"Guru,
saya masih bingung bagaimana caranya agar kita bisa ikhlas menerima Karma?
Apakah sama seperti menerima dualitas kehidupan? Saya masih belum paham, karena
segala dualitas itu kan diciptakan oleh Tuhan. Tapi kenapa pula kita mesti
menerima akibat dari Karma itu? Apa Karma itu seperti takdir? Apakah saya bisa
merubah Karma?"
"Manu, sebagaimana kau mudah ikhlas
menerima rasa pahit setelah mencicipi kopi, rasa pedas karena cabe, atau rasa
asin karena garam dan rasa manis oleh gula, begitulah hukum sebab akibat yang
mengatur setiap tindakan atau kerja atau Karma di kehidupan semesta ini
berjalan apa adanya untuk diterima apa adanya pula."
"Untuk setiap sebab yang kau pilih,
sesungguhnya kau telah pula memilih akibat dari sebab itu. Begitulah setiap
pilihan Karma akan menyertakan pahala di kemudian hari."
"Maka, entah suka atau duka yang
kau alami saat ini sebagai sebuah pahala dalam kehidupanmu, siapakah yang layak
kau salahkan?"
"Untuk setiap Karma atau kerja dari
pikiran, kata-kata dan perilakumu saat ini, kau sedang menyusun skenario takdir
masa depanmu untuk diwujudkan menjadi kenyataan di kehidupan masa depan oleh
Sang Sutradara Agung."
"Dan karena Karma adalah pilihanmu
sendiri, tentu saja kau bisa mengubah pilihan Karmamu. Namun kau tidak bisa
mengubah pahala dari Karma itu. Pahala atas Karma itu hanya bisa kau ubah dalam
tingkat rasanya."
"Makin ikhlas kau menerima pahala
Karma buruk, makin ringan rasa penderitaannya. Makin lama kau menolak rasa itu,
makin berat rasa pahala buruk itu di batinmu."
"Pun demikian dengan pahala
kebaikan. Makin mudah kau mensyukuri setiap pahala baik dalam hidupmu, makin
mudah kau merasakan kebahagiaan dalam hidupmu."
"Keikhlasan menerima pahala buruk
dan rasa syukur untuk setiap pahala baik, adalah kunci kebahagiaan hidup,
Manu."
Guru, apakah
karma itu selain bisa menimpa diri sendiri apa juga bisa menimpa anak,istri
atau keluarga yg kita cintai?
“Manu, ada Karma individual dan ada
Karma komunal. Karma individual, siapa memakan cabe akan mendapat rasa
pedasnya. Namun siapa memakan durian, sebagian orang-orang di dekatnya akan
ikut merasakan aroma durian itu. Efek samping dari karma individual itulah yang
ikut dirasakan oleh komunitas dimana orang tersebut berada. Selain itu, hukum
Karma juga menjadi penentu skenario masa depan tentang siapa akan menjadi kawan
atau keluarga siapa. Karena Karma masa kini juga mempengaruhi dan menentukan
skenario masa depan bedasarkan tautan Karma antar individual.”
"Guru,
begitu susah rasanya menemukan ketenangan dalam hidupku ini. Seakan ada ribuan
hantu hadir di dalamnya untuk selalu mengganggu kenyamananku. Adakah cara untuk
melihat wujud hantu-hantu itu? Ajarkan pula aku cara mengusir mereka."
"Manu, ketidaknyamanan dalam
hidupmu sesungguhnya lebih disebabkan oleh hantu-hantu dalam dirimu. Wujud
mereka adalah kemarahan, dendam, kecemasan pada sesuatu yang tak pasti,
kebencian, kesulitan menerima kenyataan hidup, dan berbagai pendaman emosi
negatif lainnya."
"Mereka adalah kuasa kegelapan
dalam diri. Maka untuk mengusir mereka, nyalakanlah cahaya terang di hatimu
dengan pengetahuan dan pemikiran positif. Pikiran, kata-kata dan perbuatan
positif adalah doa paling ampuh untuk mengatasi kehadiran mereka."
"Guru,
kesabaranku rasanya sudah menjelang habis karena orang-orang yang sikapnya
menjengkelkan itu selalu hadir menantang batas kesabaran. Sampai kapan harus
kubiarkan mereka mengganggu kesabaranku?"
"Manu, saat kau berharap memiliki
pohon yang subur, berbunga indah atau berbuah lebat, maka di akarnya akan
ditumpuki dengan sampah atau pupuk dari kotoran."
"Begitulah saat kau berlatih
kesabaran, akan didatangkan dalam hidupmu orang-orang menjengkelkan untuk
melatih benih kesabaranmu bertumbuh kuat."
"Saat kau berlatih ketulusan dalam
bertindak, hadir mereka yang mencela atau meremehkan kebaikanmu. Bila kau
berlatih keikhlasan dalam menerima kenyataan, datang orang-orang yang memancing
keluhanmu."
"Di tengah latihan kepasrahan,
hidup ini bisa membawa berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan bagimu."
"Dari semua cara alam mewujudkan
keinginanmu menjadi pribadi yang sabar, ikhlas, tulus, pasrah, maka hanya yang
waspada dan menerima prosesnya yang akan mencapai dan merasakan manfaat dari
semua itu."
"Siapa yang tahan melewati
bergulirnya kegelapan dan dingin malam, akan disapa terang dan kehangatan
matahari pagi, Manu."
"Guru,
menyakitkan sekali rasanya mendengar orang-orang menjelek-jelekkan diri kita
atau keluarga kita. Kenapa mereka lebih melihat kekurangan daripada kelebihan?
Ajarkan aku menghadapi situasi ini agar lebih tenang."
"Manu, ada dua cara orang untuk
mengagumi kelebihan dan kebaikan kita. Ada dengan cara memuji kelebihan dan
kebaikan kita, karena ia dibimbing oleh ego positifnya. Ada pula yang mencela
sisi kelemahan, kekurangan dan keburukan kita, karena ia dibimbing oleh ego
negatifnya."
"Dengan memahami cara mereka yang
mencelamu, kau akan mengerti bahwa mereka yang mencela sesungguhnya hanya tidak
ingin memuji kebaikanmu."
"Guru,
bagaimana mesti menghadapi orang yang tidak pernah mau memahami kita dan hanya
kita yang diminta memahaminya?"
"Manu, adalah sebuah pencapaian
kecerdasan bila kau mampu memahami orang lain. Dan manakala kau mampu membuat
orang lain memahamimu, maka itu pun adalah suatu keberhasilan dalam pelajaran
berkomunikasi."
"Jadi, apa yang salah bila orang
lain tidak memahamimu? Karena itu kesempatan bagimu untuk berlatih komunikasi,
hingga orang tersebut bisa simpati bahkan empati padamu."
"Guru,
kenapa kita perlu mengenal Tuhan dan ajaran agama lebih mendalam? Bukankah
keyakinan hati padaNya dan pada kebenaran ajaran agama saja sudah cukup?"
"Manu, manusia diberkahi pikiran
dan hati. Pikiran berguna untuk memahami secara mendalam dan hati berguna untuk
memiliki keyakinan yang teguh."
"Keyakinan hati tanpa pemahaman
pikiran, mudah menjerumuskan orang pada keyakinan membabi buta, karena gelapnya
pikiran oleh ketidaktahuan."
"Sebaliknya, pemahaman pikiran
tanpa disertai keyakinan hati akan menjadikanmu seseorang yang dipenuhi
pengetahuan namun diliputi berbagai keraguan dalam melangkah."
"Jika kau diberkahi potensi untuk
memiliki pengetahuan dan keyakinan, kenapa mesti berhenti pada satu pencapaian?
Penuhilah keduanya agar pikiran dan hatimu tidak menjadi berkah yang
sia-sia."
"Guru,
betapa sulit rasanya melupakan kejadian buruk dan menyakitkan yang pernah
datang dalam kehidupanku. Bagaimana aku harus menghadapi semua itu?"
"Manu, bagaimana kau bisa
menghadapi apa yang sudah berlalu? Hanya yang ada di masa depanlah yang bisa
kau hadapi. Sedangkan semua yang ada di masa lalu itu hanya gelombang listrik
yang terkunci sebagai kenangan dalam pikiran."
"Malam akan berlalu digantikan oleh
pagi dan siang. Lalu siang pun akan berlalu tergantikan oleh sore dan malam.
Gelap dan terang akan selalu datang bergantian. Apa yang perlu kau rumitkan
untuk semua yang akan datang dan pergi? Biarkan saja mereka mengalir memasuki
dan pergi dari pikiranmu."
"Guru,
tidak adakah berkah keajaiban dari semesta ini hingga dengan sekali jentik jari
maka semua orang akan berubah menjadi baik?"
"Ada, Manu. Bahkan tanpa perlu
menjentikkan jari pun kau sudah bisa mengubah orang menjadi baik. Kekuatan
ajaib yang telah diberkahkan bagimu oleh semesta ini bukanlah jentikan jarimu,
melainkan jentikkan pikiranmu."
"Maka jentiklah pikiranmu agar ia
bisa melihat hal-hal baik pada diri setiap orang, pada sikap dan tindakan yang
mereka lakukan. Jika kau bisa melakukan itu dan melihat kebaikan pada mereka,
itu pertanda kau telah berhasil menggunakan keajaiban pikiran yang telah
diberkahkan bagimu."
"Namun jangan lupa, setiap berkah
keajaiban memiliki tanggungjawab dan risikonya."
"Guru,
saat kita menghadapi masalah dalam kehidupan, ada yang menyarankan kita untuk
lebih memilih mengadu pada Tuhan daripada kepada teman. Bukankah Tuhan tidak
pernah memberi kita jawaban atau solusi, sedangkan teman bisa langsung memberi
kita jalan keluar?"
"Manu, jika kau mengadukan
masalahmu pada teman, mungkin saja mereka akan mengalirkan jawaban yang datang
dari pikiran yang jernih atau dari hati nurani mereka yang bijak. Meski
seringkali itu terasa bertentangan dengan apa yang sedang kau rasakan."
"Atau bisa jadi mereka malah
memberikan jawaban dari bisikan ego dalam diri mereka, yang seringkali terasa
menyetujui dan mendukung pembelaan egomu. Akibatnya masalah kian rumit untuk
dipecahkan."
"Itu sebabnya kau mesti bijak
menyikapi tuntunan solusi yang datang dari seorang teman. Semuanya kembali pada
kebijaksanaanmu sendiri."
"Sedangkan jika kau mengadu pada
Tuhan, maka kau bebas mengadukan apa pun, meski kau tidak akan mendengarNya
berkata-kata padamu. Namun sadarilah, sesungguhnya diamNya itu adalah pesan
agar setelah mengadu itu, kau kembali menggunakan senjata terbaik yang
diberkahkanNya padamu, yaitu pikiran."
"Maka merenunglah. Gunakan pikiran,
akal budi dan kecerdasamu untuk mengamati dengan tenang dan cermat pelajaran
kehidupan yang sedang kau alami. Disitu kau akan tahu, bahwa jawaban ada di
balik setiap pertanyaan. Jalan keluar ada di balik setiap pintu yang
tertutup."
"Guru,
kenapa orang-orang selalu menyakitiku, memfitnah bahkan memperlakukanku dengan
sikap yang buruk?Bagaimana agar mereka tidak melakukan seperti itu
padaku?"
"Manu, jika kau lebih suka menunjuk
orang lain lebih dulu atas apa yang kau alami, dengan bertanya kenapa mereka
memperlakukanmu seperti itu, dan bukannya bertanya kenapa kau diperlakukan
demikian oleh mereka, maka kau akan mendorong pikiranmu untuk terus mencari
penyebabnya pada diri mereka."
"Lalu lihatlah, kau pun akan
menghabiskan energi untuk mencoba mencari jalan agar mereka mengubah sikap
terhadapmu. Akhirnya kau kelelahan sendiri dan semakin tersakiti oleh
kegagalanmu mengubah banyak orang."
"Tapi cobalah bertanya kenapa aku
diperlakukan demikian oleh mereka. Maka kau akan didorong untuk mencari hal-hal
dalam dirimu yang layak kau perbaiki agar mereka berubah sikap menjadi lebih
baik padamu."
"Sesungguhnya, semua suka duka
kehidupanmu berawal dari dirimu sendiri, Manu."
"Guru,
kenapa begitu sulit untuk belajar mencapai keikhlasan hati saat menghadapi
kenyataan hidup yang begitu pahit dan menyakitkan ini? Apalagi bila itu
disebabkan oleh sikap atau tindakan orang lain?"
"Manu, jika keikhlasan hati
dimiliki tanpa perlu proses pembelajaran yang serius, maka sia-sialah kehidupan
ini ada sebagai ruang pembelajaran menerima pahala Karma masa lalu."
"Jika dengan mudah kau menerima
dengan tenang rasa sakit yang disebabkan oleh orang lain, maka kau tidak akan
mengerti seperti apa rasa sakit yang pernah kau sebabkan pada orang tersebut di
masa lalu."
"Keikhlasan baru akan tercapai saat
kau berhenti menyalahkan orang lain, berhenti menyalahkan diri sendiri, lalu
belajar mencermati pembelajaran di balik semua peristiwa dan keadaan hidupmu
yang pahit serta menyakitkan itu."
Guru, di
zaman sekarang jika kita membela perbuatan baik sering mendapat cibiran dan
kadang kala fitnahan yang menyakitkan hati..kadang orang lain yang tahu bahwa
hal yang kita bela itu benar malah diam membisu, bagaimana bisa hati kita
menerima bahwa itu salah, tidakkah itu mebuat hati kita terkucil, akankah kita
terus menyalahkan diri kita dengan alasan salah tempat dan salah waktu serta
salah orang ?
“Manu, jika kita mencoba membela suatu
tindakan yg baik, lalu kita merasa tersakiti oleh sikap orang2 yang tidak
setuju terhadap kebaikan tersebut, maka layaklah kita merenung ulang, sudah
siapkah kita membela kebaikan itu? Karena seorang pembela tentu memiliki hati yang
lebih tegar, tenang dan kuat terhadap apa pun dibanding orang yang dibelanya.
Inilah pembelajarannya.”
“orang yang belum belajar akan cenderung
menyalahkan orang lain. Mereka yang sudah mulai mau belajar akan mulai melihat
kesalahannya sendiri untuk diperbaiki. Tapi bila sudah berhasil belajar, akan
berhenti menyalahkan siapa pun.”
"Guru,
kenapa kita diajarkan untuk selalu memancarkan sifat-sifat Jiwa dan berjalan
dalam peran di kehidupan ini sesuai panggilan Jiwa?"
"Manu, radio yang tidak mampu
menyiarkan siaran radio, maka alat itu mungkin rusak atau mati. Televisi yang
tidak memancarkan siaran dari stasiun-stasiun yang ada, mungkin juga sedang
rusak atau mati."
"Dan manusia yang tidak memancarkan
sifat-sifat Jiwanya, tidak pula memancarkan sifat-sifat Ketuhanan dalam
dirinya, keadaan mereka serupa dengan semua alat-alat itu, Manu."
"Itu sebabnya kau diajarkan untuk
melakukan segala peranmu sepenuh Jiwa dan sejalan dengan sifat setiap Jiwa
manusia yang sesungguhnya adalah sumber kebaikan di bumi ini."
"Guru,
kenapa orang-orang lebih suka melihat dan menilai kesalahan, kelemahan dan
kekuranganku? Bagaimana caraku membalas rasa sakit oleh sikap mereka itu?"
"Manu, jika mereka suka melihat
kesalahanmu, itu karena mereka dikirim alam untuk memacumu memperbaiki diri.
Mereka suka melihat kelemahanmu agar kau terpacu untuk bangkit menguatkan diri.
Dan mereka suka menunjukkan kekuranganmu agar kau bergegas melengkapinya dengan
kelebihanmu."
"Maka cara terbaik untuk membalas
kebaikan mereka yang tak kau sadari itu adalah memperbaiki diri, mengatasi
kelemahanmu serta melengkapi kekuranganmu dengan banyak belajar lagi."
"Tak ada anak rusa yang tumbuh
menjadi rusa dewasa bila tak pernah berhasil meloloskan diri saat dikejar oleh
singa."
"Guru,
ribuan tahun agama-agama telah mengajarkan bahwa Tuhan itu dimana-mana. Tapi
tak seorang pun menjelaskan cara melihat-Nya dimana-mana. Lalu bagaimana
caranya, Guru?"
"Manu, mereka yang tak pernah
menyelami samudra atau mengetahui apa yang ada dalam samudra, hanya akan
melihat hamparan air dan ombak pada samudra itu. Tapi ia yang pernah
menyelaminya, akan mudah melihat dengan mata hatinya betapa keindahan samudra
itu sungguh ada."
"Maka menyelamlah ke dalam samudra
pengetahuan dalam dirimu sendiri. Saat kau melihat keindahan dan keajaiban
bersemayam disana, kau akan melihat hal yang sama di luar dirimu."
"Melihat Tuhan dimana-mana tidak
bisa kau lakukan dengan lebih dulu memakai mata inderamua. Lihatlah Tuhan
dengan mata pengetahuan lebih dulu, baru dengan mata fisik. Setelah itu kau
akan mengerti, kemana pun mata inderamu menatap, kau akan melihat-Nya disana
dengan mata pengetahuanmu."
"Guru,
bagaimana mungkin kita akan merasa lebih bahagia jika bisa membahagiakan orang
lain lebih dahulu."
"Manu, lihatlah sekuntum bunga
bertumbuh menjadi buah ranum yang dikagumi orang karena dengan harumnya ia
pernah memanggil lebah dan kupu-kupu untuk dibahagiakan dengan nektarnya."
"Setelah menjadi buah, ia
membahagiakan kelelawar dan burung-burung yang menikmati dagingnya. Dan
lihatlah, kelelawar itu membawa bijinya pergi untuk tumbuh di tanah yang lain,
hingga menjadi pohon yang berbuah lebih banyak lagi. Dan ia pun makin dikagumi
karena limpahan buahnya."
"Itulah hukum alam, Manu. Kecerdasan
Semesta Tak Terbatas sudah mengatur alam ini sedemikian sempurnanya."
"Guru,
saat duka dan kesedihan datang dalam kehidupanku, betapa sulit rasanya
melepaskan hal itu, apalagi dengan menangis, karena katanya tangis adalah
simbol kelemahan Jiwa. Lalu apa yang harus kulakukan, Guru?"
"Manu, tangis adalah ekspresi alami
untuk melepas beban batin. Dengan air mata itu, Jiwa sedang mengingatkanmu
untuk membersihkan mata hati, agar kau bisa segera memandang kejadian duka itu
dengan lebih jernih hingga tampak makna positif di baliknya."
"Dan tangis bukanlah simbol
kelemahan. Kekuatan hati seseorang bukan ditunjukkan oleh tangis yang
disembunyikannya saat duka, melainkan seberapa cepat dia bangkit kembali saat
duka itu menghampiri hidupnya."
"Guru,
kadang benci rasanya dengan kemarahan yang muncul dalam diri, karena rasanya
malah menyakiti diri sendiri. Kenapa kemarahan itu bisa muncul pada seseorang
atau pada kejadian yang tidak menyenangkan? Berikanlah aku mantram khusus untuk
menetralisir kemarahan itu."
"Manu, hindari memiliki kebencian
pada kemarahanmu sendiri, karena kemarahan itu adalah bagian dari diri setiap
orang."
"Kemarahan ada untuk sebuah tujuan
kebaikan. Namun bila kemarahan itu mendatangkan hal buruk, itu hanyalah karena
kau tidak bisa memanfaatkan dan menunjukkan kemarahan dengan cara yang baik dan
waktu yang tepat."
"Bila kemarahan justru makin
menyakitimu karena tak bisa kau salurkan dengan baik, maka katakanlah mantra
ini pada dirimu sendiri; "Ah, sudahlah. Semua peristiwa pada akhirnya
bertujuan baik padaku."
"Guru,
kenapa hidupku masih dikunjungi penderitaan, padahal aku sudah terus berbuat
kebaikan. Kapan pahala baik akan hadir membahagiakan hidupku?"
"Manu, bahkan mendung gelap masih
menyelimuti langit dan siap menurunkan hujan, padahal ini sudah memasuki musim
kemarau. Sebab langit masih menyimpan sisa uap air yang terkumpul di musim
kemarau lalu."
"Begitu pun duka kehidupan masih
mungkin memasuki kehidupanmu, meski kau sudah banyak melakukan kebaikan, karena
sisa pahala buruk masa lalu masih tersisa dalam skenario kehidupanmu di bumi
ini."
"Tapi bila musim kemarau sudah
benar-benar tiba, mendung gelap akan sulit hadir menutupi langit dan hujan
sulit pula turun ke bumi. Begitu pun saat episode indah kehidupanmu benar-benar
tiba, semua kemalangan akan sulit datang. Bersabarlah."
"Guru,
dengan segala kata-kata dan sikapnya yang menyakitkan hati ini, orang itu
seakan merasa puas dan menemukan kebahagiaannya di atas penderitaan batinku.
