu. Belajarlah untuk selalu tenang dalam segala hal, kau akan mengerti kekuatan dari batin yang tenang itu."

“Guru, Burung kutilang itu sepagi ini sudah berkicau riang, seakan kehidupan ini tak ada hal buruk yang pantas disesalinya. Tidakkah burung kutilang itu lihat hidup ini begitu rumitnya. Ada banyak kejahatan, penipuan, angkara murka, kemarahan, keangkuhan, kekejaman, dan hal mengerikan lainnya. Bagaimana burung kutilang itu bisa mengabaikan semua itu dan masih tetap bernyanyi riang seakan semua baik-baik saja."
"Manu, kehidupan ini dipenuhi segala hal baik dan buruk. Burung kutilang menyadari itu dan kau pun pasti memahaminya. Burung kutilang itu memilih untuk melihat hal-hal baik di kehidupan ini, sehingga burung kutilang itu bisa tetap menikmati napas kehidupan yang diberikan semesta bagi dirinya. Dengan begitu burung kutilang itu bisa bernyanyi riang seakan kehidupan ini adalah sorga abadi yang layak dinikmati dengan rasa gembira. Jika burung kutilang itu hanya fokus pada hal-hal buruk di kehidupan ini, tentu hidup ini seakan ada dalam kubangan neraka, seperti penilaianmu itu. Nah, apakah kini kau memilih menjadikan bumi ini sebagai kehidupan sorga ataukah neraka, Manu? Semesta berserah pada kehendakmu memilih."

“Guru, Setiap kali mendengar kata buaya, yang terbayang di benak adalah kengerian, cengkeraman rahang dan taring tajam yang mematikan. Mereka pemangsa ganas yang menguasai sungai bahkan beberapa lautan. Sementara tanaman lidah buaya ini kenapa justru tenang-tenang saja bertumbuh di halaman rumah ini. Tidakkah lidah buaya ini berniat protes pada manusia agar namanya diubah menjadi lebih lembut? Sebab khasiat tanaman ini begitu banyak manfaatnya, bahkan bisa untuk melembutkan rambut."
"Manu, tidak setiap nama mewakili kebenaran yang dikandungnya. Tanaman lidah buaya ini ikhlas jika manusia menamainya sebagai lidah dari mahluk yang kau sebut mengerikan itu. Agar setiap kali kau ingat pada khasiat alami yang dititipkan semesta pada dirinya, kau juga selalu ingat bahwa penampilan yang tampak buruk tidak selalu menunjukkan bahwa ada sifat-sifat yang buruk di dalamnya. Lihatlah bahwa seringkali kemurnian batin, kebaikan dan ketulusan hati seseorang terpancar lewat kasih sayang Jiwanya, bukan dari penampilan luarnya, Manu."

“Guru, lihat dengan rahang dan taringnya yang mematikan sekejap induk buaya itu menerkam bayi-bayinya, memasukkan mereka ke dalam rahang mengerikan itu utk menjaga mereka disana. Melihat taring buaya yang seakan siap melumat itu, kukira mereka hendak memakan anak-anaknya itu, ternyata tidak."
"Tentu saja tidak, Manu. Meski buaya memiliki rahang dan taring yang tajam untuk melumat mereka dengan mudah, buaya lebih memilih untuk menjaga bayi-bayi mereka dengan kekuatannya itu. Bukankah kau pun mesti demikian, Manu? Dengan kuasa pikiran dan energi tubuhmu itu, kau bisa saja dengan mudah berlaku kekerasan terhadap anak-anakmu. Tapi jika itu yang kau lakukan, seakan menunjukkan bahwa sifatmu lebih ganas dari buaya-buaya tersebut. Bukankah dengan kuasa dan kekuatanmu itu kau lebih pantas memakainya sebagai pelindung bagi mereka terhadap kerasnya kehidupan di dunia ini, Manu?"