Bagaimana aku mesti menghadapi orang seperti ini?"
"Manu, manakah yang lebih mulia
bagimu, menjadi orang yang menemukan kebahagiaan dengan mengorbankan perasaan
dan batin orang lain, ataukah menjadi seseorang yang mengijinkan batin dan
perasaannya tersakiti demi memberi rasa puas dan kebahagiaan pada mereka, yang
sesungguhnya dihadirkan alam untuk menjadi guru sejati demi melatih kesabaran
dan kekuatan batinmu?"
"Ia yang sabar melewati gelapnya
malam, akan diberkahi melihat indah dan hangatnya cahaya matahari pagi,
Manu"
"Guru,
apa ciri-cirinya bila seseorang melakukan suatu kebaikan pada kita dengan
begitu tulus dan datang dari kedalaman Jiwanya?"
"Manu, saat itu terjadi kau akan
kehilangan kata-kata, karena ribuan terima kasihmu bahkan kau rasa tak akan
cukup mewakili perasaan yang dialami oleh Jiwamu."
"Guru,
bagaimana menghadapi seseorang yang selalu membuat panas hati kita dengan
kata-katanya, hingga benih-benih kesabaran kita terus menguap dan membuat
kering hati kita?"
"Manu, lihatlah matahari bersinar
selama musim kemarau. Panasnya menguapkan benih-benih air di bumi. Tapi dengan
kesabarannya, bumi akhirnya menjadi sejuk kembali saat benih-benih air yang
menguap itu terkumpul di langit dan kelak menjadi tetesan hujan."
"Begitulah jika kau dengan sabar
mengumpulkan benih-benih kesabaranmu yang menguap oleh kata-kata atau sikap
orang lain yang memanaskan hatimu. Kelak saat benih-benih kesabaran yang
terkumpul di langit pikiranmu bisa kau jadikan sebuah pemahaman akan kebenaran,
maka pemahaman itu akan menjadi tetesan kesadaran yang menyejukkan kembali
hatimu."
"Guru,
begitu banyak tekanan dan masalah yang masuk dalam kehidupanku. Bagaimana aku
menjalaninya?"
"Manu, tidakkah kau tahu bahwa
berlian yang begitu berharga itu tercipta dari ketegarannya menghadapi tekanan
yang begitu keras?"
"Maka biarlah kehidupan ini
menempamu dengan tekanan dan berbagai masalah. Jika kau tegar dan belajar
melewatinya, kau akan menjadi berlian yang berharga."
"Guru,
apa yang harus kulakukan untuk membalas setiap kebaikan yang dilakukan
seseorang padaku? Bila balasan kebaikan itu pun bahkan tak mampu mewakili rasa
terima kasih yang kurasakan atas kebaikannya."
"Manu, untuk setiap kebaikan yang
dilakukan dari ketulusan Jiwa hingga menyentuh keharuan Jiwa, sesungguhnya
orang itu sedang melakukan kebaikan pada Tuhan sendiri sebagai Jiwa Semesta
yang menjiwai setiap mahluk."
"Maka dengan cara Tuhan sendiri Tuhan
akan membalas kebaikan itu bagi Jiwanya kelak bila saat itu telah tiba
baginya."
"Guru,
jika Tuhan memang ada dimana-mana, kenapa begitu sulit bagiku menjumpai Tuhan?
Bahkan tak seorang pun berani menyatakan dirinya telah menjumpai Tuhan."
"Manu, jika kau mencari Tuhan
dengan pikiranmu, maka lihatlah Tuhan dimana-mana sebagai pengetahuan yang
mewujud dalam setiap ciptaan Tuhan."
"Jika kau mencari Tuhan dengan
hati, maka rasakanlah dengan hatimu bahwa Tuhan telah ada dimana-mana dalam
wujud Tuhan sebagai cinta kasih, yang bersembunyi dalam setiap suka atau duka
kehidupan yang kau lalui."
"Tuhan adalah pengetahuan yang
menjiwai setiap wujud, dan Tuhan adalah rasa yang meresap ke dalam setiap
peristiwa."
"Guru,
rasa bersalah ini justru begitu menyiksa batinku. Apakah ini alasan kenapa
banyak orang tidak mau disalahkan?"
"Manu, rasa bersalah akan menjadi
benih ketersiksaan batin bila ia hanya dijadikan sumber penyesalan dalam hidup.
Namun rasa itu akan menjadi berkah yang bermanfaat bila kau menjadikannya
alasan untuk memperbaiki diri di masa depan."
"Banyak orang tidak mau mengakui
kesalahan karena alasan pertama tadi."
"Guru,
dengan begitu banyaknya ajaran dan pengetahuan spiritual, manakah jalan
spiritual yang harus kupilih agar sampai di tempat yang sejati?."
"Manu, setiap sungai yang benar
akan membawa air menuju samudera yang luas. Begitu pun jalan-jalan spiritual.
Semestinya jalan itu akan membawa Jiwamu pada kebebasan dari keterikatan."
"Membawa pikiranmu pada pengetahuan
dan pemahaman yang lebih luas. Membawa kesadaranmu pada puncak yang bisa
membuatmu melihat dengan wawasan yang lebih menyeluruh."
"Bukankah akan lebih membahagiakan
bila kita bisa memasuki ruang yang lebih luas dan lapang daripada ruang sempit
yang membuat kita tidak bisa bergerak dengan bebas?"
"Guru,
ajarkan padaku apa yang harus kulakukan agar mendapatkan pengetahuan kehidupan
ini lebih banyak."
"Manu, tubuh akan mendapatkan
makanan berenergi dan bernutrisi hanya jika mulutnya ikhlas membuka untuk
dimasuki makanan"
"Begitu pun pikiran baru akan
mendapatkan banyak pengetahuan bila ia ikhlas membuka diri demi masuknya
pengetahuan-pengetahuan bermanfaat baginya."
"Jiwa pun akan mendapatkan banyak
cinta kasih bila seseorang ikhlas membuka hati bagi kebaikan yang datang dari
kehidupan ini."
"Guru,
ajarkan aku pengetahuan tentang Manunggaling Kawulo Gusti. Bagaimana cara
mencapai penyatuan itu?"
"Manu, kawulo adalah abdi, tugasnya
adalah melayani Gusti atau tuannya. Saat abdi harmonis dalam segala rasa dengan
Gustinya, itulah Manunggaling Kawulo Gusti."
"Tubuhmu adalah kawulo bagi
pikiranmu. Semestinya tubuh dan pikiranmu menyatu. Tubuh mengikuti perintah
pikiran, dan pikiran memahami kebutuhan tubuh. Bila tubuhmu menolak kehendak
pikiran, atau pikiran tidak mau memenuhi kebutuhan tubuh, kawulo-Gusti itu
sedang tak selaras dalam dirimu."
"Di sisi lain, pikiran adalah
kawulo bagi Sang Jiwa, pemilik semesta kecil atau tubuhmu itu. Bila pikiran
sebagai abdi dari Jiwa tidak mau menjalankan perintah kebenaran Sang Jiwa,
malah lebih cenderung mengikuti bisikan-bisikan pembenaran dalam diri, itu
bukanlah Manunggaling Kawulo Gusti antara pikiran dan Jiwa. Namun kapan pikiran
mau mengikuti tuntunan nurani, perintan Sang Jiwa, lalu menggunakan tubuh untuk
kepentingan Sang Jiwa, saat itu kau mengalami manunggaling."
"Lalu Jiwa dalam tubuh atau semesta
kecilmu itu adalah kawulo dari Jiwa Semesta Raya, Tuhan. Bila kau sebagai Jiwa
dalam semesta kecil ini tidak memainkan peran dan tugas kehidupan sejalan
dengan tuntunan Sang Jiwa Agung, saat itulah kau belum manunggal dengan
Gustimu."
"Demikianlah ajaran Manunggaling
Kawulo-Gusti, selarasnya tubuh dan pikiranmu, pikiran dan Jiwamu, serta Jiwamu
dengan Sang Jiwa Agung."
"Guru,
Bagaimana Tuhan mengijinkan diri ini berjumpa dengan wujud keMaha pemurahan
Tuhan, wujud cinta kasih Tuhan, wujud tuntunan Tuhan, dan segala wujud kemahaan
Tuhan ?"
"Manu, jika bagimu Tuhan maha
pemurah, maka lihatlah mereka yang hatinya pemurah dan tangannya begitu ikhlas
memberi. Karena mereka adalah tangan dan hati yang Tuhan pilih untuk
menunjukkan kemurahan Tuhan padamu."
"Jika bagimu Tuhan maha penyayang
dan sumber cinta kasih, maka lihat dan rasakan Tuhan menyayangi dan mengasihimu
lewat sikap setiap orang yang mengasihimu dan penuh kasih pada kehidupan
ini."
"Jika bagimu Tuhan maha penuntun,
maka lihatlah Tuhan menuntunmu lewat orang-orang yang menjagamu tetap ada di
jalan kebenaran dan kebaikan."
"Jika bagimu Tuhan adalah sumber
kesabaran, maka lihatlah Tuhan mengutus orang-orang yang menyakiti hatimu untuk
melatih kesabaran, keteguhan dan ketulusanmu mempelajari suka duka kehidupan
ini."
Jika bagimu Tuhan adalah yang memberi
hidup pada setiap yang hidup, maka lihatlah olehmu Tuhan ada dimana-mana di
setiap kehidupan.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Pencipta, maka
lihatlah Tuhan dimana-mana sedang melakukan penciptaan.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Waktu, maka
rasakanlah Tuhan sedang menemanimu saat ini dan seterusnya.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Pemelihara
kehidupan, maka rasakanlah Tuhan sedang memeliharamu lewat setiap napas yang
kau hirup.
Jika bagimu Tuhan adalah Sang Penguasa
dan Penentu Takdir, maka sadarilah Tuhan sedang ada di setiap takdir yang kau
alami saat ini.
Jika bagimu Tuhan adalah kematian, maka
percayalah Tuhan selalu setia menantimu pulang pada saatnya.
Jika bagimu Tuhan adalah pengetahuan,
maka lihatlah Tuhan mewujud dalam segala ciptaanNYA.
Jika kau memahami semua ini dan telah
menyadari kehadiran Tuhan, kau akan mengerti Tuhan telah, sedang dan akan
selalu bersamamu.
"Guru,
jika aku adalah apa yang kupikirkan, kenapa tidak semua yang kupikirkan dan
kuharapkan tentang diriku menjadi kenyataan dalam hidup ini?"
"Manu, pikiran adalah wujud ide
dari sebuah harapan. Kata-kata adalah wujud suara dari sebuah harapan. Dan
tindakan adalah usaha mewujudkan harapan tersebut menjadi kenyataan."
"Itulah alasan kenapa pikiran,
kata-kata dan tindakanmu mesti selaras dengan apa yang kau harapkan."
"Pikiranmu adalah cahaya. Kata-kata
adalah suara. Dan tindakan adalah materialisasi dari semua itu. Seperti itu
pulalah alam semesta ini diciptakan menjadi kenyataan. Dari cahaya, suara dan
materialisasi isi alam semesta."
"Guru,
jika setiap usaha atau tindakan semestinya membawa hasil atau pahala, kenapa
ada
kesuksesan dan kegagalan dalam sebuah
usaha?"
"Manu, begitulah setiap Karma atau
tindakan memang akan membawa hasil atau pahala. Namun yang menyebabkan perbedaan
pada mereka yang gagal dan sukses adalah dari cara pandang mereka."
"Mereka yang gagal akan melihat
kegagalan itu sebagai sebuah hasil. Lalu mereka berhenti berusaha karena merasa
sudah mencapai hasil akhir berupa kegagalan."
"Sedangkan mereka yang sukses akan
melihat kegagalan hanya sebuah proses menuju keberhasilan. Sehingga mereka akan
terus berusaha hingga hasil yang diharapkan itu akan tercapai lewat keteguhan
mereka berusaha."
"Guru,
dalam kisah Mahabharata, Arjuna berhasil bertemu Tuhan dalam wujud pengetahuan
yang dialirkan Khrisna. Bima bertemu Tuhan dalam wujud Dewa Ruci. Dan Yudistira
bertemu Tuhan dalam wujud Dewa Dharma. Adakah pesan yang ingin disampaikan Rsi
Vyasa lewat kisah itu?"
"Manu, Arjuna adalah simbol
pikiran, Bima simbol tenaga dan Yudistira simbol hati."
"Jika kau mencari Tuhan lewat jalan
pemikiran, maka bukalah pikiranmu lebar-lebar dalam ketulusannya belajar, maka
kau akan menjumpai Tuhan sebagai wujud pengetahuan dimana-mana. Jika pikiranmu
kau belenggu dalam fanatisme, kau akan sulit menemukan pengetahuan kebenaran
sejati."
"Jika kau mencari Tuhan lewat
kerja, maka teguhlah dalam kerja penuh pengabdian seperti Bima. Kelak kau akan
mengalami perjumpaan kebahagiaan atas pahala kerjamu."
"Dan jika kau mencariNya lewat jalan
kebaikan, jadikan kejujuran hati sebagai pemimpinmu seperti layaknya sifat
Yudistira. Itu akan membawamu menjumpaiNya dalam wujud Kebenaran Sejati."
"Guru,
seorang Rsi Walmiki tentu tidak menggubah kisah Ramayana sebagai sekedar kisah
cinta romantis. Apa sesungguhnya makna yang tersirat disana, Guru?"
"Manu, kisah Ramayana adalah kisah
diri Sang Rsi. Rama adalah Bapak, simbolis dari Jiwa kita. Shinta adalah Ibu,
simbolis dari tubuh kita. Tubuh dan Jiwa adalah pasangan yang abadi selama
kehidupan ini ada."
"Namun ada saatnya tubuh kita
dirampas oleh sifat-sifat keangkaramurkaan, seperti Shinta yang diculik oleh
Rahwana. Akibatnya, tubuh dan Jiwa tidak lagi sejalan, tidak lagi ada dalam
kebersamaan. Jiwa menderita karena tidak bisa menggunakan tubuh untuk
menjalankan peran kehidupannya. Tubuh menderita karena jauh dari vibrasi cinta
kasih Jiwanya, akibat terbelenggu dalam wilayah sifat angkara murka."
"Itu sebabnya, bagi kita semua yang
masih terbelenggu dalam sifat-sifat Rahwana dalam diri, agar membantu Jiwa kita
merebut kembali kendali atas tubuh ini. Dengan begitu, tubuh kita bisa
menjalani kehidupan ini dalam kebersamaan dengan cinta kasih Jiwa serta selaras
dengan sifat-sifat Jiwa yang penuh cinta kasih."
"Guru,
untuk apa pula mesti merayakan Nyepi? Apalah artinya Nyepi sehari itu bagi
keriuhan yang tak pernah henti dalam sisa hari-hari setahunnya?"
"Manu, saat Sang Waktu menghentikan
sejenak riuhnya pertikaian panjang antara Pandawa dan Korawa di Kuruksetra,
dalam keheningan dan kepasrahan Arjuna di masa jeda sesaat itu, dengarlah
betapa banyak pengetahuan rahasia dialirkan oleh Khrisna kepada Arjuna."
"Tubuhmu adalah Kuruksetra, tempat
sepanjang waktu terjadi pertikaian antara pembenaran ego positif dan negatif
dalam dirimu. Hanya saat kau ijinkan pikiran dan hatimu memasuki keheningan
seperti Arjuna kala itu, dari dalam diri akan kau dengar Jiwamu berbisik
panjang tentang pengetahuan Kebenaran yang akan menuntun hidupmu."
"Maka seperti kau mengijinkan alam
semesta ini kembali pada keheningan dan kemurniannya sejenak lewat Nyepi,
ijinkanlah tubuh dan pikiranmu, alam semesta kecil yang kau tempati itu,
memasuki keheningan sempurnanya. Dengan begitu kau akan mengerti aliran
pesan-pesan Jiwa Agung dalam dirimu."
"Guru,
aku selalu diajarkan untuk tidak mencoba menggunakan akal dan logika dalam
memahami Tuhan. Tapi aku melihat begitu banyak orang bisa bertindak diluar akal
karena keyakinannya. Bagaimana itu, Guru?"
"Manu, kau telah diberkahi
intelektual dan kecerdasan akal budi. Gunakanlah itu untuk memahami pengetahuan
tentangNya. Karena memahami hakekat Tuhan tanpa kecerdasan akal budi, membuat
pikiranmu mudah berjalan dalam gelapnya ketidaktahuan akan Kebenaran. Itulah
sebabnya banyak orang lebih berjalan dalam pembenaran mereka."
"Namun saat memasuki keyakinan akan
KebenaranNya, hentikanlah logika, akal dan kecerdasanmu yang akan selalu
terbatas, karena itulah saatnya kau menggunakan rasa hati, bukan intelektual
pikiran."
"Ia yang memahami alasan semesta
membekalinya dengan pikiran dan hati, akan mengerti pentingnya pengetahuan dan
keyakinan rasa ini, Manu."
"Guru,
saat kemarahanku pada seseorang tidak terlampiaskan dan justru kupendam, ia
malah menjadi dendam. Namun jika kulampiaskan padanya, maka dialah yang menjadi
dendam padaku. Apa yang harus kulakukan agar terbebas dari potensi dendam
ini?"
"Manu, kemarahan seringkali datang
dari perpepsi yang gelap terhadap sesuatu. Dari kegelapan persepsi muncullah
penilaian salah tentang sumber kemarahan itu. Dari penilaian yang salah, kau
akan melihat hal yang salah itu sebagai sebuah kegelapan."
"Jika kemarahan yang datang dari
kegelapan ini kau pendam ke dalam batin yang juga gelap, tidak terang oleh
pemahaman akan hal tersebut, maka tentu saja kemarahan itu akan menjadi dendam,
suatu keadaan batin yang makin gelap. Berapa kali pun kau mencoba menggali
ingatan akan hal itu, maka kau seperti mengangkat keluar kegelapan yang
terkubur dalam kegelapan batin. Itulah sebabnya kemarahan tak akan lenyap
dengan memendamnya."
"Namun melampiaskan kemarahan
dengan cara yang gelap mata, entah lewat kata-kata ataupun tindakan, tentu saja
hanya akan memindahkan kegelapan dari dendam dan kemarahanmu kepada mereka yang
menerimanya."
"Pelajarilah kemarahanmu, Manu.
Karena kemarahan muncul untuk menjadi bahan pembelajaran bagimu. Selama kau
belum memahami dengan benar sifat kemarahan dalam dirimu, ia akan terus muncul
untuk memancingmu mempelajarinya dengan seksama."
"Kelak saat kau bisa melihat
kemarahanmu dengan terang pemahaman, saat itulah kau akan mampu memendam
kemarahan itu ke dalam batin yang terang. Disana ia akan berhenti menjadi
bibit-bibit dendam yang gelap."
"Guru,
kenapa proses itu sendiri katanya lebih berharga dari pada hasilnya? Bukankah
proses tanpa hasil adalah hal yang sia-sia?"
"Manu, bahkan sebuah piala yang
bisa kau beli dengan mudah, tidak akan lebih berharga dari piala yang kau dapat
dengan proses perjuangan berat dan panjang, bukan?"
"Begitulah sebuah proses akan
memberi nilai yang pantas pada sebuah hasil. Proses itulah yang menjadikan
berharganya sebuah hasil pencapaian."
"Jika kau memahami hal ini, maka
kau akan mengerti bagaimana menghargai dirimu sendiri dan diri orang lain.
Karena untuk sampai di titik saat ini, apa pun keadaannya, proses perjuangan
panjang melewati berbagai suka-duka kehidupan inilah yang telah menjadikanmu
seperti saat ini."
"Hargailah tubuh dan pikiran yang
telah mengantarmu sampai disini. Hargai Jiwamu yang telah mencapai diriNya saat
ini. Dan hargai semua peristiwa yang telah menempamu hingga hidup sampai kini.
Itulah kesadaran akan proses kehidupan."
"Dan pahamilah bahwa tak ada proses
yang tanpa hasil, karena setiap titik dalam sebuah proses, adalah pencapaian
atau hasil itu sendiri."
"Guru,
bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa perbuatan kebaikan akan memberi kita
pahala kebaikan pula. Begitu sering aku melakukan kebaikan pada orang lain,
tapi orang itu justru membalasnya dengan sikap yang mengecewakan."
"Manu, saat kau melakukan kebaikan
pada seseorang, lalu orang itu membalasnya dengan sikap yang tidak baik,
sesungguhnya dia tidak sedang membalas kebaikanmu dengan keburukan."
"Justru saat kau berbuat baik
padanya di kehidupan saat ini, itu adalah pahala kebaikan baginya karena di
masa lalu dia pernah berbuat suatu kebaikan padamu."
"Bahwa kemudian dia membalas
kebaikanmu dengan keburukan, itu bukanlah suatu suatu pahala buruk atas
kebaikanmu padanya."
"Sesungguhnya itu adalah tindakan
atau Karma baru yang dia lakukan saat ini untuk kelak dia terima pahalanya di
masa depan. Dia akan menerima pahala tersendiri atas sikap buruknya itu."
"Sebaliknya, jika kau membalas
sikap buruknya itu dengan melakukan tindakan buruk yang baru padanya, maka
kelak kau sendiri akan mengalami pahala buruk atas tindakan pembalasanmu
itu."
"Guru,
andai aku bisa bertemu dengan keajaiban karya cipta Tuhan, maka aku akan yakin
bahwa apa pun bisa terjadi atas kehendak tuhan."
"Manu, bila bagimu keajaiban itu
adalah menjadikan ada dari sesuatu yang tiada, maka dengarlah."
"Dari dua titik materi alam semesta
yang bahkan lebih kecil dari debu, Tuhan pernah menyatukan keduanya menjadi
benih yang perlahan-lahan membelah dan terus menyerap benih-benih materi dan
energi alam semesta lainnya, hingga benih kecil itu menjadi tubuh mahluk
hidup."
"Dari benih sekecil itu Tuhan
menjadikan sebagian darinya sebagai mata yang bisa melihat, telinga yang bisa
mendengar, kulit yang bisa merasakan. Bahkan dari materi itu Tuhan menciptakan
otak yang bisa memikirkan masa lalu, masa kini dan masa depan."
"Dengan pikiran dari kerja otak
itu, Tuhan membuat mahluk itu bisa terbang seperti burung, menyelam seperti
ikan-ikan, berlari melebihi kijang."
"Lihatlah tanganmu. Ia bisa
memegang benda yang besar hingga yang kecil. Dari yang kasar hingga yang halus.
Tanganmu bisa melakukan berbagai hal yang rumit. Tidakkah kau melihat segala
keajaiban itu ada pada tubuhmu?"
"Tuhan telah lama memberikanmu
keajaiban karya cipta Tuhan. Kau hanya terlalu lama meremehkannya, hingga
masalah-masalah kehidupanmu kau sangka lebih besar dari keajaiban tubuhmu untuk
mengatasinya."
"Guru,
Berpikir atau berbicara untuk menjadi bahagia atau sabar dalam segala keadaan,
rasanya begitu mudah. Namun saat masalah datang, semua itu menjadi sulit untuk
diwujudkan. Kenapa kesulitan itu mesti ada, Guru?"
"Manu, saat kau menginginkan
makanan dengan rasa yang enak, dengan mudah kau memikirkan atau memintanya.
Namun, bukankah saat mewujudkan hal itu pun tidak semudah yang kau
bayangkan?"
"Dibutuhkan bahan-bahan makanan
yang baik dan bumbu yang tepat. Diperlukan pula tukang masak yang
berpengalaman. Dan setelah siap tersaji, kau pun mesti memiliki kondisi yang
sehat untuk bisa mengunyah dan menikmati rasa lezat makanan itu."
"Gigi geligi yang sehat, lidah dan
rongga mulut yang sehat, pencernaan yang sehat, dan berbagai persiapan lainnya,
hanya untuk bisa menikmati rasa makanan itu. Namun kenapa situasi dan persiapan
rumit seperti itu tidak kau rasakan sulit?"
"Kesulitan ada karena kau lebih
memikirkan kesulitannya daripada menjalani dengan ikhlas bersama segala
prosesnya."
"Guru,
beban batin dan masalah dalam hidup ini tak kuasa lagi kutanggung. Salahkah
jika aku pergi saja meninggalkan dunia ini? Toh semua orang akan mati juga. Aku
ingin bebas dari segala penderitaan ini."
"Manu, pergi meninggalkan kehidupan
ini dengan maksud membebaskan diri dari masalah dan penderitaan batin, adalah
pilihan yang sia-sia. Sebab pilihan cara itu justru membawa Jiwamu pergi
bersama penderitaan dan masalah-masalahnya."
"Dan saat kesadaran muncul,
penyesalan tiada guna lagi bagimu karena kau tak mungkin kembali dalam tubuh
yang sama."
"Lebih dari membawa beban
penderitaan itu ke alam kematian, kau pun justru meninggalkan masalah dan
penderitaan bagi orang-orang yang kau tinggalkan. Lalu dimana guna
kematianmu?"
"Jika rumah kehidupanmu dimasuki
kegelapan, pergilah ke tempat yang lebih terang. Itu lebih bermanfaat daripada
mengikuti bisikan kegelapan dari dalam dirimu."
"Guru,
di satu sisi kau mengajarkanku untuk menerima segala dualitas. Namun di sisi
lain kau mengajarkanku untuk memilih hanya menjalankan sifat-sifat baik,
memilih fokus hanya pada hal-hal indah agar hidup ini terasa indah untuk
dijalani. Bukankah itu berarti aku harus menolak hal-hal negatif?"
"Manu, menerima dualitas dan
memilih hanya salah satunya, bukanlah berarti kau harus menolak hal yang
satunya. Jika kau menolak salah satunya, bagaimana kau akan memilih satu di
antara dualitas itu?"
"Menerima dualitas artinya
menyadari bahwa kedua hal berbeda dalam kehidupan ini adalah keniscayaan yang
tidak bisa dihindari. Keduanya harus diterima dengan ikhlas tanpa kebencian
pada salah satunya. Namun kau harus memilih salah satunya untuk menjadi bagian
dari dirimu."
"Setiap pilihan mengandung risiko.
Pilihan pada sisi negatif membawa pada efek rasa negatif. Pilihan pada sisi
positif membawa dampak positif. Itulah hukum kerja atau Karma, Manu. Maka
pilihlah yang satu tanpa membenci yang tidak kau pilih."
"Guru,
kenapa perjalanan dalam hidup ini mesti diisi berkah dan bencana? Jika Tuhan
maha penyayang, bukankah mestinya hidup ini hanya berlimpah berkah?"
"Manu, setiap peristiwa dalam kehidupan
itu sesungguhnya netral dan memang demikian adanya. Persepsi pikiranmu kemudian
menamainya berkah dan bencana, sesuai kepentinganmu."
"Coba renungkan pilihan ini, Manu.
Manakah yag lebih baik, sehari tanpa kemarau ataukah sehari tanpa hujan? Lewat
pertanyaan ini kau akan mengerti bagaimana kemarau dan hujan kemudian kau beri
dua penilaian yang berbeda: berkah dan bencana, sesuai kepentinganmu."
"Hanya saat batin seseorang bebas
dari kepentingan, saat itu ia bisa melihat netral terhadap sebuah peristiwa."
"Guru,
kadang ada orang-orang yang perilakunya kepadaku begitu sulit bahkan tidak
mungkin untuk kumaafkan. Apakah itu salah?"
"Manu, jika bagimu Tuhan saja
begitu maha pemaaf dan pengampun, bagaimana mungkin kau biarkan dirimu jauh
dari sifat-sifat memaafkan?"
"Jika kau sendiri pun seringkali
memohon agar kesalahanmu dimaafkan dan diampuni olehNya, bagaimana bisa kau
biarkan dirimu lebih tertutup dibanding Tuhan dalam memberi maaf atas kesalahan
orang lain?"
"Jiwamu adalah percikan Tuhan. Itu
alasan bahwa kau semestinya memiliki sifat-sifat Jiwa yang penuh cinta kasih
dan mudah memaafkan orang lain atas kesalahan dan kekhilafan perilaku mereka
padamu."
"Ia yang mudah memaafkan, harga
dirinyaa tidak akan lebih rendah dari orang yang dimaafkannya. Ia yang mudah
meminta maaf, harga dirinya pun tidak lebih rendah dari orang yang
memaafkannya. Mudah memberi dan meminta maaf, keduanya adalah cara untuk
mengangkat pribadi seseorang menjadi mulia."
"Guru,
ajarkan aku cara untuk memahami samudra pengetahuan semesta Tuhan yang tak
terbatas itu."
"Manu, sebagaimana samudra menjadi
besar karena ia merendahkan dirinya di hadapan sungai-sungai dan danau, maka ia
yang ingin memiliki pikiran dan pengetahuan seluas samudra, akan merendahkan
hatinya di hadapan sumber pengetahuan dan aliran-aliran pengetahuan yang
memasuki kehidupannya."
"Ia akan ikhlas menyatukan segala
pengetahuan itu menjadi satu kesatuan pengetahuan semesta. Sebab, pengetahuan
universal hanya didapat dengan menyatukan segala versi pengetahuan."
"Guru,
engkau selalu mengatakan bahwa penolakan adalah sumber penderitaan dan
penerimaan adalah awal kebahagiaan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Manu, saat kau menolak sesuatu,
maka kau akan menciptakan pemikiran-pemikiran yang antipati terhadap hal yang
kau tolak itu. Antipati akan menghasilkan bibit-bibit kebencian, yang
selanjutnya bisa menjadi sumber ketidaknyamanan dalam batinmu. Batin yang tidak
nyaman ini kian lama akan menciptakan penderitaan."
"Sedangkan penerimaan terhadap
sesuatu akan memunculkan pikiran simpati. Dari pikiran simpati bisa muncul rasa
hati yang empati. Simpati dan empati menjadi awal kenyamanan batin. Akhirnya,
kenyamanan batin inilah yang akan menciptakan kebahagiaan bagimu."
"Maka amatilah dengan seksama,
Manu. Apakah dalam hatimu muncul benih-benih penolakan ataukah penerimaan
terhadap sesuatu. Sebab, pilihan sikapmu sendirilah yang kelak menjadi sumber
dari penderitaan atau pun kebahagiaanmu sendiri."
"Guru,
Saat aku melatih diri dalam kesabaran, selalu saja ada orang-orang dan situasi
yang membuat habis kesabaranku. Apa yang mesti kulakukan, Guru?"
"Manu, jangan takut melompat ke
dalam air jika kau ingin belajar dan pintar berenang. Jangan takut basah jika
kau ingin mandi membersihkan diri."
"Begitu pun saat kau ingin menjadi pribadi
yang sabar, jangan menghindar dari hadirnya orang-orang dan situasi yang
dikirim alam untuk melatih kesabaranmu."
"Guru,
kehidupan ini membuatku putus asa menjalaninya. Bagaimana Tuhan akan menemani
dan menguatkanku menghadapi semua masalah ini?"
"Manu, Tuhan ada dimana-mana bahkan
dalam setiap napas yang kau hirup. Jika lewat napas itu Tuhan ada dalam dirimu
untuk memberi hidup, lalu apa yang mesti kau takutkan?"
"Maka dengan napas itu hidupkanlah
tubuhmu dalam kerja, hidupkan pikiranmu dalam pemikiran, dan biarkan Jiwamu
hidup dalam semangatnya menjalani kehidupan ini."
"Guru,
ajarkan aku menerima pujian dan cemoohan dengan rasa yang sama."
"Manu, saat Jiwa masuk ke dalam
tubuh materi, Dia terperangkap dalam dualitas positif-negatif. Segala dualitas
menjadi bagian dari dirinya. Itu sebabnya kita memiliki sifat baik dan buruk,
kelebihan dan kekurangan."
"Pernah salah pernah benar dalam
tindakan. Itulah kesempurnaan pada diri setiap orang, jika kau bisa melihat dan
menerimanya dengan cara sama-purna, sama pada akhirnya."
"Dualitas itu pula yang membuat
dirimu wajar bila dipuji dan dicemooh, karena kau memiliki kebaikan dan
keburukan, kelebihan dan kekurangan."
"Lihatlah pujian sebagai
penghargaan atas hal positif yang kau miliki. Karena itu akan memunculkan
semangat kebaikan dalam diri. Dan lihatlah cemoohan sebagai pujian atas hal
buruk yang masih kau miliki. Karena itu akan menghalangi tumbuhnya sifat yang
membawamu pada keangkuhan "
"Dengan cara itu kau akan mengerti
bahwa pujian dan cemoohan sama-sama bisa membawamu pada kebaikan di masa
depan."
"Guru,
masa lalu yang menyakitkan itu telah membuatku trauma menatap masa depan.
Bagaimana aku mesti menghadapi hal ini, Guru?"
"Manu, Sang Waktu menciptakan masa
lalu bukanlah untuk menjadi penghalang bagi hadirnya masa depan. Masa lalu ada
untuk menjadi dasar bagi masa depan yang lebih baik, bukan menjadi lebih
buruk."
"Bila masa lalu dipenuhi kegelapan,
maka masa depan semestinya hadir dalam kehidupan yang lebih terang, kecuali kau
biarkan pikiranmu sendiri terjebak dalam kegelapan masa lalu itu."
"Jika hati dipenuhi kebencian akan
penderitaan masa lalu, bagaimana ia akan terbuka untuk kebahagiaan di masa
depan?"
"Guru,
Saat lidah terasa pahit dan perut tidak nyaman, betapa pun lezatnya makanan, tidak
lagi menyenangkan untuk dinikmati. Untuk apa mesti ada kondisi seperti itu
dalam tubuh manusia ini, Guru."
"Manu, bila kondisi itu membuatmu
tidak nyaman, maka sesungguhnya semesta sedang menitip pelajaran bagimu."
"Bila pikiran dan hatimu kau
biarkan terbelenggu oleh praduga yang tidak baik, terjebak dalam rasa curiga
oleh asumsi pikiranmu sendiri, maka betapa pun kebaikan sedang dilakukan oleh
seseorang atau semesta ini padamu, semua itu tidak akan bisa kau rasakan
sebagai hal yang membahagiakan."
"Maka bila dalam segala hal di
kehidupan ini membuat batinmu selalu sulit menemukan rasa bahagia dan
kegembiraan, periksalah pikiran dan hatimu sendiri. Barangkali ada tabir
negatif menutupinya."
"Guru,
seringkali ada peristiwa dalam kehidupan ini yang tidak kumengerti kenapa hal
itu harus terjadi padaku. Bagaimana sebaiknya aku bersikap atas
kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan itu."
"Manu, setiap peristiwa yang
menimbulkan tanda tanya dalam pikiranmu, sesungguhnya adalah pelajaran
kehidupan yang sengaja dimasukkan dalam skenario hidupmu, agar kau menemukan
pesan makna di dalamnya."
"Amati dan pelajarilah agar kau
mengerti kenapa hal itu mesti terjadi padamu. Jika kali ini kau sudah menemukan
pelajaran karma di dalamnya, maka satu hutang pelajaran kehidupan telah kau
pahami."
"Hidup ini adalah ruang dan waktu
pembelajaran bagi Jiwamu. Pelajarilah."
"Guru,
ajarkan dan berkahilah aku sebuah kekuatan agar aku bisa melakukan suatu
keajaiban dalam hidupku."
"Manu, cobalah memaafkan sesuatu
yang sebelumnya tak mungkin kau maafkan dalam hidupmu. Saat kau mampu melakukan
itu dengan sebuah keikhlasan, maka kau akan merasakan hadirnya berkah kekuatan
hati dari Tuhan, yang selanjutnya akan mengalirkan keajaiban-keajaiban dalam
hidupmu."
"Guru,
jika kehidupan ini hanya ruang dan waktu untuk memainkan peran di bawah arahan
Sang Sutradara Agung, lalu apa salahnya Jiwa-Jiwa yang memainkan sisi buruk dan
jahat di kehidupan ini?"
"Manu, kehidupan ini sesungguhnya
menyediakan berbagai pilihan kesempatan bagi para Jiwa. Ada yang hidup untuk
hanya memainkan peran tanpa memahami dirinya. Ada pula yang datang untuk
menjalani peran kehidupan sambil mengenali rahasia dirinya. Sebagian lagi
memilih sekedar datang di bumi ini untuk belajar mengenal diri tanpa mesti
banyak melibatkan diri dalam kehidupan."
"Saat Jiwa ada dalam tubuh tumbuhan
atau hewan, seluruh waktunya dihabiskan untuk menjalankan peran alaminya dalam
keseimbangan alam. Saat Jiwa ada dalam tubuh manusia, dengan bekal pikiran dan
hati itulah mereka memiliki pilihan kesempatan."
"Apakah mereka hanya akan menjadi
pemeran dalam keseimbangan alamiah dan terlibat dalam dualitas peran yang ada,
atau memilih memainkan peran dualitas sambil bertumbuh dalam kesadaran diri,
itu kembali pada kematangan Jiwa itu sendiri."
"Ia yang memilih hanya memainkan
peran dualitas kehidupan, ia mesti merelakan dirinya berputar dalam lingkaran
Karma-Pahala. Ia yang memainkan peran dualitas sambil menuju kesadaran
sejatinya, ia seperti teratai yang tidak basah dan kotor oleh lumpur tempatnya
bertumbuh. Tentukanlah pilihanmu, agar tubuh manusia yang kau tempati ini tidak
menjadi sia-sia, Manu."
"Guru,
Tubuh yang demam ini telah menyakiti seluruh sendi, otot dan kepalaku. Asam
arakhidonat yang dihasilkannya begitu mengilukan. Bebaskan aku dari gejala yang
menyiksa ini, Guru."
"Manu, saat panas demam pada tubuh
itu menyiksamu, kau berusaha keras untuk mendinginkan suhu tubuh agar kepalamu
tak terasa sakit lagi. Tapi saat hatimu panas oleh seseorang atau sesuatu dalam
kehidupan ini, kenapa kau tidak berusaha menurunkan panas hatimu itu,
Manu?"
"Padahal hatimu yang panas itu pun
menyakiti kepala dan tubuhmu. Renungkanlah Manu, agar demam tubuhmu tidak
sia-sia hadir mengajarimu."
"Guru,
semakin tua usia kita, kacamata yang dibutuhkan kebanyakan kacamata plus.
Sedangkan makin muda, kacamatanya adalah minus. Apa yang sedang diajarkan oleh
mata kita Guru?"
"Begitulah Manu. Tubuhmu sedang
mengingatkan agar semakin bertambah umur, makin sering kau menggunakan mata
hati untuk melihat hal-hal positif di kehidupan ini. Melihat hal-hal positif
pada setiap orang dan pada setiap keadaan. Sebab, di saat remaja sebagian hidup
ini seringkali lebih terlihat hal-hal negatifnya."
"Apakah di usiamu kini kau masih
lebih mudah melihat sisi negatif daripada sisi positif kehidupan ini,
Manu?"
"Guru,
ingin rasanya mengetahui seperti apa rasa kebahagiaan sejati itu. Bolehkah aku
mengetahui rasa itu, Guru?"
"Manu, saat kau merasakan suatu
kebahagiaan yang tak terlukiskan budget kau melihat pancaran mata penuh
kebahagiaan pada seseorang yang berhasil kau bahagiakan dengan suatu perbuatan
baikmu yang datang dari ketulusan Jiwa, itulah rasa kebahagiaan sejati."
"Sebab, kebahagiaan yang hadir saat
ia berhasil membahagiakan Jiwa yang lain lewat ketulusan dari perbuatan baiknya,
itulah rasa kebahagiaan Jiwa."
"Guru,
ada banyak kekhilafan dan dosa dalam kehidupan yang pernah kujalani. Dengan
cara apa aku bisa menjadikan diriku layak untuk menjumpai Tuhan? Aku bukan pula
orang suci, bahkan mungkin tak mampu menyucikan diriku dari segala noda
kehidupan."
"Manu, seperti saat seorang anak
mendatangi Ayah-Ibunya dengan penuh kerinduan, di situlah Ayah-Ibu akan
merangkulnya dengan penuh kerinduan dan cinta kasih, seakan tak pernah ada
kebaikan atau pun kekhilafan sang anak yang mampu menodai perjumpaan rasa itu,
begitulah Tuhan akan memeluk Jiwamu dengan cinta kasih, saat kau mendatangi
Tuhan dengan kerinduan sepenuh Jiwa."
"Guru,
Betapa pun banyak dan bergunanya suatu nasehat, kenapa itu tidak selalu bisa
mengubah seseorang, Guru? Bahkan seringkali nasehat yang baik bisa berujung
pada perselisihan."
"Manu, sebanyak-banyak kata kau
ucapkan pada seseorang yang sedang tertidur lelap, semua katamu itu akan sirna
oleh angin. Hanya saat ia terbangun sendiri atau kau bisa membangunkannya dengan
lembut, maka kata-kata atau apa pun yang kau tunjukkan akan mudah
dilihatnya."
"Begitulah kesadaran menjadi syarat
utama bagi seseorang untuk bisa menerima suatu nasehat. Bila ia belum bangun
dan sadar akan kebutuhannya terhadap suatu pengetahuan dalam nasehatmu, maka
setiap kata-kata tak akan mampu menyentuh hatinya."
"Bangunkanlah dengan lembut
kesadarannya, atau bila kau tidak mampu, sabarlah menunggu hingga ia terbangun
sendiri dalam kesadaran itu dan siap menerima masukan darimu."
"Guru,
apa salahnya jika aku memiliki dendam pada mereka yang tak pernah menyadari
betapa kata-kata dan sikap mereka pernah begitu menyakitkan hatiku."
"Manu, bahkan semua orang yang
sakit akan berusaha dengan segala cara untuk menghilangkan penyakit yang
bersarang dalam dirinya. Lalu kenapa rasa benci yang menyisakan sakit hati
mesti kau pelihara menjadi bara dendam yang terus membakarmu dari dalam?"
"
Guru, ajarkan aku jalan untuk bisa menjumpai Tuhan"
"Manu, Tuhan adalah sumber
pengetahuan dan cinta kasih. Itu sebabnya Tuhan menyediakan pikiran dan hati
sebagai alat bagimu untuk mengantar perjalananmu menjumpai Tuhan."
"Gunakanlah pikiranmu untuk
menemukan Tuhan sebagai sumber segala pengetahuan. Saat pikiranmu menemukan
Tuhan sebagai pengetahuan yang tak terbatas, kau akan mengerti Tuhan ada
dimana-mana sebagai segala ciptaan yang adalah wujud pengetahuan Tuhan."
"Gunakanlah hatimu untuk merindukan
perjumpaan rasa dengan cinta kasih Tuhan. Saat hatimu menemukan betapa luasnya
cinta kasih Tuhan padamu, kau akan merasakan perjumpaan rasa dengan Tuhan."
"Guru,
kenapa begitu sulit mengetahui, mengenal dan menyadari kebenaran sejati
itu?"
"Manu, ia yang dibesarkan dengan
ajaran yang berisi pembenaran demi pembenaran, yang pikirannya dibatasi oleh
konsep-konsep pembenaran yang terbatas, bagaimana ia akan mudah mengenal
Kebenaran yang tak terbatas itu?"
"Maka kenalilah dengan cermat
setiap pemahaman yang diajarkan padamu. Bila itu membuatmu terbatas dan terikat
dalam fanatisme, kau sedang menjauh dari Kebenaran sejati yang tak terbatas
itu."
"Guru,
salahkah bila saat berdoa aku mengajukan berbagai permintaan pada Tuhan agar
diberikan hal-hal duniawi yang kuinginkan? Bukankah semestinya aku hanya
melakukan persembahan dalam doa dan tidak meminta apa-apa? Karena katanya mempersembahkan
doa demi terkabulnya sebuah harapan, adalah doa yang tidak tulus."
"Manu, apa yang salah ketika yang
lebih kecil meminta pada yang lebih besar? Apa yang salah saat yang lebih
rendah meminta pada yang lebih tinggi? Bahkan sungai-sungai meminta air dari
danau untuk dialirkannya."
"Jika bagimu Tuhan adalah sumber
segalanya, lalu apa yang salah saat kau meminta dalam doa-doamu pada Sang
Sumber? Bahkan jika kau mempersembahkan seluruh isi alam padaNya, kau
mempersembahkan pada pemiliknya sendiri."
"Mintalah padaNya dalam doa-doa.
Lalu persembahkan pikiran, kata-kata dan perbuatan yang selaras dengan
doa-doamu itu kepadaNya. Dengan begitu akan layak bagimu menerima berkahNya.
Sebab, setiap doamu padaNya di luar sana, tak lain adalah doa pada Jiwamu sendiri
di dalam."
"Guru,
Telah lama aku belajar meditasi, Guru. Mengamati, menyadari, menerima dan
mengikhlaskan kemarahan, kesedihan atau emosi negatif lainnya yang pernah
muncul dalam diriku. Setelah itu aku menjadi lebih tenang saat mengingat kembali
hadirnya emosi tersebut. Namun kenapa ketika aku memasuki lagi masalah yang
baru di kehidupanku, emosi-emosi seperti itu tetap saja membuatku gusar? Apakah
meditasiku sia-sia, Guru?"
"Manu, jika yang kau amati, terima
dan lepaskan dalam meditasimu itu adalah emosi-emosi yang pernah muncul di masa
lalu, tentu saja kau hanya akan menjadi lebih tenang terhadap kenangan
peristiwa saat emosi-emosi itu muncul. Ketika kau mengalami masalah yang baru,
kau akan mudah kembali kepada liarnya emosi."
"Ia yang menjadikan hidup
kesehariannya sebagai meditasi itu sendiri, yang selalu mengamati dan menyadari
setiap masalah yang muncul dalam hidupnya, lalu hening sejenak untuk
merenungkan kebenaran dalam situasi itu, maka dialah yang akan selalu tenang
dalam segala keadaan."
"Kehidupan dengan segala
permasalahan yang kau hadapi, itulah momen yang paling baik untuk berlatih
meditasi, Manu."
"Guru,
aku telah meruwat diriku dengan air suci dari berbagai sumber. Tapi kenapa
batinku tetap saja seakan ada dalam kegelapan? Aku merasa kekacauan selalu
berkecamuk dalam diriku."
"Manu, air akan membersihkan
tubuhmu dari kekotoran. Namun kegelapan pikiran dan batinmu akan dibersihkan
dan diterangi oleh cahaya pengetahuan. Sedangkan kegelapan yang dirasakan
Jiwamu akan dilenyapkan oleh cahaya cinta."
"Maka ruwatlah dirimu dengan air
suci, ruwat pikiranmu dengan pengetahuan yang terang dan suci, serta sirami
Jiwamu dengan cahaya cinta. Dengan itulah kau akan mendapatkan manfaat ruwatan
yang sesungguhnya."
"Guru,
Saat aku merasa tidak nyaman dengan keberhasilan yang diraih orang lain, apakah
aku tidak berhak memiliki rasa iri dalam hatiku, Guru?"
"Manu, untuk setiap rasa iri yang
kau bangun dalam hatimu terhadap keberhasilan atau pencapaian seseorang, saat
itu pula kau sedang membangun benih-benih kebencian dan penolakan terhadap
suatu keberhasilan yang sama dalam hidupmu."
"Jika kau membenci dan menolak
sebuah pencapaian, bagaimana hal yang sama akan memasuki kehidupanmu? Kau boleh
iri pada keberhasilan orang lain, jika kau tidak menginginkan
keberhasilan-keberhasilan dalam hidupmu. Atau kau boleh ikut berbahagia melihat
keberhasilan orang lain, jika kau pun mengharapkan hal yang sama."
"Bayangkan jika seorang kakak
membenci apa yang didapatkan seorang adik dari Ibu mereka. Apakah si Ibu akan
ikhlas memberikannya hal yang sama? Atau bayangkan jika si kakak bahagia
melihat kebahagiaan saudaranya itu, tidakkah si Ibu yang penuh cinta kasih akan
memberikannya hal yang sama?"
"Hal yang sama terjadi dalam
kehidupan persaudaraan di semesta ini. Ayah-Ibu Semesta akan melakukan hal yang
terhadap rasa iri dalam hati setiap anak-anak semestaNya, Manu"
"Guru,
aku semakin jenuh dengan kehidupan yang kujalani saat ini. Kenapa kejenuhan
seperti itu mesti hadir dalam kehidupan ini?"
"Manu, saat hal-hal dalam hidupmu
tak bisa lagi membuatmu larut di dalamnya, tak bisa lagi kau nikmati, kau akan
didera rasa jenuh terhadapnya."
"Sesungguhnya bukan hal-hal itu
yang telah membosankan dan membuatmu jenuh. Kau hanya tidak menemukan cara lain
untuk menikmatinya kembali. Bukankah kau tetap bisa menikmati setiap napasmu,
meski kau melakukan hal yang sama sepanjang usiamu?"
"Temukan saja cara baru untuk
menikmati hal-hal yang lama itu, maka kejenuhanmu akan berkurang, Manu."
"Guru,
benarkah pengetahuan tentang Tuhan itu tak bisa dijelaskan? Dan benarkah rasa
perjumpaan dengan Tuhan itu pun tak terjelaskan?"
"Manu, ia yang mengetahui dengan
baik dan jelas apa yang dikatakannya, maka ia akan mampu menjelaskan dengan
baik dan jelas tentang hal itu."
"Ia yang mengetahui dengan jelas
apa yang dirasakannya, maka ia pun akan tahu bagaimana menjelaskan rasa itu
dengan lebih baik."
Setiap hari orang-orang mengeluh dan
menggerutu sambil menghindari genangan lumpur selutut di dekat pasar.
Hari ini, beramai-ramai mereka justru
berendam dalam lumpur itu sembari tangan mereka tampak menggapai-gapai sesuatu
di dasar lumpur.
Ooh, ternyata tersiar kabar seorang
wanita kaya kejatuhan sekeping intan pagi ini. Dan telah dijanjikan separuh
harga bagi yang berhasil menemukannya.
Manu mengamati dari dekat kesibukan
orang-orang tersebut, yang saban hari biasanya menggerutui genangan lumpur itu.
Hingga ia tersentak saat seciprat lumpur masuk ke dalam telinganya, seakan
berbisik padanya;
"Lihatlah Manu. Saat mereka
mengetahui ada sesuatu yang berharga di bawah kubangan ini, mereka berhenti
menggerutu dan penuh semangat mencoba menemukan benda berharga itu."
"Tidakkah mereka kelak tersadar,
bahwa di setiap momen atau peristiwa kehidupan yang selalu mereka keluhkan, ada
makna-makna pelajaran yang sangat berharga bagi hidup mereka? Kenapa mereka
tidak semangat menemukan makna itu, seperti mereka semangat mencari intan dalam
kubanganku hari ini?"
"Guru,
Gugurnya Rsi Bhisma, Guru Drona dan Raja Karna, tiga ksatria hebat dan baik
namun berpihak pada Korawa, selalu diawali oleh peristiwa percakapan penuh
nasehat kebenaran oleh Sri Khrisna kepada mereka. Kenapa mesti demikian,
Guru?"
"Manu, usai mendapat wejangan
tentang pengetahuan kebenaran sejati oleh Sri Khrisna, barulah ketiga ksatria
hebat itu mengalami pencerahan dan kesadaran akan kebenaran dan diri sejati.
Setelah mengalami pencerahan itulah mereka bisa menerima kematian dengan
ikhlas, tanpa dendam dan kebencian pada kehidupan."
"Begitulah semestinya setiap orang
di kehidupan ini, Manu. Sebelum ajal kelak menjemputmu, sudah selayaknya kau
membekali diri dengan pengetahuan akan kebenaran sejati. Dengan begitu Jiwamu
akan mudah meninggalkan kehidupan bumi ini dengan ikhlas tanpa beban."
"Sudahkan kau mempelajari kebenaran
itu sebelum semua terlambat, Manu? Karena Sang Waktu tidak akan memberi tanda
pasti kapan saat ajalmu tiba nanti."
"Guru,
dimana sesungguhnya kekuatan kata 'syukur' itu? Kenapa kita selalu diajarkan
bersyukur?"
"Manu, kata syukur itu seperti kata
ucapan terima kasih saat kau diberikan sesuatu oleh orang lain. Hanya saja kata
terima kasih atas pemberian Tuhan dan semesta ini diucapkan sebagai kata
syukur."
"Bayangkan jika kau berada pada
posisi sang pemberi. Manakah yang membuatmu lebih senang memberi; pada mereka
yang tulus dan selalu gembira pada setiap pemberianmu, sekecil apa pun yang kau
berikan, lalu berucap terima kasih, ataukah pada mereka yang tak pernah
berterima kasih dan bahkan tidak menghargai setiap pemberianmu?"
"Jika kau mengerti jawabanmu, kau
akan mengerti kenapa Tuhan dan semesta ini lebih suka memberi berkah pada
mereka yang mensyukuri setiap rasa yang dialirkan ke dalam kehidupannya."
"Guru,
rasanya kekuatan untuk menyakiti itu lebih besar dari kekuatan untuk meminta
maaf, apalagi memaafkan. Apa sesungguhnya yang menyebabkan ketimpangan
itu?"
"Manu, kau hanya perlu kurang dari
sedetik untuk menggores tangan hingga luka berdarah dan menyisakan rasa pedih
perih. Namun kau selalu memerlukan waktu bahkan lebih dari seminggu untuk
menyempurnakan kesembuhan luka itu."
"Itulah fakta alami pada luka yang
ditimbulkan di kulit tubuh. Bisa kau bayangkan bila luka itu mengenai pikiran
dan batin. Sebesar-besarnya kata maaf, tidak akan cukup besar untuk benar-benar
memberi kesembuhan sempurna tanpa bekas rasa luka di batin."
"Maka sebagaimana kau menghindari
batinmu terluka oleh kata-kata atau sikap orang lain, hindari hal yang sama kau
lakukan pada orang lain. Sebab ribuan kata maafmu tak akan mudah
menyembuhkan."
"Guru,
jika agama adalah jalan menuju kebebasan Jiwa, kenapa justru banyak yang
terjebak dan melekat pada pemahaman yang terbatas?"
"Manu, agama itu berisi
ajaran-ajaran yang membebaskan Jiwa. Persis seperti saat kau ingin berenang
bebas di samudra yang luas, maka yang terpenting bukanlah perahu yang kau
tumpangi melainkan pelajaran tentang bagaimana bisa berenang tanpa tenggelam di
samudra itu."
"Jika perahu itu yang terpenting
bagimu, mungkin kau bisa bertahan untuk sementara waktu di atas samudra. Namun
begitu badai datang dan menjatuhkanmu ke lautan, kau akan mudah tenggelam jika
tidak mempraktekkan ajaran berenang dalam badai di tengah samudra."
"Agama itu serupa perahu. Lalu
ajaran-ajaran moral di dalamnya mirip seperti pelajaran berenang dan
penyelamatan diri. Dan pengetahuan kesemestaan di dalamnya mirip seperti
pengetahuan tentang samudra agar kau bisa menikmati keindahan di
dalamnya."
"Jika perahu membuatmu hanya
mengapung di atas samudra dalam ruang terbatas, sedangkan pelajaran berenang
membuatmu bisa menikmati keindahan samudra, maka renungkanlah Manu, mana yang
lebih penting bagimu. Perahu ataukah ajaran dan pengetahuan di dalamnya."
"Guru,
salahkah jika aku mengeluarkan kata-kata caci maki, atau apa pun yang mewakili
berbagai macam emosi hatiku? Bukankah kotoran emosi itu harus dikeluarkan agar
batinku tetap bersih dan sehat?"
"Manu, sebagaimana kotoran tubuh
mesti dikeluarkan agar tidak terpendam dan menjadi bibit penyakit, begitu pun
kotoran-kotoran pikiran dan emosi hati."
"Namun, bukankah selama ini kau
diajarkan untuk membiasakan diri membuang kotoran tubuh di tempat yang sangat
pribadi dan tidak ditonton orang banyak?"
"Maka ia yang bijaksana akan
memilih sikap dan cara yang sama saat hendak mengeluarkan kotoran pikiran dan
batinnya. Ia membuangnya di tempat yang tidak akan mengotori orang lain, agar
bibit penyakit dalam kotoran batinnya itu tidak menyebar dan menulari, apalagi
menyakiti siapa pun."
"Guru,
apakah menerima suka dan duka dalam rasa yang sama itu berarti kita tidak perlu
bersedih saat duka hadir, atau bergembira saat bahagia datang?"
"Manu, menerima kedua rasa itu
dalam cara yang sama, bukanlah berarti tiada perlu ada kesedihan dan
kegembiraan atau pun hidup datar tanpa emosi. Menerima dengan keikhlasan yang
sama rasa sedih dan gembira, suka dan duka, untuk segera kembali pada suasana
batin yang tenang, itulah maknanya."
"Maka bersedihlah saat duka datang
dan bergembiralah saat bahagia datang. Mengalir namun jangan biarkan batinmu
lama terjebak di dalam gelombang rasa suka-duka itu."
"Bahkan samudra ciptaan Tuhan pun
tak luput dari gelombang dan badai, untuk selanjutnya kembali tenang pada
saatnya."
"Guru,
katamu di balik bencana tersembunyi berkah. Lalu berkah apa yang bisa kulihat
di balik perpisahan oleh kematian ini? Bagaimana aku bisa melepas kesedihan
ini?"
"Manu, bersedihlah jika kau harus
bersedih. Ijinkan batinmu mengalir bersama setiap rasa. Mengalirlah agar setiap
rasa itu tidak menggenang."
"Jika menggenang di dalam, ia
menjadi kesedihan mendalam. Jika menggenang di luar, ia menjadi tangis yang tak
berkesudahan. Biarkan ia mengalir agar ia hilang sebagaimana ia muncul."
"Saat mata hatimu kembali jernih
oleh air mata yang membersihkannya, lihatlah berkah tersembunyi di balik
kematian itu."
"Bagi Jiwa yang telah tuntas
memahami pelajaran kehidupan dan kematian, maka apa pun jalan pulang yang
dipilihnya, itu adalah momen kebebasan bagi Jiwanya. Bebas dari segala ikatan
suka-duka oleh tubuh ini."
"Bagi Jiwa-Jiwa yang ditinggalkan
di kehidupan bumi, momen kematian menyisakan banyak pelajaran. Selamilah
pelajaran itu, karena berkah kematian ada di balik pembelajaran hidup yang
tersisa."
"Guru,
jika takdir memang tak bisa diubah, lalu untuk apa aku harus berusaha
memperbaiki keadaan?"
"Manu, berusaha memperbaiki keadaan
yang kerap disebut sebagai nasib, hingga akhirnya terbukti bahwa ternyata itu
sudah merupakan sebuah takdir, adalah pilihan sikap mereka yang bijak."
"Jadi, tetaplah berusaha Manu.
Karena kau tak akan pernah tahu dengan mudah yang mana nasib dan takdir, hingga
kau sampai pada kenyataannya di masa depan."
"Guru,
maafkan aku. Ada saatnya aku harus menyerah pada keadaan yang tak bisa kuubah
dan menjadi putus harapan. Bagaimana kini aku bisa mulai membangun harapan lagi
pada kenyataan yang tak akan berubah itu?"
"Manu, bila kenyataan yang tidak
sesuai harapan itu tidak bisa kau ubah agar menjadi sesuai harapanmu, maka
mulailah berharap agar kau bisa menerima kenyataan itu apa adanya."
"Kebahagiaan tidak hanya tercipta
karena suatu kenyataan itu sudah sesuai harapan. Menerima kenyataan dengan
ikhlas apa adanya, adalah juga sebuah sumber kebahagiaan."
"Sebab sesungguhnya, rasa yang
muncul saat kenyataan itu sesuai dengan harapan, hanyalah rasa senang. Ia tidak
abadi. Kesenangan itu bersumber dari hal-hal diluar diri. Sedangkan rasa
kebahagiaan itu bersumber dari Jiwamu sendiri."
"Guru,
aku tidak paham benar apa sesungguhnya ketulusan, kepasrahan, kesabaran dan
keikhlasan itu. Manakah yang seharusnya didahulukan dalam bertindak? Jika
ketulusan adalah melakukan sesuatu tanpa memikirkan hasil, bagaimana mungkin itu
dilakukan? Sebab ketika kita melakukan sesuatu, pastilah karena kita
menginginkan sebuah hasil."
"Manu, saat seorang pemanah sejati
membidikkan panahnya ke sasaran, ia sungguh-sungguh fokus pada setiap gerakan
tubuhnya. Ia merentangkan busur sedemikian rupa agar tepat mengantar anak panah
ke sasaran. Ia fokus pada kuda-kuda kakinya. Fokus pada perhitungan arah panah.
Ia fokus pada segala tindakan yang diperlukan untuk mencapai target."
"Fokus pada kerja itu sendiri agar
menjadi usaha yang maksimal, itulah ketulusan. Ia fokus pada tiap tahap kerja
yang dilakukan, tapi tidak pada rasa yang terletak pada hasil. Mereka yang
bekerja denan memfokuskan pikiran pada rasa akan hasil, mereka mudah terjebak
pada kebahagiaan oleh keberhasilan atau kesedihan oleh kegagalan, padahal hasil
itu sendiri sama sekali belum terjadi. Terjebak pada rasa hasil yang belum
tercapai itu akan membuatmu tidak lagi fokus pada kerjamu saat ini."
"Setelah semua tahap kerja berjalan
dengan baik, lalu lepaskan anak panah itu dan biarkan ia mencapai sendiri
targetnya. Mengalir bersama kehendak alam atas proses selanjutnya setelah usaha
maksimal kau kerjakan, itulah kepasrahan."
"Seberapa pun waktu yang diperlukan
hingga kerjamu mencapai hasilnya, itulah ujian kesabaran. Dan kelak ketika hasil
telah ditunjukkan, maka penerimaan dengan cara yang sama terhadap kegagalan dan
keberhasilan pencapaian , itulah keikhlasan, Manu. Lalu kembalilah pada ujian
kesabaran untuk memulai prosesnya dari awal, hingga hasil yang kau harapkan itu
bisa terjadi dengan baik."
"Guru,
jika segala hal dihadirkan di bumi ini untuk sebuah tujuan yang bermanfaat,
lalu apa guna hadirnya orang-orang yang suka memfitnah?"
"Manu, seseorang disebut tukang
fitnah karena ia menyampaikan sesuatu yang tidak benar. Namun mereka yang
percaya pada fitnah adalah mereka yang tidak tahu kebenaran. Sebab, mereka
terlalu mudah percaya pada pembenaran yang didengarnya tentang sesuatu atau
seseorang."
"Maka mereka yang suka memfitnah
sesungguhnya hadir untuk mengajarimu agar tidak terlalu mudah percaya pada satu
sisi informasi. Saat kau mempercayai sesuatu hanya dari satu sisi, disitu kau
tidak akan menyadari apakah kau sedang mendengar suatu fitnah ataukah suatu
kebenaran. Berhati-hatilah."
"Guru,
betapa pun keras Khrisna, Bhisma, Guru Drona dan Widura menasehati Duryudana
agar menghindari perang dengan Pandawa, bahkan dibalik rasa gentarnya pada
Arjuna, Duryudana tetap keras kepala melanjutkan perang. Apa yang sedang
terjadi disitu, Guru?"
"Manu, itulah pelajaran tentang
takdir. Peperangan Mahabrata adalah takdir yang mesti terjadi. Namun disitu
terselip pesan bahwa betapa pun takdir telah ditentukan, segala usaha mesti
tetap dilakukan secara maksimal."
"Sebab kau tak akan pernah tahu
rahasia skenario semesta, hingga kenyataan membuktikan dirinya. Apakah itu
skenario takdir yang tak bisa diubah, ataukah skenario nasib yang masih bisa
diubah. Maka tetaplah berusaha maksimal, karena kau tak pernah tahu apa yang
akan terjadi."
"Guru,
bagaimana mungkin aku bisa belajar spiritual demi membebaskan diri dari
kemelekatan duniawi? Sebab dalam kehidupanku ini masih diperlukan hal-hal
duniawi dan tidak mungkin aku membenci semua itu agar terbebas darinya."
"Manu, belajar membebaskan diri
dari kemelekatan duniawi dengan membenci semua hal-hal duniawi, bukan jalan
yang bijak. Karena justru kebencian itulah yang membuat pikiranmu tetap melekat
padanya meski kau tidak memilikinya. Begitu pun kecintaan yang berlebihan pada
hal-hal duniawi akan membuatmu melekat padanya."
"Cinta berlebihan pada apa yang kau
miliki, atau benci berlebihan pada apa yang tidak kau miliki, adalah sumber
kemelekatan duniawi itu sendiri."
"Jika kau sedang menuntun seekor
sapi pada talinya, peganglah tali itu tapi jangan mengikat tanganmu pada tali
itu. Kelak jika sapi itu menjadi liar dan berusaha menyeretmu kemana-mana, kau
akan mudah melepasnya. Seperti itulah hendaknya kau memegang apa yang kau
miliki, tapi segera lepas bila mereka mulai menyeretmu pada kemelekatan yang
kelak menghambat Jiwamu pulang ke alam kematian."
"Guru,
siapakah kelima anak Drupadi bersama Pandawa itu di dalam diri kita? Dan kenapa
mereka pun harus gugur demi tegaknya kebenaran?"
"Manu, jika Drupadi adalah tubuhmu,
Yudistira adalah hati yang bijaksana, Bima adalah simbol kekuatan energi,
Arjuna adalah pikiran serta Nakula-Sahadewa adalah dualitas dalam diri yang
saling melengkapi."
"Maka anak-anak yang lahir dari
Drupadi dengan kelima Pandawa adalah simbolis dari kerja tubuh yang kau gunakan
untuk berkarma di kehidupan ini dengan penuh bijaksana, penuh semangat dan
tekad yang kuat. Juga dikendalikan dengan penuh kecerdasan pikiran serta
keseimbangan dualitas yang saling melengkapi."
"Pada akhirnya semua itu pun akan
lenyap setelah memainkan peran mereka dalam menegakkan kebenaran tugas
kehidupanmu, sebagai persembahan sempurna bagi siklus semesta ini."
"Guru,
saat kita belajar sabar menghadapi sikap orang-orang yang menyakiti kita,
kenapa mereka justru bertambah gencar berusaha menyakiti kita hingga kesabaran
kita pun terasa terkikis pelan-pelan?"
"Manu, kesabaran adalah perisai
hati yang mampu menahan segala serangan yang menyakitkan lewat kata-kata, sikap
atau perilaku."
"Itu sebabnya ketika kau
menunjukkan kesabaran yang kian kuat dan teguh untuk tidak melawan, maka mereka
yang berniat menyakitimu akan kian penasaran karena usaha mereka menjadi
sia-sia untuk menyakitimu."
"Jika kau tetap teguh dalam
kesabaran, maka lama-lama mereka akan menyerah. Namun jika kau yang lebih dulu
menyerah dan merasa tersakiti, lalu mulai menunjukkan sikap tersakiti, mereka
akan merasa berhasil dalam usahanya. Mereka tidak akan berhenti oleh
keberhasilan itu, melainkan kian senang karena telah menemukan kelemahan
hatimu."
"Guru,
apa yang menjadi penyebab begitu banyaknya masalah yang sulit ditemukan
solusinya?"
"Manu, kebanyakan orang ketika
mengalami masalah akan memilih untuk menghabiskan energi mereka dalam
perdebatan demi mencari dan memutuskan siapa yang bersalah dalam situasi
tersebut."
"Akibatnya tentu saja akan lebih
banyak energi yang terbuang sia-sia demi mencari pembenaran masing-masing agar
tidak tersudutkan sebagai pihak yang bersalah."
"Bahkan ketika salah satu pihak
sudah diputuskan sebagai pihak yang salah dan harus menanggung tugas
memperbaiki keadaan, energi mereka sudah tidak cukup lagi untuk memikirkan dan
menemukan solusi dari permasalahan tersebut, apalagi untuk bekerja
memperbaikinya."
"Namun bila saja semua pihak lebih
memilih menggunakan energi yang ada dengan bijak, maka menemukan solusi dan
memperbaiki keadaan akan menjadi lebih mudah."
"Guru,
kenapa rasa kebahagiaan di dunia ini begitu mudah berlalu?"
"Manu, sumber kebahagiaan batin itu
ada di luar dan di dalam diri. Jika kau memilih kebahagiaan batin yang
diciptakan oleh hal-hal diluar diri, maka kau akan membangun batasan-batasan
kondisi yang kau anggap akan membahagiakanmu. Itulah kebahagiaan bersyarat. Kau
akan berkata, "aku akan bahagia jika..."
"Saat kondisi itu tidak sesuai
harapanmu, kau akan mudah jatuh kembali dalam rasa kekecewaan. Inilah yang
mudah melenyapkan rasa bahagia yang pernah hadir itu."
"Namun jika kau mampu menemukan
sumber kebahagiaan dalam dirimu sendiri, kau akan berkata, "Aku bahagia
dalam segala keadaan."
"Dengan cara itu, batinmu akan
membantumu menemukan celah-celah keadaan yang bisa membuatmu tetap bisa merasa
bersyukur dan bahagia, meski itu dalam suasana yang tampak tidak
menyenangkan."
"Guru,
bagaimana cara menyikapi agar aku mudah memaafkan orang yang menyakiti
hatiku?"
"Manu, bayangkan saat tubuhmu
dilukai oleh seorang dokter ahli bedah. Bukan saja kau menerima rasa sakit itu,
namun kau bahkan ikhlas membayar dan berterima kasih atas tindakan dokter
melukaimu. Itu karena kau melihat ada upaya penyembuhan dibalik luka yang
dilakukan padamu itu."
"Begitu pun jika kau mampu melihat
bahwa setiap kejadian yang melukai hatimu oleh seseorang, ternyata ada skenario
penyembuhan luka masa lalu dalam Jiwamu, maka kau akan bisa menerima dan mudah
memaafkan."
"Setiap hal buruk yang pernah kau
lakukan di kehidupan masa lalu, menjadi penyesalan yang melukai Jiwamu. Lalu
kau diijinkan lahir kembali untuk menebus rasa sakit itu dengan menerima rasa
sakit saat ini sebagai pahala karma masa lalu."
"Guru,
kenapa pelajaran dan ujian kehidupan ini mesti kulalui dengan penuh
penderitaan? Bukankah semestinya semesta memberiku pelajaran dengan cara yang
menyenangkan?"
"Manu, setiap rasa dalam pelajaran
itu adalah bagian dari pelajaran rasa kehidupan. Seperti rasa dalam makanan
yang meliputi asin, manis, pahit, pedas, asem dan sebagainya, kau pun harus
menerima semua rasa itu apa adanya sebagai segala rasa yang ada dalam
makanan."
"Begitu pun rasa dalam pelajaran
dan ujian kehidupan ini. Ada rasa suka-duka, benci-cinta, serta segala rasa
hati akibat racikan emosi yang muncul dari persepsi pikiranmu sendiri."
"Nikmati semua rasa itu dan terima
mereka adalah bagian dari rasa kehidupan. Semua rasa itu tidak abadi, namun
pelajaran yang ada dibalik rasa itulah yang abadi dan penting bagi pertumbuhan
Jiwamu. Seperti halnya semua rasa makanan hanya bertahan dalam mulut, namun
zat-zat nutrisinyalah yang penting bagi pertumbuhan tubuhmu."
"Guru,
setelah 12 tahun diasingkan, lalu pada tahun ke-13 para Pandawa diharuskan
menyamar agar tidak diketahui siapa pun jika tidak mau mengulang lagi masa
pengasingan 12 tahunnya. Apa maksudnya itu Guru?"
"Manu, 12 tahun itu adalah masa
belajar segala hal bagi Pandawa dalam dirimu. Belajar mencapai kecerdasan
pikiran (Arjuna), belajar kesabaran dan keteguhan hati (Yudistira), belajar
menggunakan tenaga (Bima) dengan baik, belajar menggunakan segala dualitas (Nakula-Sahadewa)
dalam diri."
"Lewat segala masa pembelajaran
itu, kau harus belajar menyembunyikan segala kemampuanmu itu. Belajar
"menyamar" dalam kerendahan hati, mengatasi hasrat kesombongan yang
muncul dari dalam."
"Belajar menjadi tersembunyi, belajar
rendah hati inilah kesulitan terbesar seorang pembelajar, Manu. Jika kau gagal,
kau mesti kembali mengulang masa pembelajaran itu."
"Guru,
hanya dengan menyesap nikmatnya sebutir beras, Khrisna mampu membuat para Rsi
ikut terpuaskan rasa laparnya padahal Pandawa tidak memberi mereka suguhan apa
pun. Kenapa itu bisa terjadi?"
"Manu, itulah pelajaran tentang
menyatunya kesejatian seluruh Jiwa yang ada pada setiap orang. Saat satu Jiwa
yang telah mengalami kesadaran semesta membagi kepuasan batin dan tubuhnya
kepada mereka yang diharapkannya mengalami hal yang sama, maka itu pun akan
terjadi."
"Begitu pun saat seorang Guru
membagikan percikan kesadaran semestanya pada mereka yang dia inginkan untuk
mengalami hal yang sama, maka tanpa pernah dimengerti oleh murid-muridnya, rasa
kesadaran itu pun akan dialami oleh mereka yang dekat dengan Sang Guru
itu."
"Guru,
dimana hilangnya sifat-sifat pelindung dari para ksatria Pandawa? Saat istrinya
sendiri dilecehkan dan dihina sedemikian rupa oleh Korawa, tepat di depan
tatapan mereka dan mereka hanya bisa terdiam."
"Manu, begitulah sifat-sifat baik
dalam dirimu, hati yang teguh dalam kejujuran, pikiran yang cerdas, tenaga yang
kuat, semua tidak akan berdaya manakala ego-ego negatif Korawa telah menguasai
dan memperbudak sifat Pandawa dalam dirimu. Drupadi atau tubuhmu hanya akan
menjadi budak dari sifat-sifat negatif itu."
"Guru,
kenapa saat seseorang kian menua, pikiran mereka mulai pikun?"
"Manu, itulah cara alam untuk
membuat pikiran sadar manusia perlahan melupakan segala beban suka-duka
kehidupan yang kelak bisa menghalangi perjalanan Jiwanya usai dijemput
kematian. Jika kau rajin berlatih ikhlas melepas segala suka duka kehidupan
yang telah berlalu, maka kelak kepulangan Jiwamu ke rumah sejatinya akan lebih
mudah dan membahagiakan."
"Guru,
kenapa hidupku selalu dikunjungi oleh masalah dan ketidaknyamanan? Bahkan masa
laluku juga begitu sering disakiti dan menderita. Apakah aku akan terus
menderita?"
"Manu, ia yang batinnya ikhlas
melepas segala kenangan buruk masa lalu, membebaskan dirinya dari dendam,
kemarahan dan rasa sakit atas peristiwa yang telah berlalu, tak ubahnya
seseorang yang berani membersihkan kaca lampu hatinya dari kotoran negatif,
hingga cahaya nuraninya memancar keluar untuk membawanya pada kehidupan yang
lebih terang."
"Dan sebagaimana laron-laron
beterbangan mendekati cahaya lampu, begitulah berkah kehidupan akan mendekati
ia yang cahaya nuraninya telah terang di dalam."
"Guru,
hidup ini memberi pilihan yang begitu banyak. Jika apa yang kupilih ternyata
membawa banyak masalah karena halangan-halangan yang datang dari orang lain,
apa yang harus kulakukan pada mereka?"
"Manu, jika kau memilih pergi ke
hutan, jangan salahkan bila disana ada banyak binatang buas, pohon besar dan
semak-semak berduri. Mereka sudah ada disana sebelum kau memilih masuk ke
tempat itu."
"Begitu pun setiap jalan yang akan
atau telah kau pilih. Jika disana ada banyak orang yang menghalangi
perjalananmu, atau banyak menciptakan penderitaan bagimu, itu adalah pilihanmu
sendiri. Mereka seperti itu bukan karena kau memilih tempat tersebut, tapi
mereka sudah disana sebelumnya."
"Maka berhenti menyalahkan orang
lain atas risiko suka duka di perjalanan yang kau pilih, adalah sikap yang
lebih bijak. Menyalahkan orang lain atau dirimu sendiri, hanya akan
menghabiskan energimu yang tersisa. Gunakan saja energi itu untuk memikirkan
cara melewati dan mencapai kesuksesan di jalan pilihanmu itu, maka disitu kau
akan mengerti, ada Tuhan bersamamu."
"Guru,
dengan cara memisahkan kedua belahan tubuh Jarasanda, Bima mampu membunuh raja
sakti yang tak akan mati selama tubuhnya bisa disatukan kembali itu. Ajarkan
aku maknanya, Guru?"
"Manu, ia yang mampu menyatukan
segala dualitas dalam dirinya, akan menjadi pribadi yang teguh dan tak tersakiti.
Selama seseorang tidak bisa menerima dualitas dirinya dengan cara yang sama,
lalu menyatukan keduanya menjadi kekuatan dan kebijaksanaan, ia akan
dihancurkan oleh guncangan batinnya sendiri."
"Guru,
apakah yang harus kulakukan untuk menghilangkan kesedihan atau kemarahan yang
menyesakkan batin ini? Apakah tangis dan meluapkan kemarahan itu
bermanfaat?"
"Manu, tangis akan melepaskan beban
kesedihanmu, tapi tidak menghilangkan penyebab kesedihan tersebut. Marah akan
melepaskan beban emosimu tapi tidak akan menyelesaikan masalah penyebab
kemarahanmu. Pahamilah sumber kesedihan dan kemarahanmu, lalu atasi masalahnya.
Saat itulah semua akan berlalu menjadi biasa saja bagi batinmu."
"Guru,
saat ini begitu banyak kekerasan atas nama agama terjadi. Apa yang salah dengan
semua itu?"
"Manu, agama diturunkan untuk
mengajari manusia mengendalikan sifat-sifat keras dalam dirinya, agar ia
kembali menjadi pribadi yang berjiwa lembut dan penuh cinta kasih. Agama ada
untuk menjadikan manusia bersifat malaikat, bukan mengubahnya menjadi
kesetanan."
"Maka jika ada yang melakukan
kekerasan atas nama agama, itu bukan berasal dari kebenaran ajaran agama,
melainkan dari pembenarannya sendiri dalam memahami kesucian ajaran
agama."
"Agama itu ajaran suci, kitabnya
disebut kitab suci, guru-gurunya adalah orang suci. Ritualnya membawa umat
menuju kesucian. Maka jika perilaku mereka jauh dari sifat-sifat kesucian, itu
pertanda mereka tidak mengamalkan kebenaran dan kesucian ajaran agamanya."
"Guru,
kenapa Sathi atau Parwati mesti berusaha menikah dengan Siwa Mahadewa? Kenapa
pula Sathi atau Parwati mesti menjadi manusia dan ditakdirkan menikahi
Dewa?"
"Manu, Sathi/Parwati adalah simbol
kesaktian atau kekuatan batin bawah sadar dalam diri manusia. Sedangkan Siwa
adalah simbol kebijaksanaan atau Kecerdasan Atas Sadar."
"Keduanya layak disatukan, karena
kebijaksanaan tanpa kekuatan akan menjadi lumpuh, dan kekuatan tanpa
kebijaksanaan akan membuat manusia mudah membabi-buta."
"Tubuh manusia adalah simbol materi
semesta. Sathi/Parwati adalah simbol kekuatan, kesaktian atau energi alam
semesta. Dan Siwa adalah simbol Kecerdasan Semesta Tak Terbatas."
"Sathi/Parwati mengambil wujud
manusia karena begitulah energi semesta melekat pada setiap unsur materi
semesta. Ketika ketiga unsur semesta itu menyatu; Materi, Energi dan Kecerdasan
Semesta Tak Terbatas, maka dari situ barulah bisa lahir kehidupan."
"Karena saat tubuh materi mahluk
hidup telah bergabung dengan kekuatan atau energi (Sathi/Parwati), lalu diberi
Jiwa (Siwa), disitulah kehidupan dimulai."
"Guru,
seringkali saat kita berniat mengubah seseorang agar menjadi baik seperti
harapan, justru membuat kita stres. Apa yang harus kulakukan?"
"Manu, bahkan jika kau berhasil
mengubah satu kebiasaan buruk seseorang, kau akan ketagihan untuk mengubah
lebih banyak lagi kebiasaan buruk orang itu. Dan itu sesuatu yang bahkan
mustahil dilakukan. Apalagi jika kau berniat mengubah lebih banyak orang. Jika
kau gagal mengubah orang menjadi baik sesuai harapanmu, maka cobalah belajar
untuk menerima orang itu apa adanya. Saat itu kau akan mengerti, bahkan untuk
mengubah dirimu sendiri agar bisa menerima seseorang apa adanya, itu pun
pekerjaan yang teramat sulit, apalagi mengubah orang tersebut."
"Guru,
kenapa saat menghadapi suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, batin ini lebih
mudah menyalahkan orang lain?"
"Manu, saat seseorang masih
dibimbing oleh pembenaran dalam dirinya, maka ia cenderung menyalahkan orang
lain. Ketika ia mulai dituntun oleh Kebenaran di dalam, ia mulai mengamati
kesalahannya sendiri. Dan saat ia sudah melihat kebenaran yang utuh, ia
berhenti menyalahkan siapa pun dan lebih memilih melihat makna di balik setiap
peristiwa."
"Guru,
bagaimana kita membedakan orang yang sudah melihat Kebenaran dengan mereka yang
baru melihat pembenaran?"
"Manu, ia yang sudah melihat
kebenaran akan melihat kebenaran itu dimana-mana sebagai satu keutuhan
sempurna. Ia akan berhenti saling menyalahkan."
"Sedangkan ia yang masih terjebak
pada pembenaran, akan melihat kebenaran secara sepenggal-sepenggal, seperti
orang-orang buta yang menceritakan wujud Tuhan. Pikiran dan batinnya dipenuhi
niat untuk saling menyalahkan."
"Guru,
kenapa kekalahan dalam hidup ini selalu terasa menyakitkan?"
"Manu, ia yang berjuang demi sebuah
hasil, akan mudah terjebak dalam kekecewaan ketika hasil tidak sesuai
harapannya. Namun ia yang berjuang tanpa kepentingan dan hanya demi
pembelajaran bagi dirinya, ia tak akan mudah jatuh dalam kekecewaan pada apa
pun hasil yang terjadi."
"Guru,
kenapa hidup ini begitu kontradiksi? Mereka yang mencari kebahagiaan dengan
jalan kebaikan, selalu sulit dan lama mencapai harapan itu. Sedangkan mereka
yang ingin meraih bahagia lewat jalan-jalan buruk, selalu lebih mudah dan cepat
meraihnya. Dimanakah letak keadilan Tuhan?"
"Manu, mereka yang mencari
kebahagiaan lewat jalan-jalan kegelapan, tidak akan bisa menikmati
kebahagiaannya sepenuh Jiwa, karena situasi disana diliputi oleh kegelapan.
Sedangkan mereka yang mencari bahagia lewat jalan terang, mereka melihat
keindahan sepanjang perjalanan dan menemukan kebahagiaan Jiwa di akhir
tujuannya. Hidup memberimu pilihan, boleh menderita di awal untuk meraih
bahagia di akhirnya. Atau memilih jalan bahagia di awal dan menderita pada
akhirnya. Keduanya hadir bergiliran, Manu."
"Guru,
pesan semesta apakah sesungguhnya yang sedang Tuhan tunjukkan di Gaza? Bukankah
Tuhan Maha Esa dan mereka sesungguhnya memuja Tuhan yang satu itu meski lewat
cara dan jalan berbeda. Kenapa Tuhan biarkan mereka bertikai dan saling
menghancurkan?"
"Manu, saat kekerasan hanya
menyisakan kehancuran. Saat kebencian hanya menyisakan dendam abadi. Saat
pertikaian dan peperangan begitu nyata hanya menyisakan kepedihan dalam kalah
atau pun menang. Saat kebutuhan akan pengakuan diri, bangsa dan agama nyatanya
hanya menyisakan kehancuran. Lihatlah olehmu, Manu. Tetap saja tidak banyak
hati yang beralih pada kedamaian. Tetap saja memilih menghilangkan kebencian
dengan kebencian, kemarahan dengan kemarahan, kehancuran dengan penghancuran.
Selama pelajaran semesta yang sedemikian mudah itu tak disadari maknanya,
selama itu pesan-pesan semesta akan dihadirkan lewat pelajaran yang sama."
"Kapan saja manusia memahami bahwa
agama hadir untuk mendamaikan pikiran dan hati, mendamaikan bumi, saat itulah
pelajaran semesta lewat kehancuran itu akan terhenti."
"Guru,
setiap kali saya mencoba menasehati orang atas kelakukannya yang salah, selalu
malah terjadi perdebatan dan pertengkaran antara kami. Kenapa demikian jadinya,
Guru?"
"Manu, memberi atau pun menerima
nasehat keduanya membutuhkan proses pembelajaran. Jika seseorang belum belajar
menerima nasehat, maka batinnya akan merasa digurui. Jika orang belum belajar
memberi nasehat, maka ia akan tampak menggurui. Karena itu, jika masih terjadi
perdebatan ketika kau menasehati, ada dua kemungkinan yang ada. Salah satu
belum belajar memberi atau menerima nasehat."
"Guru,
begitu banyak hal di kehidupan ini yang tidak menyenangkan untuk didengar dan
dilihat. Ajarkan padaku bagaimana agar aku bisa selalu tenang dalam rasa yang
sama terhadap apa yang kulihat dan kudengar di kehidupan ini."
"Manu, segala hal di kehidupan ini
sesungguhnya bersifat netral dan apa adanya. Ketidaksukaan padanya akan
membuatmu menolak suatu hal dan menciptakan rasa senang atau tidak senang di
batinmu terhadapnya. Cobalah pejamkan matamu selama mungkin hingga kau rindu
untuk bisa melihat apa pun di kehidupan ini. Cobalah tulikan telingamu hingga
kau rindu untuk bisa mendengar apa pun suara di kehidupan ini. Saat kerinduan
akan penglihatan dan pendengaran itu muncul, kau akan bisa bersyukur pada
segala hal yang bisa kau lihat dan kau dengar apa adanya."
"Guru,
dengan pikiranku yang terbatas ini, di tengah banyaknya kebutuhan duniawi yang
harus kupenuhi, bagaimana aku bisa menyeimbangkan pemikiranku untuk bisa meraih
harapan hidup jasmani dan rohaniku?"
"Manu, pikiran sadarmu itu dibekali
kecerdasan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan. Ia juga ditemani oleh
pikiran bawah sadar yang dengan kecerdasan dan keajaibannya mampu membantumu
mewujudkan harapan hidup duniawimu. Ia juga ditemani kecerdasan pikiran atas
sadar yang akan membimbingmu dari dalam menuju pengetahuan dan kecerdasan
spiritual yang mematangkan Jiwamu. Maka rajin-rajinlah berkomunikasi secara
tepat dengan kecerdasan bawah sadar untuk mencapai kebahagiaan hidup duniawi,
dan rajin pula menghubungi kecerdasan atas sadarmu agar kau dialiri pesan-pesan
penuntun kebaikan dan kesadaran bagi Jiwamu."
"Guru,
jika Tuhan adalah Sang Sumber darimana aku berasal, juga maha pencipta dan maha
pemelihara, lalu dimana dan bagaimana aku mesti menjumpai Tuhan untuk bisa Memuja
dan menghormati Tuhan dalam kehidupan ini?"
"Manu, hormatilah Ayah dan Ibumu
karena dari merekalah asal yang bisa kau jumpai. Tubuhmu berasal dari bumi dan
air, hargai dan hormatilah. Energi hidupmu berasal dari cahaya matahari dan
udara, hormati dan hargailah itu. Mereka yang memelihara hidupmu dengan
makanan, yang memeliharamu dengan minuman, yang menjaga hidupmu dalam kesehatan
dan kenyamanan, hargai dan hormatilah mereka. Jika kau mengerti bahwa Tuhan
adalah sumber pengetahuan, maka hormatilah mereka yang memberimu pengetahuan
dalam wujud apa pun. Tuhan ada dalam kehidupan ini sebagai sumber dari segala
yang memenuhi kebutuhanmu. Mereka semua adalah wujud-wujud duniawi Tuhan yang
dalam kesejatian Tuhan tak berwujud. Itulah cara mudah bagimu menjumpai dan
menghormati Tuhan, lewat segala karya cipta Tuhan."
"Guru,
beberapa hari ini aku tidak sempat berdoa dan memuja menghormati Tuhan.
Berdosakah aku karena kelalaianku itu? Lalu bagaimana aku mesti menebusnya?"
"Manu, tidak lebih berharga doa dan
puja hormatmu sepanjang waktu kepada Tuhan, daripada sikap dan perilakumu yang
penuh hormat kepada setiap orang serta semua mahluk yang adalah ciptaan Tuhan
dan juga ada Dia di dalamnya sebagai Sang Jiwa. Jika dosa itu ada, maka tidak
lebih berdosa ketika kau menyakiti orang dan mahluk hidup dengan alasan apa
pun, daripada kelalaianmu dalam memuja Dia yang ada diluar diri
mahluk-mahlukNya."
"Guru,
setiap agama meyakini Tuhan itu hanya satu. Tiada mendua, tiada yang lainnya.
Tapi mengapa begitu banyak umat yang memiliki sikap dan perilaku berbeda,
seakan mengartikan bahwa Tuhan yang satu itu adalah Tuhannya yang nomor satu,
bukan nomor dua? Bagaimana aku mesti belajar melihat Tuhan yang satu itu dalam
berbagai nama dan persepsi pikiran?"
"Manu, lihatlah bumi yang satu ini
menjadi tempat berpijak segala manusia dan mahluk hidup. Mereka yang berpijak
di atas sawah, yang berdiri di atas pasir pantai, yang berenang di laut, yang
berdiri di puncak gunung atau berbaring di dasar jurang, semua akan mengerti
bahwa mereka berpijak pada bumi yang sama, meski tempat mereka berpijak itu
nyata berbeda. Tidak ada yang mempertengkarkan apalagi bertikai untuk
membuktikan bahwa merekalah yang benar-benar berpijak di bumi yang satu itu.
Kenapa kau tidak belajar melihat dengan cara yang sama, bahwa kalian
nyata-nyata berlindung pada Tuhan Semesta yang satu dan sama, meski kalian
berdiri di bawah kubah langit yang berbeda?"
"Guru,
bagaimana harus ku atasi dan ku hilangkan rasa takut yang begitu menyiksa
menjadi kecemasan ini?"
"Manu, tak ada sampah yang bisa
hilang tanpa kau temukan untuk kemudian kau bersihkan. Begitu pun penghalang
pikiran yang berwujud rasa takut dan cemas. Kau tidak akan bisa mengatasinya
jika kau tidak berani menghadapinya. Amati rasa takut dan cemasmu itu, maka kau
akan mengerti bahwa mereka tidak ada diluar diri, melainkan dalam dirimu
sendiri. Saat kau sudah menghadapi mereka, diamlah dan tunggu apa yang terjadi.
Kau akan melihat bahwa sesungguhnya yang kau cemaskan itu adalah sesuatu yang
tak pasti terjadi."
“
Guru, Arjuna tidak mau lagi meladeni tantangan Karna untuk beradu kesaktian
karena matahari sudah beranjak tenggelam.” “Apakah kegelapan melemahkanmu,
wahai Arjuna?", tanya Karna. “Tidak. Tak ada kegelapan yang mampu
melemahkanku. Tapi aku tidak mau bertarung dalam kegelapan, karena itu bukan
sifat ksatria mencari kelemahan dalam kegelapan", jawab Arjuna.
"Guru,
kenapa Arjuna menjawab demikian?"
"Manu, Arjuna sedang mengingatkanmu
bahwa dalam keadaan batin yang sedang diselimuti kegelapan emosi, jangan
biarkan pikiranmu melibatkan diri karena akan muncul pembenaran-pembenaran
untuk memenangkan bisikan-bisikan ego dalam diri. Ia juga mengingatkanmu bahwa
kegelapan hidup yang hadir sebagai penderitaan, jangan pernah membuat lemah
kecerdasan pikiranmu dalam mencari jalan keluar."
"Guru,
terkadang aku begitu ingin memberi pelajaran pada orang yang sangat menyinggung
perasaanku, agar ia tahu kesalahannya. Apakah ini sikap yang salah?"
"Manu, setiap hal yang dilakukan
untuk tujuan kebaikan adalah hal yang baik jika dilakukan dengan baik dan
mencapai kebaikan yang diharapkan. Berbeda jika sebuah tujuan baik dilakukan
dengan cara-cara yang tidak baik, seringkali itu menyisakan permasalahan yang
juga tidak baik. Nah, pastikanlah bahwa niat baikmu untuk memperbaiki seseorang
itu benar-benar bukan didasari oleh emosi negatif. Sebab setiap emosi negatif
itu serupa percikan api di padang rumput yang kering."
"Guru,
aku tahu diriku bukan manusia sempurna. Tapi kenapa aku mesti dihina pula?
Bagaimana aku mesti bersikap menghadapi hinaan seperti itu?"
"Manu, jika kau menyadari bahwa
dirimu tidak sempurna, maka apa yang salah ketika kau dihina? Bahkan Dia Yang
Maha Sempurna pun sering dilecehkan oleh manusia, apalagi dirimu yang bagimu
memang tidak sempurna itu. Jika kau menolak hinaan itu, kau akan mulai benci.
Jika kau benci, kau akan marah dan melawan. Hasilnya adalah kehancuran besar
hanya karena kata-kata yang kau tolak sebagai penghinaan itu. Namun jika kau
diam oleh penghinaan itu dan dia terus menghinamu, apakah kau kira dirimu akan
berubah menjadi hina? Bahkan sesungguhnya ia yang kerap mengeluarkan kata-kata
hinaan itulah yang justru isi kepalanya dipenuhi hinaan yang tak kuasa
ditampungnya. Ijinkan saja ia menguranginya lewat kata-kata agar pikirannya
makin lama menjadi kian bersih, Manu."
Guru,
Meski hijaunya padang rumput itu begitu luas terhampar, rusa-rusa yang merumput
disana tetap terlihat waspada, begitu banyaknya rumput segar di depan rusa-rusa
itu, kenapa rusa-rusa itu tampak tidak tenang menikmatinya? Bukankah tiada rasa
kelaparan yang layak rusa-rusa itu cemaskan lagi?"
"Manu, meski semua berkah kehidupan
ini hadir berlimpah bagi rusa-rusa itu, kewaspadaan tak layak rusa-rusa itu
abaikan karena para pemangsa selalu siap membuat sia-sia segala berkah hidup di
depan rusa-rusa itu. Begitu pun denganmu, Manu. Saat kau mendapatkan berkah
hidup yang berkelimpahan, jangan abaikan kewaspadaan. Sebab dalam hidupmu pun
banyak pemangsa yang akan membuat berkah itu menjadi sia-sia. Bisikan-bisikan
keinginan duniawi dalam dirimu bisa menjadi pemangsa yang lebih kejam daripada
penipu di luar dirimu. Sifat kikir, kesombongan, keangkuhan oleh rasa
keberlimpahan itu bisa memangsa bahkan membunuh sifat-sifat welas asih Jiwamu.
Dan sia-sialah berkah itu karena kau menjadi pribadi yang mati dalam sifat
simpati dan empati."
"Guru,
menghadapi orang-orang yang sikap dan tindakannya padaku begitu menjengkelkan,
salahkah bila aku marah? Sebab jika aku tidak marah, batinku yang sakit. Namun
jika aku marah, dia yang tersakiti. Apa pilihan sikap terbaik yang mesti
kupakai?"
"Manu, kemarahan bukanlah hal yang
selalu buruk. Namun ia menjadi buruk jika disalurkan dengan menggunakan
kata-kata dan sikap yang buruk. Kemarahan itu menjadi bermanfaat baik untuk
menyadarkan jika kau menggunakan kata-kata, sikap dan tindakan yang juga baik.
Tidak saja berbuat baik itu memerlukan latihan agar menjadi ikhlas dalam
kebaikan, menyampaikan kemarahan pun butuh belajar dan latihan, karena kemarahan
itu energi yang besar, Manu. Ia akan sia-sia jika kau menyia-nyiakan energi
yang bertujuan baik itu."
"Guru,
ajarkan aku bagaimana agar kelak bisa melepas tubuh ini dengan ikhlas ketika
tiba saatnya kembali."
"Manu, kau tak pernah ingat
tubuh-tubuh yang pernah kau tempati di kehidupan terdahulu. Tidak pula kau tahu
tubuh apa yang akan kau tempati kelak. Begitulah tubuhmu saat ini pun akan kau
lupakan juga ketika kau telah memiliki kehidupan baru setelah melewati kematian
nanti. Jika semua tubuh yang pernah kau tempati itu akhirnya kau lupakan, lalu
apa yang sulit untuk melepas tubuhmu ini ketika kematian itu tiba?"
"Guru,
kenapa begitu sulit menerima kata-kata atau sikap yang menyakitkan batin ini?
Apa sesungguhnya yang menciptakan rasa sakit di batin ini agar aku bisa
mengatasinya?"
"Manu, sesungguhnya tidaklah sulit
menerima hal itu. Karena ketika kau merasa tersakiti oleh kata-kata atau sikap
seseorang, itu pertanda bahwa kau sudah menerimanya. Hanya saja kau menerimanya
sebagai sesuatu yang menyakitkan. Rasa sakit itu muncul karena kau menganggap
kata-kata atau sikap itu akan merugikanmu. Kapan kau melihat keuntungan disana,
kau akan berhenti merasa tersakiti oleh kata-kata atau sikap apa pun yang
biasanya terasa menyakitkan bagi batinmu."
"Guru,
jika Tuhan lah yang menciptakan seluruh unsur dan materi alam semesta ini, lalu
siapakah yang menciptakan Tuhan?"
"Manu, Tuhan tidak diciptakan dan
juga tidak dilahirkan. Tuhan ada dari apa yang sebelumnya ada. Tuhan adalah
keberadaan yang abadi bersama segenap semesta Tuhan."
"Tapi,
bukankah selalu ada awal dan akhir? Lalu, tidakkah ada awal sebelum akhirnya
Tuhan ada?"
"Segala yang berawal memang akan
berakhir. Namun Tuhan adalah awal dari semua yang ada dan menjadi akhir dari
semuanya. Tuhan adalah awal sekaligus akhir dari segalanya, darimana semuanya
kembali berawal."
"Jika
semua pada akhirnya akan kembali ke titik awal, lalu untuk apa mesti ada
kehidupan?"
"Kehidupan ini ada agar awal itu
bisa berproses menuju akhir yang juga menjadi titik awal bagi proses
berikutnya. Itulah keabadian siklus kehidupan dalam semesta Tuhan yang tak
terbatas, Manu."
"Apakah
yang menggerakkan seluruh kehidupan ini bisa berjalan dari awal menuju akhir
dan kembali berawal?"
"Dualitas, Manu. Keberadaan segala
dualitas semesta itulah yang menciptakan gerak dan kehidupan. Keniscayaan akan
tercapainya keseimbangan dualitas itulah yang terus menggerakkan segala isi
semesta ini hingga tercipta kehidupan."
"Apa
yang terjadi ketika segala dualitas itu sudah seimbang?"
"Itulah titik awal dan akhir dari
semesta ini, dengan mana Tuhan memulai menciptakan ketidakseimbangan agar
berproses kembali mencapai keseimbangan semestanya."
"Guru,
salahkah jika aku mencari Tuhan meski aku tahu Tuhan sudah ada dimana-mana? Dan
bila pencarian itu bukan sebuah cara yang salah, bagaimana aku mencari dan
menemukan Tuhan yang tak berwujud itu?"
"Manu, carilah Tuhan dengan tubuh,
pikiran atau Jiwamu."
"Ia yang mencari Tuhan dengan
tubuhnya, akan menjalankan peran dan tugas kehidupannya dengan tekun dan
ikhlas. Saat berjumpa dengan Tuhan, ia akan larut dalam kerja yang penuh cinta
kasih."
"Ia yang mencari Tuhan dengan
pikirannya akan tekun dan cermat mengamati setiap pengetahuan yang Tuhan simpan dalam segala sisi kehidupan.
Saat ia berjumpa dengan Tuhan, ia memahami Tuhan sebagai inti segala
pengetahuan semesta dan larut dalam pencerahan oleh pengetahuan itu."
"Ia yang mencari Tuhan dengan Jiwa,
ia akan menjalani kehidupan ini dalam penerimaan akan segala rasa. Saat Jiwanya
berjumpa rasa dengan Tuhan, ia akan larut dalam keheningan dan kesadaran akan
kesemestaan Tuhan."
"Begitulah Manu, semua jalan itu
adalah pilihan bagimu. Tentukan jalan mana yang membawamu pada perjumpaan yang
kau rindukan itu."
"Guru,
dalam usaha mencari kebenaran sejati atau bertemu dengan Tuhan yang sejati,
bagaimana aku membedakannya dengan yang bukan sejati?"
"Manu, rasa yang muncul dalam
perjumpaan itulah yang menumbuhkan keyakinan akan perjumpaan dengan kesejatian.
Seperti dahaga yang berjumpa air, seperti lapar yang berjumpa makanan, seperti
lelah yang bertemu tidur, bagai ikan yang bertemu air, bagai burung yang
berjumpa angkasa, begitulah rasa perjumpaan dengan yang sejati."
"Guru,
jika Tuhan adalah sumber kebenaran dan Tuhan ada dimana-mana melampaui ruang
dan waktu, lalu kenapa kebenaran mesti muncul atau menang pada akhirnya, bukan
di
awalnya?"
"Manu, jika kebenaran itu ada di
awal, lalu bagaimana kau bisa mengerti dengan kesalahan lalu belajar pada
kesalahan itu?"
“Guru,
Seringkali hujan deras disertai angin badai akan berlalu lebih cepat daripada
hujan gerimis yang meneteskan airnya sedikit demi sedikit. Seakan langit sedang
menenangkan batin yang tergerus oleh bertubi-tubinya penderitaan”.
"Begitulah Manu, badai kegelapan,
duka dan penderitaan yang hadir bertubi-tubi dalam hidupmu akan cepat
menuntaskan hutang pahala karmamu di bumi ini, daripada derita kehidupan yang
hadir sedikit demi sedikit, namun sepanjang hayat akan terus menyisakan pahala
karma bagi kehidupanmu berikutnya."
"Guru,
saat aku terjebak dilema dalam memilih, bagaimana aku tahu mana pilihan yang
benar atau salah?"
"Manu, sesungguhnya di kehidupan
ini tidak ada pilihan yang benar atau salah, karena betapa pun salahnya bagimu sebuah
pilihan, egomu pasti akan menciptakan pembenaran atas apa yang sudah kau pilih.
Sesungguhnya yang ada hanyalah pilihan yang tepat atau keliru, sesuai dengan
apa akibat yang kau inginkan atau kau hindari. Apa pun yang dirasakan orang
akibat dari pilihanmu, maka kelak kau akan merasakan hal serupa sebagai akibat
dari pilihan yang sama oleh orang lainnya."
"Guru,
kehidupan ini sepertinya sudah dipenuhi kekacauan dan penderitaan. Sekali ini,
hadirkanlah Tuhan disini memberi pesan kekuatan bagiku dalam menghadapi
kenyataan hidup ini."
"Manu, setiap rasa sakit yang kau
alami adalah pelajaran karma agar kau mengerti rasa sakit yang pernah kau
berikan pada siapa pun di masa lalu. Dan untuk setiap rasa bahagia yang kau
terima hari ini, itu adalah pahala karma atas rasa bahagia yang pernah kau
berikan pada siapa pun di masa lalu."
"Berhentilah mengeluh dalam setiap
keadaan hidupmu, Manu. Karena itu akan menghalangi kecerdasan dalam dirimu
untuk mengatasi setiap masalah, seperti sebongkah batu yang menyumbat aliran
air jernih yang datang dari danau."
"Tuhan selalu ada bersama kalian,
Manu. Bebaskan dirimu dari rasa cemas menghadapi kehidupan ini. Jika bagimu
Tuhan adalah energi, maka Tuhan adalah energi yang selalu ada memberi kekuatan
bagi tubuhmu lewat makanan. Tuhan adalah energi pengetahuan yang menguatkan
pikiranmu untuk menyusun segala langkah. Dan Tuhan adalah energi cinta kasih
yang menguatkan Jiwamu untuk menjalani peran kehidupan ini."
"Manu, jika Tuhan adalah Sang
Pemberi Kehidupan bagimu, maka pejamkan matamu saat ini juga. Lalu rasakan
setiap aliran napas kehidupan yang memasuki tubuhmu. Jika kau menyadarinya,
itulah Tuhan yang sedang memasuki dirimu dan memberi energi kehidupan bagimu.
Itulah cara Tuhan selalu ada bersamamu di kehidupan ini. Bangkitlah. Apalagi
yang mesti kau cemaskan."
"Guru,
konon Tuhan tak pernah tidur. Bagaimana Tuhan bisa selalu kuat dan hidup abadi
tanpa tidur?"
"Manu, tentu saja sulit bagimu
memahami bagaimana Tuhan bisa tidak tidur sepanjang jaman, bila dalam
pemahamanmu Tuhan adalah sosok mahluk hidup sepertimu. Selama kau masih
memahami Tuhan sebagai mahluk hidup, kau akan bertanya apakah Tuhan laki-laki
atau wanita. Apakah Tuhan tua atau muda, apakah Tuhan berukur manusia besar
atau kecil. Namun kelak saat kau memahami kesejatian Tuhan yang tak berwujud,
kau akan mengerti sepenuhnya tentang diri Tuhan."
"Guru,
kenapa Tuhan menciptakan segala mahluk yang berbeda di bumi ini? Agama-agama
berbeda, suku berbeda, negara berbeda, dan berbagai perbedaan lainnya."
"Manu, Tuhan menciptakan perbedaan
agar kalian belajar hidup bersama dalam perbedaan itu dan bukan hidup bertikai
dalam kebersamaan. Jika Tuhan menciptakan segala yang sama, maka Tuhan bukanlah
Sang Maha Pencipta. Dan bayangkanlah apa yang terjadi jika Tuhan menciptakan
segala-galanya sama. Dengan itu kau akan mengerti kenapa Tuhan menciptakan
berbagai perbedaan."
"Guru,
jika Tuhan memang tak terjelaskan dan tak terpikirkan, lalu untuk apa Tuhan
berkahi kami potensi pikiran yang cerdas melampaui kemampuan mahluk hidup
lainnya ?"
"Manu, Jiwamu Tuhan ijinkan lahir
dalam tubuh manusia yang memiliki potensi kecerdasan pikiran, agar kau terus
menumbuhkan bibit kecerdasan itu. Dengan demikian, kelak kau bisa mengenal dan
memahami kesemestaan Tuhan dengan kecerdasanmu, hingga tidak ada lagi
penjelasan yang kau perlukan untuk meyakini bahwa Tuhan memang ada sebagai
Kecerdasan Semesta Yang Tak Terbatas."
"Guru,
untuk dosa yang pernah kulakukan, apakah benar Tuhan akan mengganjarnya dengan
hukuman abadi di neraka?"
"Manu, rasa pedas itu akan tetap
kau rasakan jika kau terlanjur memakan cabai. Rasa itu akan berlangsung lama
sesuai banyaknya cabai yang kau kunyah. Namun jika setelah itu kau berganti
mengunyah gula, maka rasa manis gula itu akan menutupinya. Begitu pun dosa akan
memberimu rasa tersiksa batin yang kau sebut neraka. Lamanya tergantung banyak
tidaknya rasa penyesalan yang muncul untuk setiap kekeliruan yang pernah kau
lakukan saat kehidupan. Jika kau memperbanyak menggantinya dengan perilaku
cinta kasih, maka rasa penyesalan itu akan cepat berlalu, tergantikan oleh rasa
kepuasan dan kebahagiaan."
Dibalut
batin yang penuh kesedihan, Manu menatap air yang membanjiri kota dan desa,
mencoba melihat makna di baliknya. Tiba-tiba seekor angsa lewat berenang di
depannya sambil bersuara, seperti sedang membantunya menemukan makna dibalik
bencana banjir itu.
"Manu, lihatlah air itu. Ia datang
dari hujan di gunung untuk mengalirkan unsur-unsur disana demi menyuburkan
lembah. Sungguhlah air itu penuh berkah. Ia akan mengalir lewat sungai,
menyebar ke sawah-sawah dan ladang untuk membagi berkah kesuburan dari gunung.
Namun saat air penuh berkah itu berlimpah-limpah dialirkan ke lembah, hingga
sungai-sungai tak lagi mampu menampung aliran berkah itu, disitulah ia menjadi
banjir yang kau sebut sebagai bencana, bukan banjir berkah. Lihatlah, berkah
yang berlimpah pun bisa tampak sebagai bencana, jika kau tak bisa
mengalirkannya dengan baik."
Manu hanya terdiam, merenung dan
mengenang kembali betapa banyak berkah berlimpah lainnya yang terlihat sebagai
bencana baginya.
"Guru,
sampai kapan bencana demi bencana ini akan berlalu?"
"Bencana itu akan berlalu tepat
ketika kau melihat berkah pembelajaran semesta di baliknya, Manu."
"Guru,
benarkah bahwa hanya orang bodoh yang membicarakan tentang Tuhan? Karena konon
yang bicara itu tidak tahu dan yang tahu itu tidak bicara. Lalu bagaimana kita
tahu tentang Tuhan jika kita tidak pernah membicarakan atau diajarkan
tentangNya?"
"Benar Manu. Hanya orang bodoh yang
membicarakan tentang Tuhan, karena dengan itulah kebodohannya akan diterangi
oleh pengetahuan tentangNya. Saat kau sudah tahu tentangNya dan bertemu dengan
orang yang juga sudah tahu, disitulah mereka yang tahu tidak akan lagi
membicarakan apa yang sudah sama-sama mereka ketahui. Nah, jika kau belum
benar-benar tahu tentang Tuhan, jadilah orang bodoh yang haus akan pengetahuan
tentangNya. Jika kau tidak tahu namun tidak mau membicarakanNya karena takut
disebut bodoh, maka kau tak akan pernah tahu kebenaranNya."
"Guru,
ada orang-orang kaya yang Tuhan biarkan bangkrut, ada juga orang-orang miskin
yang Tuhan ijinkan berkembang menjadi kaya. Sebaliknya, ada orang kaya yang
Tuhan bantu bertambah kaya dan orang miskin Tuhan biarkan hidup makin menderita
dalam kemiskinan. Sebenarnya bagaimana Tuhan memilih siapa yang akan Tuhan
bantu dalam kehidupan ?"
"Manu, Tuhan dan semesta ini
membantu tanpa menghakimi siapa yang pantas dibantu atau siapa yang tidak
pantas. Semesta membantu mereka yang membantu dirinya sendiri untuk berjalan ke
arah kebahagiaan. Maka belajarlah membantu orang tanpa menghakimi mereka,
Manu."
"Guru,
kenapa orang-orang mesti membenci bahkan memusuhiku hanya gara-gara aku
memberitahukan ide-ideku demi kebaikan mereka? Kenapa ide kebaikan mesti begitu
susah menciptakan kebaikan?"
"Manu, setiap ide yang baik jika
dijalankan dengan baik tentu akan menciptakan kebaikan. Namun ide itu baru akan
dijalankan jika sudah bisa diterima bersama. Jika ide kebaikan itu masih
ditolak, bukan berarti idemu itu buruk. Mungkin caramu menyampaikannya yang
belum mampu membuat mereka menerima dengan baik ide yang kau tawarkan itu. Ide
yang baik, demi keadaan yang lebih baik, mestilah disampaikan dengan cara yang
baik agar diterima dengan pikiran dan hati yang baik pula. Saat semua proses itu
berjalan dengan baik, pastilah akan menghasilkan kebaikan. Jika ide baikmu itu
justru menciptakan pertikaian pikiran dan perasaan, jangan lupa, perhatikan
kembali caramu menyampaikannya. Mungkin disitu letak kekeliruannya."
"Guru,
aku ingin merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupku. Ajarkan aku ciri-ciri
kehadiran Tuhan?"
"Manu, untuk setiap pikiranmu yang
tulus tentang Tuhan, untuk setiap kata-kata yang kau ucapkan sepenuh cinta
kasih Jiwamu, dan untuk setiap tindakan kebaikan yang kau lakukan dengan cinta
kasih, ketika semua itu mengalirkan air mata yang tidak kau mengerti dengan
pikiranmu yang terbatas, karena itu bukan air mata kesedihan atau pun
kebahagiaan pikiranmu, itulah ciri saat kehadiran Tuhan menyentuh kepekaan Jiwamu
dengan cinta kasih semesta Tuhan."
"Guru,
kenapa begitu sulit membuat orang itu memahami diriku? Selalu saja aku yang
diminta memahami dirinya. Bagaimana menghadapi orang seperti ini?"
"Manu, sesulit kau membuat orang
lain memahamimu, sesulit itulah baginya membuat dirimu memahaminya. Selama
masing-masing dari kalian hanya ingin dipahami, selama itu kalian tidak akan
mudah saling memahami. Mulailah memahaminya, maka kau akan tahu mengapa sulit
bagimu membuatnya memahamimu."
"Guru,
saat batinku lelah menghadapi masalah-masalah dalam hidup ini, apa yang harus
kulakukan.?"
"Manu, duduklah istirahat sejenak.
Pejamkan matamu dan sunggingkan senyummu dengan tenang. Amati apa pun yang
muncul dalam pikiran. Tetap tersenyum pada semua ingatan yang muncul. Meski kau
tidak mengerti kenapa harus tersenyum pada mereka, nanti senyum itu sendiri
akan membuatmu mengerti dan menerima semua peristiwa suka-duka kehidupan dengan
ikhlas."
"Guru,
di jaman ini? Menjadi orang jahat ternyata jauh lebih mudah sukses dan berhasil
secara materi dibanding menjadi orang baik. Bagaimana kami bisa bertahan di
jalan kebaikan?"
"Manu, seperti perguliran siang dan
malam, begitulah berkah dan bencana datang bergantian seiring waktu. Kejahatan
memang di awal seakan membawa berkah, tapi di ujung waktunya akan dihampiri
bencana. Kebaikan seakan ditemani bencana dan kesulitan di awalnya, tapi di
ujungnya akan disirami berkah. Kau boleh memilih mendapatkan berkah di awal
namun di ujungnya ada bencana, atau sebaliknya mendapat bencana dulu sebelum
akhirnya mendapat berkah."
"Guru,
dengan terbatasnya kemampuan tubuh yang Tuhan ciptakan untukku ini, kenapa
justru Tuhan ijinkan aku memiliki keinginan pikiran yang tak terbatas?"
"Manu, dengan cara itulah semesta
sedang menjaga pikiranmu agar tidak lebih mudah melekat pada tubuh yang
terbatas itu, namun memilih untuk lebih melekat pada Jiwamu yang tak terbatas.
Betapa pun, kelak tubuh itu harus kau tinggalkan juga usai tugasnya mengantarmu
menjalani proses pembelajaran diri di bumi ini. Kemelekatan pada tubuh akan menghambat
Jiwamu pulang kepada Tuhan."
"Guru, kenapa aku dan orang-orang di bumi ini ada yang begitu sensisif dan mudah tersinggung, marah pada hal-hal yang mestinya sepele? Bagaimana menghadapi mereka yang peka seperti itu?"
"Guru, kenapa aku dan orang-orang di bumi ini ada yang begitu sensisif dan mudah tersinggung, marah pada hal-hal yang mestinya sepele? Bagaimana menghadapi mereka yang peka seperti itu?"
"Manu, ingatlah saat tubuhmu
terluka atau sakit, bahkan sentuhan lembut pun kadang menyebabkanmu bereaksi
keras menghindar. Begitulah saat batin seseorang pernah terluka oleh sebuah
pengalaman yang menyakitkan, ia akan mudah tersinggung saat ingatan itu
disentuh kembali dengan kata-kata, sikap apalagi tindakan. Ketersinggungan
adalah pertanda luka batin yang belum tersembuhkan. Jika kau menghadapi dirimu
atau orang lain yang mudah tersinggung, berhentilah membencinya tapi berilah
perhatian dan cinta kasih yang merawat dan membantu penyembuhan luka itu."
Guru, bagaimana
cara menghadapi orang yang suka berbohong dan membuat alasan untuk pembenaran
“Manu, Untuk menghadapi mereka yang suka
berbohong, kita hanya perlu hati-hati terhadapnya tanpa memandang negatif pada
orang tersebut. Menjadi pembohong adalah haknya, tidak ada yang perlu diubah,
akan ada saatnya dia memasuki kesadaran diri dan berhenti menjadi pembohong.
Untuk itu terima saja dengan ikhlas.
"Guru,
saat ini aku berada jauh dari rumah, tapi rasanya tetap bahagia seperti sedang
di rumah sendiri. Apa sesungguhnya yang terjadi? "
"Manu, rumah kebahagiaan dan
kedamaian yang sesungguhnya itu ada dalam batinmu sendiri. Jika kau sudah
menemukan rumahmu itu, tidak akan ada ruang dan waktu yang bisa menghilangkan rasa
itu, karena kau akan tetap memiliki tempat yang cepat untuk kembali bernaung di
dalam suasananya. Seperti kura-kura dan rumah cangkangnya."
"Guru,
kenapa di kehidupan ini mesti Tuhan ciptakan kaya dan miskin? Sungguh menderita
hidup dalam kemiskinan."
"Manu, orang-orang miskin bekerja
untuk menghidupi orang-orang kaya, dan tanpa kau sadari orang-orang kaya itu
bekerja untuk memberi hidup pada orang-orang yang lebih miskin darinya.
Kemiskinan menimbulkan penderitaan dalam kekurangan, kekayaan pun menciptakan
penderitaan dalam kemelekatannya. Namun ia yang telah ada dalam kebebasan Jiwa,
kemiskinan dan kekayaan memberi makna yang sama."
"Guru,
berkahilah aku agar bisa menjadi orang penting di dunia ini. Saat ini aku tidak
punya apa pun untuk kubanggakan."
"Manu, setiap diri kalian adalah
penting bagi semesta ini. Semua diri kalian adalah penting bagi Tuhan. Jika kau
tidak penting untuk Tuhan, maka kau tidak akan Tuhan ciptakan untuk ada di
dunia ini. Maka jalanilah hidupmu seperti layaknya orang-orang penting. Hargai
dirimu sebagai orang penting. Hargai siapa pun, hargai apa pun, karena semuanya
sama penting bagi Tuhan dan bagi semesta ini. Bangkitlah kini sebagai orang
penting yang berharga, apa pun adanya dirimu."
"Guru,
betapa sulit rasanya mengubah orang lain agar tidak lagi memandang negatif atau
hanya melihat kelemahan dan kekuranganku. Apa yang harus kulakukan menghadapi
pandangan mereka yang menyakitkan itu?"
"Manu, setiap orang Tuhan ciptakan
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan setiap orang memiliki hak untuk memilih
melihat kelebihan ataukah kekurangan orang lainnya. Kau tidak bisa memaksa
mereka untuk memilih melihat sisi positif atau kelebihanmu. Tapi kau bisa
belajar untuk menerima bahwa itulah pilihan mereka dalam menilaimu. Jika mereka
hanya melihat kelemahan atau sisi negatifmu, mereka sedang pada sisi dirimu
yang itu. Sebaliknya, jika mereka memilih melihat sisi positif dan kelebihanmu,
sisi itulah yang ingin mereka pelajari. Bebaskan mereka memilih, maka kau akan
terbebas dari rasa gusar oleh penilaian mereka."
"Guru,
hidup ini seringkali terlalu berat untuk dijalani suka dukanya dan kematian pun
selalu begitu menakutkan untuk dihadapi. Bagaimana aku bisa tenang menjalani
hidup dan menghadapi kematian itu?"
"Manu, hidup adalah saat bagimu
untuk menikmati permainan di bumi dan kematian adalah saatmu untuk pulang ke
rumah Jiwamu yang damai membahagiakan. Tuhan selalu ada menemanimu dalam suka
duka kehidupan, dan Tuhan selalu ada menantimu saat pulang dalam kematian.
Tuhan hanya tidak menyadari Tuhan selalu ada bagimu dan tidak mengira Tuhan
selalu menantimu saat Jiwamu pulang kelak. Maka, apakah lagi yang mesti kau
takutkan, Manu?"
"Guru,
kenapa Tuhan isi batinku dengan rasa takut, marah, benci dan sedih? Semua rasa
itu begitu menyiksa. Lenyapkanlah semua itu dari batinku."
"Manu, Tuhan memberi kau rasa takut
bukan untuk menjadikanmu penakut, tapi untuk membuatmu menjadi pemberani dengan
mengatasi rasa takut itu.
Tuhan memberi kau rasa marah bukan untuk
menjadikanmu pemarah, tapi agar kau belajar menjadi penyabar dengan berlatih
mengendalikan kemarahan itu.
Tuhan memberi kau rasa benci bukan untuk
membentukmu menjadi pendendam, melainkan menjadikanmu pribadi penuh cinta kasih
setelah kau pelajari kebencianmu.
Dan Tuhan memberi kau rasa sedih bukan
untuk membuatmu menjadi putus asa pada kehidupan, tapi agar kau belajar selalu
bisa bangkit menjadi pribadi yang tegar dalam segala keadaan.
Temukan kebaikan dibalik setiap hal yang
kau kira buruk, kau akan mengerti arti cinta kasih Tuhan."
"Guru,
kami selalu berdoa pada Tuhan saat melakukan usaha demi meraih harapan kami.
Tapi kenapa kenyataan selalu Tuhan biarkan tidak sesuai dengan harapan
kami?"
"Manu, jika kenyataan itu bagimu
selalu tidak sesuai harapan, itu karena kau memilih berhenti di saat harapan
itu belum tercapai. Ia yang memilih untuk sabar dan tetap bangkit berjuang,
suatu ketika Sang Waktu akan membawa harapan itu pada kenyataannya."
"Guru,
manakah yang lebih penting di kehidupan ini menjadi orang pintar ataukah orang
baik?"
"Manu, menjadi orang pintar itu
adalah pilihan yang baik. Menjadi orang baik, adalah pilihan yang pintar."
"Guru,
kenapa begitu sulit melupakan kenangan buruk yang dilakukan orang lain padaku?
Apa yang mesti kupikirkan agar aku bisa melupakan hal itu?"
"Manu, belajar melupakan apa yang
kau ingat, sama sulitnya dengan belajar mengingat apa yang sudah kau lupakan.
Maka belajarlah untuk hanya mengingat apa yang tak ingin kau lupakan, itu akan
membuatmu lebih tenang dan bahagia."
"Guru,
dalam kuasa Tuhan yang tak terbatas, dimana segala keinginan Tuhan pasti
terjadi, kenapa tidak Tuhan penuhi saja setiap doa anak-anak semesta Tuhan.
Kenapa Tuhan tidak melibatkan diri dalam pergolakan suka-duka kami?"
"Manu, karena kuasa tak terbatas
dan segala yang Tuhan inginkan pasti terjadi itulah sebabnya Tuhan membebaskan
diri dari segala keinginan. Karena keinginan Tuhan akan menjadi kehendak, dan
kehendak itu akan menjadi kenyataan. Tuhan tidak melibatkan diri secara ketat
dengan kehidupan kalian, agar kalian memiliki kebebasan dalam berproses. Tuhan
telah menyediakan proses dalam kehidupan kalian, agar hanya ia yang benar-benar
berharap dan berusaha mencapai harapan itu yang akan sampai di tujuannya. Jika
dengan kuasa itu Tuhan memenuhi segala doa dan keinginan kalian, bayangkan
kekacauan yang akan terjadi di duniamu karena keinginan satu orang saja dari
kalian sudah begitu banyak dan selalu berubah begitu cepatnya. "
"Guru,
Aku berdoa kepada Tuhan untuk maafkan aku atas segala kesalahan dan hal-hal
buruk yang pernah kulakukan."
"Manu, Tuhan tidak pernah
menyalahkan kalian atas apa pun yang kalian lakukan. Batinmu adalah tempat suci
Tuhan dalam dirimu. Lewat apa pun yang kau persembahkan ke tempat suci itu,
Tuhan memberimu pahala. Saat kau persembahkan hal-hal negatif ke dalam batinmu
dan batin siapa pun, kelak Tuhan memberkahimu dengan rasa dukacita. Saat kau
persembahkan hal-hal baik, Tuhan memberkahimu dengan sukacita. Maka pastikanlah
persembahanmu ke dalam batinmu, agar kau diberkahi apa yang kau harapkan,
Manu."