“Guru, Lihatlah Ikan-ikan itu berenang riang di sebuah danau, seakan-akan hidup mereka bebas dari masalah. Padahal, di atas air ada burung-burung bangau yang siap memangsa mereka, dan di bawah air ramai buaya menanti dengan rahang mengerikan. Ikan-ikan itu tampak begitu lemah dan rapuh di mata para pemangsa itu, tapi bagaimana ikan-ikan itu bisa riang seakan tiada masalah dalam hidup mereka? Sedangkan aku yang sepanjang hari berdoa dan merasa dekat dengan Tuhan, tak kunjung bebas dari berbagai masalah kehidupan."
"Manu, setiap masalah akan muncul bila terjadi ketimpangan antara harapan dan kenyataan. Maka dimana ada harapan, disanalah selalu mudah hadir masalah. Jika kau berani memiliki harapan, jangan takut pada masalah yang hadir.
Dan ketika Tuhan kau jadikan tempat untuk berharap, maka dimana ada harapan, disana pun ada Tuhan sebagai tempat menggantungkannya. Nyatalah bahwa sejatinya masalah dan Tuhan adalah dua hal yang tak pernah terpisah. Saat masalah hadir, saat itulah Tuhan juga hadir. Sebab masalah dihadirkanNya untuk sebuah tujuan, agar batinmu selalu ingat padaNya sebagai tempat bagimu untuk bergantung."

“Guru, Lihatlah Anak-anak suku Massai itu bersiul-siul memanggil burung-burung liar yang hinggap di atas pepohonan di padang rumput Afrika. Lewat beberapa siulan, burung-burung itu merespon dengan siulan lalu terbang ke pohon-pohon lain diikuti oleh anak-anak tadi. Di sebuah pohon, burung itu berhenti dan tidak terbang lagi. Dengan segera anak-anak itu tahu bahwa di pohon terakhir itulah ada sarang lebah madu. Dan benar, sarang lebah madu disana menjadi rejeki bagi mereka. Tak lupa, usai mendapatkan madunya, sebagian kepingan sarang itu diletakkan di atas batu sebagai hadiah buat si burung penuntun. Wah, bagaimana anak-anak suku Massai itu bisa bekerja sama begitu cerdas dengan burung-burung liar itu, Guru?"
"Manu, sejatinya setiap mahluk di alam liar ini bisa dijadikan sahabat yang saling menguntungkan. Temukan saja cara bersahabat dengan cinta kasih pada mereka, maka kalian akan saling mendapat manfaat. Pun begitu dengan semua orang di sekitarmu, kalian akan saling mendapatkan manfaat jika mau bersahabat penuh cinta kasih, dan bukan saling bermusuhan. Apalagi dalam keluarga, tentu lebih mudah bagi kalian untuk membangun hubungan saling menguntungkan daripada saling merugikan akibat pertengkaran dan pertikaian yang tidak penting."

“Guru, Lihatlah dengan gigi yang serupa burung kakaktua, ikan-ikan Parrotfish itu memakan terumbu karang demi mendapatkan ganggang yang terselip di celah-celah karang. Kotorannya keluar menjadi butir-butir kalsium yang membentuk pantai indah berpasir putih. Setiap ikan Parrotfish bahkan menghasilkan 1 ton pasir putih setahunnya. Lewat peran ikan-ikan parrotfish menciptakan pasir itu, adakah pesan yang berguna bagi kami.?"
"Manu, jika bagimu pantai berpasir putih itu adalah bagian dari keindahan alam yang bisa kau nikmati dengan duduk atau berbaring di atasnya, jangan lupa bahwa semua itu adalah kotoran kami. Maka berhati-hatilah menilai rendah seseorang hanya karena pekerjaannya yang kau sebut kotor. Karena seringkali sifat-sifat kemuliaan muncul dari tempat-tempat seperti itu."

“Guru, Lihatlah laba-laba itu dengan ringannya bergelantungan pada seutas benang kecil di tubuhnya. Perlahan namun pasti ia berpindah dari dahan ke dahan, hingga benang kecil itu terangkai menjadi jaring penghidupan yang kelak menyediakan berkah makanan baginya. Apa pelajaran yang bisa kuserap dari kehidupan laba-laba tersebut, Guru.?"
"Manu, milikilah sebuah keyakinan sebagai tempatmu bergantung, meski keyakinan itu sekecil benang laba-laba itu. Kelak keyakinanmu itu akan menciptakan jejaring karma antar peran-peran semesta yang akan membantumu meraih apa yang kau harapkan dalam hidupmu."