"Guru,
jika Tuhan maha pelindung, kenapa Tuhan biarkan tindakan-tindakan kekerasan
terjadi diantara sesama manusia, bahkan diantara mereka yg beragama? Kenapa
tidak Tuhan sadarkan mereka tentang cinta kasih, padahal Tuhan adalah sumber
cinta kasih semesta."
"Manu, mengalami kesadaran adalah
tugasmu sendiri dan Tuhan hanya berperan menuntun jalanmu ke arah yang kau
tuju. Tuhan menyediakan proses dalam skenario semesta ini untuk membawamu
menuju kesadaran semestamu. Namun kau sendirilah yang berhak memutuskan, kapan
kau akan berjalan ke arah cinta kasih itu dalam tuntunan Tuhan. Tentukanlah
tujuan hidupmu, pilihlah jalanmu, maka Tuhan akan menuntunmu. Tugasmu bukan
mengubah orang lain menjadi lebih baik, namun lebih untuk mengubah dirimu
sendiri menjadi lebih baik."
“Guru,
lihatlah rumput dan dedaunan kering itu segera saja terbakar oleh bara di
sepuntung rokok yang ditinggal oleh para pelancong di gurun.
"Manu, seperti itulah batinmu jika
kering dari sifat empati dan cinta kasih. Ia akan mudah terbakar oleh sikap
atau kata-kata provokasi sekecil apa pun. Segera sirami batinmu dengan
kesejukan dan jernihnya kesadaran, Sebelum kau dihancurkan oleh bara emosi yang
dihembuskan oleh angin isu di sisi dunia yang kian kering dari kesadaran cinta
kasih ini."
“Guru,
Burung Derkuku itu tampak bingung di depan dapur. Tampaknya ia terlepas dari
sangkarnya karena pintu sangkar tak sengaja terbuka. Saat didekati, ia hanya
mencoba menghindar tapi tidak terbang.
“kenapa
burung Derkuku itu bingung dan tidak terbang saja merayakan kebebasan?"
"Manu, burung Derkuku itu terbiasa
terpenjara dalam sangkar. Karena itulah burung Derkuku itu bingung harus
terbang kemana. Begitulah jika batinmu biasa terjebak dalam penjara kemarahan,
kesedihan, kecemasan atau sangkar emosi negatif lainnya. Saat kau terbebas, kau
akan bingung dan mudah kembali terjebak dalam emosi-emosi negatif itu lagi."
“Guru,
meski burung merpati pun sering bertikai diantara mereka, tetapi manusia
menjadikannya simbol perdamaian. Mengapa burung merpati layak dijadikan simbol
perdamaian?"
"Manu, burung merpati selalu bisa
terbang kembali ke rumahnya dimana mereka selalu merasa damai. Manusia adalah
Jiwa-Jiwa damai yang lahir di dunia penuh pertikaian di luar dan dalam diri
ini. Manu, Pulanglah kembali ke rumah Jiwa di dalam, disana ada kedamaian. Itulah
kesejatian sifat Jiwa, penuh kedamaian. Jika burung merpati saja selalu bisa
pulang ke rumah mereka yang damai, kau pun pasti bisa menemukan rumah
kedamaianmu dalam diri."
"Guru,
aku berdoa kepada Tuhan untuk memaafkan kesalahan pikiran, kata dan tindakanku
selama ini, dan ajarkan padaku cara untuk tidak melakukan kesalahan lagi."
"Manu, sesungguhnya tidaklah ada
yang salah pada pikiranmu. Pikiran tiap manusia itu murni. Dia hanya bertanya
dan mencari jawaban atas masalah kehidupan yang dihadapinya. Bisikan-bisikan yang
muncul dalam benakmu itu yang bersifat salah-benar atau baik-buruk, sesuai
dengan aturan yang kalian sepakati di kehidupan kalian di bumi. Saat pikiran
kalian mengikuti bisikan dalam diri yang bersifat salah atau buruk itulah, maka
kesalahan dan keburukan telah mulai menjadi nyata sebagai pribadimu. Belajarlah
untuk memilih bisikan yang patut diikuti sesuai norma kehidupanmu, dengan
begitu kau akan terbebas dari sifat buruk dan salah. Di hadapan semesta Tuhan
tak ada salah-benar atau baik-buruk. Yang ada hanya sebab dan akibat, pilihan
dan konsekuensi. Berhati-hatilah memilih apa yang tidak aku inginkan
akibatnya."
"Guru,
apa sejatinya tujuan semesta menciptakan berbagai peristiwa suka duka dalam
kehidupan kami?"
"Manu, setiap peristiwa yang kau
alami di kehidupan ini, adalah kepingan-kepingan puzzles. Siapa saja rajin mengamati
dan menerima kepingan-kepingan itu dengan ikhlas, lalu menyatukannya dalam
formasi makna yang tepat, dia akan berhasil melihat dirinya serta makna
kehidupannya secara utuh dan sempurna."
"Guru,
saat aku sedang belajar untuk berbahagia melihat orang lain bahagia, kenapa
mesti Tuhan pertemukan aku dengan orang-orang yang malah senang menyakiti
perasaanku?"
"Manu, jika kau memang ingin belajar
berbahagia melihat orang lain bahagia, maka belajarlah melihat betapa
bahagianya orang yang senang menyakitimu itu, saat ia merasa berhasil menyakiti
perasaanmu. Ada banyak orang berbahagia dengan kebaikanmu dalam bentuk
pemberian, ada banyak pula orang yang bahagia lewat keikhlasanmu menerima rasa
sakit hati yg mencoba dikirimkannya lewat sikap dan kata-kata menyakitkan. Saat
kau bisa membahagiakan kedua jenis orang itu, saat itulah kau benar-benar
belajar bahagia atas kebahagiaan orang lain."
"Guru,
jika kami semua adalah anak-anak semesta yang Tuhan kasihi, kenapa Tuhan
biarkan ada Jiwa yang lahir dalam tubuh manusia yang terperangkap kemiskinan,
sakit dan penderitaan. Di sisi lain ada Jiwa yang Tuhan ijinkan lahir dalam
keluarga yang kaya dan bahagia?"
"Manu, mereka yang lahir dalam
kemiskinan, sakit dan penderitaan hidup, adalah para Jiwa yang memilih lahir
dalam kondisi seperti itu untuk belajar ikhlas menerima semua rasa duka
kehidupan. Sedangkan yang lahir dan berhasil menjadi kaya dan bahagia, adalah
para Jiwa yang kini memilih belajar untuk bisa ikhlas melepas semua kepemilikan
yang dulu belum belajar mereka lepas dengan ikhlas di bumi ini. Maka jika
hidupmu ada dalam penderitaan saat ini, sudahkah kau belajar untuk ikhlas
menerimanya? Jika kini kau ada sebagai manusia yang kaya dan bahagia, sudahkah
kau belajar melepas semua itu dengan ikhlas. Karena hidup adalah proses untuk
belajar ikhlas menerima apa yang dulu dibenci dan ikhlas melepas yang dulu
begitu disukai."
“Guru,
hari ini bangsa Indonesia bernyanyi riang merayakan momen kemerdekaan dari
belenggu penjajahan asing, burung kutilang dalam sangkar itu seakan ikut
bernyanyi riang meski dirinya sendiri masih terbelenggu disana. Mengapa burung
kutilang itu bernyanyi dalam sangkar penjara itu guru?"
"Manu, makna kemerdekaan Jiwa-raga
itu bukanlah semata-mata kebebasan saat kau bisa berada diluar penjara fisik.
Saat batinmu masih menderita karena terjajah oleh kebencian, kemarahan,
kesedihan, rasa takut dan kecemasan pikiranmu sendiri, itu bukanlah kemerdekaan
sejati. Bebaskan dirimu dari semua penjajah dalam diri yg selalu membuatmu
menderita di kehidupan ini. Itulah kebebasan hakikimu. Penjara dalam diri lebih
menyiksa daripada penjara di luar diri, Manu."
“Guru,
dengan tenang perkutut itu bertengger di atas kawat berduri tanpa takut terluka
oleh duri tajam yang mengancam di pijakannya. Betapa tenangnya perkutut itu
hinggap disana, Tidakkah perkutut itu takut tertusuk oleh kawat ranjau
itu?"
"Manu, ketenangan selalu lebih mudah
menyelamatkanmu dari bahaya yang lebih buruk. Begitu pun dalam perjalanan
kehidupan yang penuh ancaman ranjau-ranjau negatif dari dalam dan dari luar
diri ini, selama kau bisa memelihara ketenangan batin dan pikiranmu, kau akan
bisa sampai dengan selamat di tujuan Jiwamu, Manu. Belajarlah untuk selalu
tenang dalam segala hal, kau akan mengerti kekuatan dari batin yang tenang
itu."
“Guru,
Burung kutilang itu sepagi ini sudah berkicau riang, seakan kehidupan ini tak
ada hal buruk yang pantas disesalinya. Tidakkah burung kutilang itu lihat hidup
ini begitu rumitnya. Ada banyak kejahatan, penipuan, angkara murka, kemarahan,
keangkuhan, kekejaman, dan hal mengerikan lainnya. Bagaimana burung kutilang
itu bisa mengabaikan semua itu dan masih tetap bernyanyi riang seakan semua
baik-baik saja."
"Manu, kehidupan ini dipenuhi
segala hal baik dan buruk. Burung kutilang menyadari itu dan kau pun pasti
memahaminya. Burung kutilang itu memilih untuk melihat hal-hal baik di
kehidupan ini, sehingga burung kutilang itu bisa tetap menikmati napas
kehidupan yang diberikan semesta bagi dirinya. Dengan begitu burung kutilang
itu bisa bernyanyi riang seakan kehidupan ini adalah sorga abadi yang layak
dinikmati dengan rasa gembira. Jika burung kutilang itu hanya fokus pada hal-hal
buruk di kehidupan ini, tentu hidup ini seakan ada dalam kubangan neraka,
seperti penilaianmu itu. Nah, apakah kini kau memilih menjadikan bumi ini
sebagai kehidupan sorga ataukah neraka, Manu? Semesta berserah pada kehendakmu
memilih."
“Guru,
Setiap kali mendengar kata buaya, yang terbayang di benak adalah kengerian,
cengkeraman rahang dan taring tajam yang mematikan. Mereka pemangsa ganas yang
menguasai sungai bahkan beberapa lautan. Sementara tanaman lidah buaya ini
kenapa justru tenang-tenang saja bertumbuh di halaman rumah ini. Tidakkah lidah
buaya ini berniat protes pada manusia agar namanya diubah menjadi lebih lembut?
Sebab khasiat tanaman ini begitu banyak manfaatnya, bahkan bisa untuk
melembutkan rambut."
"Manu, tidak setiap nama mewakili
kebenaran yang dikandungnya. Tanaman lidah buaya ini ikhlas jika manusia
menamainya sebagai lidah dari mahluk yang kau sebut mengerikan itu. Agar setiap
kali kau ingat pada khasiat alami yang dititipkan semesta pada dirinya, kau
juga selalu ingat bahwa penampilan yang tampak buruk tidak selalu menunjukkan
bahwa ada sifat-sifat yang buruk di dalamnya. Lihatlah bahwa seringkali
kemurnian batin, kebaikan dan ketulusan hati seseorang terpancar lewat kasih
sayang Jiwanya, bukan dari penampilan luarnya, Manu."
“Guru,
lihat dengan rahang dan taringnya yang mematikan sekejap induk buaya itu
menerkam bayi-bayinya, memasukkan mereka ke dalam rahang mengerikan itu utk
menjaga mereka disana. Melihat taring buaya yang seakan siap melumat itu,
kukira mereka hendak memakan anak-anaknya itu, ternyata tidak."
"Tentu saja tidak, Manu. Meski buaya
memiliki rahang dan taring yang tajam untuk melumat mereka dengan mudah, buaya
lebih memilih untuk menjaga bayi-bayi mereka dengan kekuatannya itu. Bukankah
kau pun mesti demikian, Manu? Dengan kuasa pikiran dan energi tubuhmu itu, kau
bisa saja dengan mudah berlaku kekerasan terhadap anak-anakmu. Tapi jika itu yang
kau lakukan, seakan menunjukkan bahwa sifatmu lebih ganas dari buaya-buaya
tersebut. Bukankah dengan kuasa dan kekuatanmu itu kau lebih pantas memakainya
sebagai pelindung bagi mereka terhadap kerasnya kehidupan di dunia ini,
Manu?"
“Guru,
Lihatlah Ikan-ikan itu berenang riang di sebuah danau, seakan-akan hidup mereka
bebas dari masalah. Padahal, di atas air ada burung-burung bangau yang siap
memangsa mereka, dan di bawah air ramai buaya menanti dengan rahang mengerikan.
Ikan-ikan itu tampak begitu lemah dan rapuh di mata para pemangsa itu, tapi
bagaimana ikan-ikan itu bisa riang seakan tiada masalah dalam hidup mereka? Sedangkan
aku yang sepanjang hari berdoa dan merasa dekat dengan Tuhan, tak kunjung bebas
dari berbagai masalah kehidupan."
"Manu, setiap masalah akan muncul
bila terjadi ketimpangan antara harapan dan kenyataan. Maka dimana ada harapan,
disanalah selalu mudah hadir masalah. Jika kau berani memiliki harapan, jangan
takut pada masalah yang hadir.
Dan ketika Tuhan kau jadikan tempat untuk
berharap, maka dimana ada harapan, disana pun ada Tuhan sebagai tempat
menggantungkannya. Nyatalah bahwa sejatinya masalah dan Tuhan adalah dua hal yang
tak pernah terpisah. Saat masalah hadir, saat itulah Tuhan juga hadir. Sebab
masalah dihadirkanNya untuk sebuah tujuan, agar batinmu selalu ingat padaNya sebagai
tempat bagimu untuk bergantung."
“Guru,
Lihatlah Anak-anak suku Massai itu bersiul-siul memanggil burung-burung liar yang
hinggap di atas pepohonan di padang rumput Afrika. Lewat beberapa siulan,
burung-burung itu merespon dengan siulan lalu terbang ke pohon-pohon lain
diikuti oleh anak-anak tadi. Di sebuah pohon, burung itu berhenti dan tidak
terbang lagi. Dengan segera anak-anak itu tahu bahwa di pohon terakhir itulah
ada sarang lebah madu. Dan benar, sarang lebah madu disana menjadi rejeki bagi
mereka. Tak lupa, usai mendapatkan madunya, sebagian kepingan sarang itu diletakkan
di atas batu sebagai hadiah buat si burung penuntun. Wah, bagaimana anak-anak
suku Massai itu bisa bekerja sama begitu cerdas dengan burung-burung liar itu,
Guru?"
"Manu, sejatinya setiap mahluk di
alam liar ini bisa dijadikan sahabat yang saling menguntungkan. Temukan saja
cara bersahabat dengan cinta kasih pada mereka, maka kalian akan saling
mendapat manfaat. Pun begitu dengan semua orang di sekitarmu, kalian akan
saling mendapatkan manfaat jika mau bersahabat penuh cinta kasih, dan bukan
saling bermusuhan. Apalagi dalam keluarga, tentu lebih mudah bagi kalian untuk
membangun hubungan saling menguntungkan daripada saling merugikan akibat
pertengkaran dan pertikaian yang tidak penting."
“Guru,
Lihatlah dengan gigi yang serupa burung kakaktua, ikan-ikan Parrotfish itu
memakan terumbu karang demi mendapatkan ganggang yang terselip di celah-celah
karang. Kotorannya keluar menjadi butir-butir kalsium yang membentuk pantai
indah berpasir putih. Setiap ikan Parrotfish bahkan menghasilkan 1 ton pasir
putih setahunnya. Lewat peran ikan-ikan parrotfish menciptakan pasir itu,
adakah pesan yang berguna bagi kami.?"
"Manu, jika bagimu pantai berpasir
putih itu adalah bagian dari keindahan alam yang bisa kau nikmati dengan duduk
atau berbaring di atasnya, jangan lupa bahwa semua itu adalah kotoran kami.
Maka berhati-hatilah menilai rendah seseorang hanya karena pekerjaannya yang
kau sebut kotor. Karena seringkali sifat-sifat kemuliaan muncul dari
tempat-tempat seperti itu."
“Guru,
Lihatlah laba-laba itu dengan ringannya bergelantungan pada seutas benang kecil
di tubuhnya. Perlahan namun pasti ia berpindah dari dahan ke dahan, hingga
benang kecil itu terangkai menjadi jaring penghidupan yang kelak menyediakan
berkah makanan baginya. Apa pelajaran yang bisa kuserap dari kehidupan
laba-laba tersebut, Guru.?"
"Manu, milikilah sebuah keyakinan
sebagai tempatmu bergantung, meski keyakinan itu sekecil benang laba-laba itu.
Kelak keyakinanmu itu akan menciptakan jejaring karma antar peran-peran semesta
yang akan membantumu meraih apa yang kau harapkan dalam hidupmu."
"Guru,
ajarkan aku menghindari neraka dan menemukan sorga di kehidupan ini."
"Manu, saat kau menolak panas dan
cahaya matahari, kau akan merasakannya sebagai api neraka yang membakar dan
membutakan matamu. Saat kau menerima kehangatannya di saat pagi, panasnya di
saat siang, dan keindahannya di saat senja, kau akan merasakannya sebagai
kehangatan dan cahaya sorgawi. Temukanlah manfaat setiap peristiwa dalam
kehidupanmu, maka kau akan merasakan berkah-berkah sorgawi sedang
menghampirimu."
"Guru,
Lihatlah para semut itu dengan tubuhnya yang kecil dan tampak tiada otot itu
para semut itu justru mampu mengangkat beban yang jauh lebih besar dari mereka.
Apa yang bisa kupelajari dari para semut itu, Guru?"
"Manu, jika para semut saja bisa
sekuat itu, percayalah dalam kecerdasan yang dititipkan semesta pada pikiranmu,
sejatinya tak ada beban kehidupan yang terlalu berat untuk kau pikul. Kuatkan
hatimu, karena disanalah sumber energimu mengatasi berbagai beban kehidupanmu,
Manu."
"Guru,
ada Jiwa yang Tuhan panggil pulang ke alam kematian dalam waktu yang begitu
cepat. Ada pula yang Tuhan panggil pulang dalam waktu yang begitu lama hingga
tersiksa dalam penderitaan fisik. Bagaimana Tuhan menentukan kematian
kami.?"
"Manu, ada kematian yang sudah
diatur dan disepakati Sang Jiwa sesuai skenario semesta yang mesti dijalaninya
dalam peran, tugas dan pembelajaran di kehidupan bumi ini. Kematian seperti ini
mudah memberi kedamaian bagi Sang Jiwa setelah kematian. Ada kematian yang
ditentukan oleh emosi pikiran seseorang. Ini sering melanggar skenario yang
disepakati Jiwanya sendiri sebelum kelahiran di bumi. Kematian seperti ini
kerap menyisakan penyesalan Sang Jiwa di alam kematian, hingga bingung memilih
antara pulang ke alam Jiwa atau tetap di alam kehidupan bumi yang tak lagi
layak baginya. Belajarlah memilih dari sekarang, Manu."
"Guru,
jika aku melakukan segala sesuatu dalam peran dan tugasku di kehidupan ini dimulai
dengan kata "Atas nama Tuhan yang penuh cinta kasih dan penyayang, apakah
aku akan mendapatkan pahala kebahagiaan?"
"Manu, selain dengan kata itu,
awalilah juga setiap tugas dan peranmu dengan kata- kata ini 'Atas nama Jiwaku
yang penuh cinta kasih dan penyayang'. Jadikanlah kata-katamu itu kenyataan
dalam setiap tindakan, maka kau akan mengerti keajaibannya yang membahagiakan
dan mendamaikan batinmu dan alam semesta ini."
“Guru,
tubuh kita bertumbuh karena "memakan" cahaya matahari. Dimulai saat
cahaya matahari bertumbuh menjadi daun-daun yang kita olah menjadi sayur. Atau
cahaya itu berubah menjadi rumput-rumput yang dimakan oleh sapi, kambing dan
ternak lain yang kita olah menjadi lauk. Semua sumber makanan pada awalnya
adalah cahaya matahari. Lalu pikiran kita bercahaya oleh pengetahuan yang terus
terserap demi menghilangkan kegelapan pikiran akibat kebodohan. Terakhir, Jiwa
kita adalah mahluk cahaya yang ada dalam tubuh manusia. Tersusun oleh ketiga
cahaya pada tubuh, pikiran dan Jiwa itu, kenapa kita masih sering ada dalam kegelapan
emosional, Guru?
"Manu, saat kau membenci yang
negatif dan hanya menerima yang positif, kau tidak akan bisa menyatukan
dualitas itu menjadi cahaya kebijaksanaan. Itulah sumber kegelapan dalam
dirimu."
Terimakasih atas blognya...
BalasHapusMantab
BalasHapusbrowse around this site wholesale sex toys,wholesale sex toys,dildo,horse dildo,horse dildo,horse dildo,dildos,cheap sex toys,dildo like this
BalasHapus