"Guru, ajarkan aku menghindari neraka dan menemukan sorga di kehidupan ini."
"Manu, saat kau menolak panas dan cahaya matahari, kau akan merasakannya sebagai api neraka yang membakar dan membutakan matamu. Saat kau menerima kehangatannya di saat pagi, panasnya di saat siang, dan keindahannya di saat senja, kau akan merasakannya sebagai kehangatan dan cahaya sorgawi. Temukanlah manfaat setiap peristiwa dalam kehidupanmu, maka kau akan merasakan berkah-berkah sorgawi sedang menghampirimu."

"Guru, Lihatlah para semut itu dengan tubuhnya yang kecil dan tampak tiada otot itu para semut itu justru mampu mengangkat beban yang jauh lebih besar dari mereka. Apa yang bisa kupelajari dari para semut itu, Guru?"
"Manu, jika para semut saja bisa sekuat itu, percayalah dalam kecerdasan yang dititipkan semesta pada pikiranmu, sejatinya tak ada beban kehidupan yang terlalu berat untuk kau pikul. Kuatkan hatimu, karena disanalah sumber energimu mengatasi berbagai beban kehidupanmu, Manu."



"Guru, ada Jiwa yang Tuhan panggil pulang ke alam kematian dalam waktu yang begitu cepat. Ada pula yang Tuhan panggil pulang dalam waktu yang begitu lama hingga tersiksa dalam penderitaan fisik. Bagaimana Tuhan menentukan kematian kami.?"
"Manu, ada kematian yang sudah diatur dan disepakati Sang Jiwa sesuai skenario semesta yang mesti dijalaninya dalam peran, tugas dan pembelajaran di kehidupan bumi ini. Kematian seperti ini mudah memberi kedamaian bagi Sang Jiwa setelah kematian. Ada kematian yang ditentukan oleh emosi pikiran seseorang. Ini sering melanggar skenario yang disepakati Jiwanya sendiri sebelum kelahiran di bumi. Kematian seperti ini kerap menyisakan penyesalan Sang Jiwa di alam kematian, hingga bingung memilih antara pulang ke alam Jiwa atau tetap di alam kehidupan bumi yang tak lagi layak baginya. Belajarlah memilih dari sekarang, Manu."

"Guru, jika aku melakukan segala sesuatu dalam peran dan tugasku di kehidupan ini dimulai dengan kata "Atas nama Tuhan yang penuh cinta kasih dan penyayang, apakah aku akan mendapatkan pahala kebahagiaan?"
"Manu, selain dengan kata itu, awalilah juga setiap tugas dan peranmu dengan kata- kata ini 'Atas nama Jiwaku yang penuh cinta kasih dan penyayang'. Jadikanlah kata-katamu itu kenyataan dalam setiap tindakan, maka kau akan mengerti keajaibannya yang membahagiakan dan mendamaikan batinmu dan alam semesta ini."

“Guru, tubuh kita bertumbuh karena "memakan" cahaya matahari. Dimulai saat cahaya matahari bertumbuh menjadi daun-daun yang kita olah menjadi sayur. Atau cahaya itu berubah menjadi rumput-rumput yang dimakan oleh sapi, kambing dan ternak lain yang kita olah menjadi lauk. Semua sumber makanan pada awalnya adalah cahaya matahari. Lalu pikiran kita bercahaya oleh pengetahuan yang terus terserap demi menghilangkan kegelapan pikiran akibat kebodohan. Terakhir, Jiwa kita adalah mahluk cahaya yang ada dalam tubuh manusia. Tersusun oleh ketiga cahaya pada tubuh, pikiran dan Jiwa itu, kenapa kita masih sering ada dalam kegelapan emosional, Guru?
"Manu, saat kau membenci yang negatif dan hanya menerima yang positif, kau tidak akan bisa menyatukan dualitas itu menjadi cahaya kebijaksanaan. Itulah sumber kegelapan dalam dirimu."

3 komentar: